Sinar matahari mengintip malu-malu dari tempat persembunyiannya. Bias cahaya menembus di atas kepala Yuki. Dia menggeliat dan mengerang kecil. Yuki duduk dengan wajah mengantuk, mengumpulkan nyawa yang sebelumnya tersebar ke penjuru dunia. Saat itu Yuki masih tidak menyadari di mana kini ia berada. Setengah mengantuk ia turun dari ranjang, berjalan keluar dari kamar dengan piama kelinci berwarna pink sebatas lutut. Piama yang dibelikan Ranti sejak empat tahun lalu.
Stefan duduk di konter dapur. Menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula sambil membaca koran pagi. Dia hanya menggunakan kaos pas badan berwarna abu-abu dan celana kain yang menggantung di pinggul, rambutnya acak-acakan tapi wajahnya segar setelah cuci muka. Tampan seirama dengan pagi yang cerah.
Stefan hampir menyemburkan kopinya saat melihat sosok berpiama pink melewatinya begitu saja. Nyatanya Stefan pun lupa jika ia tak lagi sendiri di rumah besar ini. Dia mengamati Yuki yang mengambil gelas tinggi, menuangkan air putih dan saos tiram di dalamnya.
"Eh, itu, Yuki!" terlambat.
Mata Yuki melebar saat rasa asin menyengat lidahnya. Segera ia memuntahkan isi mulutnya saat itu juga. "Huek! Ih apaan nih! Bluek!"
Stefan terbahak di tempatnya. "Dasar bego." Stefan memegangi perutnya yang keram. "Aduh perut gue."
Yuki membasuh mulutnya dengan air wastafel. Berulang kali kumur untuk menghilangkan rasa asin saos tiram.
"Makanya kalau ngapa-ngapain matanya dibuka, jangan sambil merem." Masih ada sisa tawa dalam suara Stefan.
"Berisik." Yuki berbalik pada Stefan saat mulutnya tak lagi keasinan. Dia berjalan ke kulkas, mengambil air putih sekali lagi. Kali ini tanpa saos tiram.
Stefan tidak bermaksud memandangi Yuki. Tapi matanya mengkhianati perintah otaknya. Yuki menggunakan piama pink dengan motif kelinci yang kekanak-kanakan, wajah polos dan rambut pajang yang kusut, dia terlihat seperti remaja lima belas tahun dengan wajah paginya.
"Apa liat-liat."
"GR banget lo, siapa juga yang mau ngeliatin cewek belekan."
Refleks Yuki menggosok matanya, dan benar saja. Sial. Harusnya Yuki pergi ke kamar mandi bukan malah ke dapur dan membuat dirinya sendiri malu.
"Ini ilmiah, semua orang kalau bangun tidur pasti belekan."
"Gue nggak tuh."
"Mas Stefan kan nggak normal."
Yuki lari menghindari Stefan yang mengejarnya. Yuki tepat waktu saat Stefan akan menerobos kamarnya. Diputarnya kunci dua kali dan tergelak. Stefan mengetuk pintunya brutal sambil berteriak.
"Buka nggak."
"Ogah."
"Biar gue kasih tahu gue normal apa nggak. Buka pintunya."
"Nggak mau. Nggak peduli." Yuki membekap mulutnya sendiri, cekikikan.
Di luar kamar Yuki, Stefan masih terus mengetuk pintu dan berteriak. Tapi bibirnya melengkung penuh. Ini pagi yang berbeda dari paginya yang biasa selama bertahun-tahun. Cukup menyenangkan memulainya dengan teriakan dan ejekkan.
"Siap-siap, jam sepuluh kita pergi ke toko furniture." Ujar Stefan di balik pintu.
"Ok." Sahut Yuki singkat.
Pukul sembilan lebih tiga puluh Yuki keluar dari kamarnya dan bergabung dengan Stefandi meja makan. Yuki awalnya ingin membuat sarapan untuknya dan Stefan. Dia mendapat resep yang enak dan tentunya mudah dibuat dari Ranti beberapa menit yang lalu. Tapi meja makan itu sudah terisi dua jenis menu sarapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
In White || Jadilah warnaku
Fiksi Penggemar[ TELAH TERBIT ] Yuki Salendra Binara adalah asisten yang bekerja pada Stefan hampir selama tiga tahun. Dia wanita dua puluh empat tahun yang sudah diminta menikah oleh Ibunya. "Nanti kamu jadi perawan tua." begitulah kata-kata yang acapkali digunak...