In White : 2

1.8K 247 19
                                    

Yuki kembali tepat jam dua belas siang. Bersyukur tidak terjebak macet di jam makan siang seperti ini, atau ia akan kena damprat Stefan lagi.

Yuki membawa semua kantung plastik ke ruang tamu. Tangannya pegal bukan main. Dia lalu naik ke lantai atas untuk memberi tahu Stefan jika pesanannya telah siap. Tapi Yuki hanya bisa tersenyum canggung saat melihat Marisa berdiri di depan Stefan sambil berdecak pinggang.

Si boss lagi dimarahin ya.

"Kamu itu nggak punya sopan santun ya, masuk ke rumah orang itu pake salam."

Yang Yuki tahu bakat galak Stefan diturunkan langsung oleh Ibunya. Wanita itu tidak menyukai Yuki sejak awal ia bekerja pada Stefan. Tapi Yuki tidak terlalu mempermasalahkan. Mau suka atau nggak, nggak ada untungnya.

"Maaf tante, tapi Mas Stefan nggak suka kalau saya teriak-teriak." Dia bilang suara Yuki cempreng, karena itu Yuki tak pernah lagi teriak-teriak memberi salam.

Marisa berdecak. "Liat tuh, asisten kamu nggak ada sopan-sopannya sama Mami. Kenapa nggak dipecat aja sih, cari yang baru. Yang lebih kompeten."

Yang kompeten belum tentu tahan banting kayak Yuki. Anak situ kalau marah ngelebihin Hulk, harusnya bersyukur punya asisten kayak gue. Yuki menggerutu dalam hati. Tetap berdiri di dekat anak tangga.

"Bahan-bahannya udah lengkap kan?" Tanya Stefan tanpa mengalihkan tatapan dari kanvas. Tangannya sibuk menggoreskan warna.

"Udah mas, mau saya siapin sekarang?"

"Iya. Gue mau warna merah sama jingga."

"Ok."

Yuki segera kembali ke lantai bawah. Mungkin ini salah satu alasan Stefan menerima Yuki mejadi asistennya. Wanita itu lulusan desain interior, Yuki tahu mengenai kualitas cat yang bagus dan ahli dalam mengolah warna. Mencampur beberapa warna menjadi warna baru yang Stefan sendiri tak pernah pikirkan. Seringkali saat melihat Yuki mencampur dan menghasilkan warna yang indah, Stefan akan mendapatkan ide. Dia pernah menggunakan warna yang Yuki ciptakan untuk melukis dalam kegiatan amal di London, dan lukisan itu terjual melebihi ekspetasi.

"Stefan, dengerin Mami nggak sih." Kesal Marisa.

"Mami, Stefan pernah bilang kan. Terserah Mami mau ngapain Stefan nggak akan protes, apapun itu. Tapi jangan sekali-kali ikut campur sama urusan pekerjaan Stefan, dan Yuki termasuk dalam itu. Dia asisten Stefan, Stefan yang berhak mecat dia atau nggak." Tegas Stefan yang membuat Marisa bungkam.

"Yaudahlah, pokoknya besok jangan sampe lupa lagi. Kamu harus ketemu sama Nasya, Mami nggak mau denger alasan dari kamu. Ngerti."

"Hm." Jawab Stefan sekenanya.

"Mami pulang kalau gitu."

Marisa meraih tas bermerknya yang terbuat dari kulit buaya. Mengecup pipi Stefan sekilas lalu mulai menghilang dari pandangan Stefan.

Hari ini Stefan melupakan janjinya bertemu dengan calon istri yang telah Marisa pilihkan untuknya. Itu yang membuat Marisa datang ke rumahnya dan mulai bicara panjang lebar. Stefan meletakkan palet dan kuasnya di atas meja, memandang sepuluh lukisan yang telah rampung. Tersusun rapi di bawah lantai pojok ruangan. Mungkin Stefan akan menyuruh Yuki untuk menutupinya dengan kain setelah ini.

Ngomong-ngomong soal Yuki. Apa wanita itu melakukan pekerjaannya dengan benar di bawah sana.

Stefan turun dari ruangannya. Lantai dua di rumah ini telah Stefan tetapkan menjadi ruang kerjanya sesaat setelah ia membeli rumah ini empat tahun lalu. Karena itu tidak banyak perabot di atas sana. Hanya ada beberapa rak yang dipenuhi peralatan melukis, kaleng-kaleng cat yang sebagian mulai kosong, kanvas beragam ukuran dan beberapa easel dengan tinggi tertentu.

In White || Jadilah warnakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang