Saat menunggu pintu rumahnya dibuka, Yuki hampir tertidur di kursi teras rumahnya. Ranti-Ibu Yuki, menggelengkan kepala dengan hela napas berat. Dia mendekati Yuki, menyentuh lengan putrinya lembut.
"Ki, masuk sana. Dingin di luar." Ucapnya.
Setengah mengantuk Yuki menganggukkan kepalanya. Dia berjalan dengan kaki diseret kelelahan. Hari ini Yuki pulang larut malam karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Karena mereka keluar untuk makan siang dan bertemu Hito, Stefan menjadi agak gila sore ini. Dalam waktu enam jam tiga lukisan selesai ia buat. Yuki yang membuat bahan melukis untuknya pegal bukan main.
Gue mau minta naik gaji pokoknya.
"Kenapa kamu pulang malem banget?" Tanya Ranti saat Yuki duduk di sofa ruang tamu melepas sepatunya.
"Pamerannya Mas Stefan sebentar lagi, jadi banyak yang harus dikerjain." Jawab Yuki malas-malasan, dia tahu setelah ini Ibunya akan mengomel.
"Sampe semalem ini. Sampe kamu kecapean. Ck, udah Mama bilang. Berhenti kerja aja, mendingan kamu nikah. Kalau belum ada calonnya biar Mama yang cariin. Mama nggak bisa ngeliat kamu kayak gini terus, Ki. Mau sampai kapan, sampai kamu lupa cara bahagiain diri kamu sendiri."
"Ma," Yuki berdiri berhadapan dengan Ranti. "Yuki nggak akan lupa caranya bahagia, karena bisa ngeliat Mama dan Reina bahagia itu udah jadi kebahagiaannya Yuki. Mama nggak perlu khawatir, dan tolong stop minta Yuki buat nikah. Yuki belum bisa."
Setelah kata-katanya Yuki berlalu meninggalkan Ranti di ruang tamu.
Rumahnya tidak besar, Yuki membelinya satu tahun lalu setelah tabungannya cukup. Ada tiga kamar tidur, ruang tamu tanpa ruang keluarga, dapur di bagian belakang dan satu kamar mandi. Catnya putih dan sedikit pudar di beberapa tempat, sofa lama yang awalnya berwarna putih gading mulai berubah menjadi kecoklatan. Hiburan yang ada hanya TV empat belas inch dengan layar yang mulai disemuti.
Secara keseluruhan rumah Yuki nyaman meskipun sederhana.
Yuki membaringkan tubuhnya di atas ranjang kapuk yang mulai keras. Mendesah lega ketika akhirnya punggungnya menyentuh permukaan yang dia rindukan sejak tadi siang.
Yuki akan mulai mengarungi mimpi ketika pintu kamarnya dibuka. Kasurnya bergerak, tanda jika seseorang duduk di sebelahnya.
"Teh, udah tidur belum?" itu suara adiknya-Reina.
"Belom," Jawab Yuki tanpa membuka mata. "Kenapa? Jam segini kok belum tidur, besok lo kuliah pagi kan."
Tak mendengar suara Reina, Yuki akhirnya membuka mata. Dia duduk di hadapan Reina yang menunduk, memainkan jemarinya gelisah. Tak perlu bertanya pun Yuki tahu ada yang ingin Reina sampaikan tetapi ia ragu.
"Ngomong aja, ada apa?"
"Itu Teh... Ada yang harus dibayar." Ucap Reina akhirnya. Tidak berani menatap Yuki.
"Berapa?"
"Dua juta." Lirih Reina, tapi Yuki masih bisa mendengarnya.
"Kapan tenggat waktunya?"
"Tiga hari lagi."
Sejenak Yuki terdiam. Memikirkan uang simpanan untuk bulan ini yang tinggal tiga juta. Reina baru masuk kuliah dua minggu ini. Sebenarnya Reina sudah berusaha untuk kuliah di Universitas Negeri, tapi gagal. Sekarang Reina berkuliah di salah satu Universitas Swasta setelah bujukan Yuki. Anak itu sebelumnya bersikeras untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan ingin langsung bekerja, tapi jelas Yuki menentang.
Yuki lulusan S1, itupun karena belas kasian Om Bima-Kakak dari mendiang ayahnya. Yuki mau Reina menjadi lebih hebat darinya, karena itu dia akan melakukan apapun untuk adik kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In White || Jadilah warnaku
Fanfic[ TELAH TERBIT ] Yuki Salendra Binara adalah asisten yang bekerja pada Stefan hampir selama tiga tahun. Dia wanita dua puluh empat tahun yang sudah diminta menikah oleh Ibunya. "Nanti kamu jadi perawan tua." begitulah kata-kata yang acapkali digunak...