In White : 16

1.7K 250 37
                                    

Siapa yang udah nggak sabar meluk bukunya? Kabar baiknya aku udah sembuh dan In White bisa terbit bulan ini. Uhuy.

***

Yuki membuka pintu saat seseorang mengetuknya berulang kali. Padahal ini masih sangat pagi, pukul lima tiga puluh. Yuki keluar dari kamarnya untuk mengambil air minum. Malas-malasan dia membuka pintu.

"Loh, Mbak Yuki udah di sini toh."

"Eh, Mbak Lala." Yuki mengerjapkan matanya, tak lagi mengantuk melihat Mbak Lala berdiri di depannya.

Yuki membuka pintu lebih lebar, Mbak Lala masuk dengan kantung belanjaan dan seikat buah nangka yang masih utuh. Yuki mengikuti Mbak Lala sampai ke dapur dengan satu kantung belanjaan, membantu Mbak Lala membawanya.

"Saya kaget Mbak Yuki udah di sini. Tapi untung juga sih mbak, jadi bukan Den bagus yang buka pintu, saya jadi nggak kena semprot." Ucap Mbak Lala dengan aksen jawanya yang kental. "Ada kerjaan banyak yo mbak, kok Mbak Yuki pagi-pagi udah di sini aja?"

Apa Yuki harus mengatakan yang sejujurnya? "Oh itu, mbak sebenernya saya tinggal di sini, sejak beberapa hari lalu." Katanya hati-hati.

"Loh, kok tinggal di sini?" Mbak Lala yang sedang mengisi kulkas yang kosong dengan sayuran seketika berbalik pada Yuki. Terkejut.

"Saya, sama Mas Stefan itu..."

"Yuks, lo ngapain pagi-pagi gini, ngobrol sama siapa?" Stefan muncul dengan wajah mengantuk. "Mbak Lala kapan sampe?" mata Stefan terbuka saat melihat Mbak Lala.

"Baru aja den, dibukain sama Mbak Yuki. Oh iya Den Bagus, kunci rumah yang saya bawa ilang di stasiun. Maaf yo den."

"Oh nggak papa. Kita masih punya kunci cadangan, nanti mbak bawa aja."

"Iya." Mbak Lala mengangguk. "Den bagus, saya bawa bawain nangka muda. Nanti saya bikinin gulai nangka yo." Mbak Lala wanita awal empat puluhan, asli Gunung Kidul. Dia sudah seperti orang tua Stefan sejak bekerja pada keluara Stefan sepuluh tahun lalu.

"Makasih mbak. Keadaan Si Mbah gimana?" Stefan bertanya penuh perhatian.

"Sudah lebih baik den, matur suwun buat uang tambahan yang Den Bagus kasih waktu itu, sangat membantu."

"Sama-sama mbak, nggak perlu sungkan. Kita keluarga sudah sepatutnya saya bantuin mbak."

Stefan duduk di kursi tinggi di sebelah Yuki. "Yuks, gue mau kopi dong."

"Iya." Yuki bergerak dinamis di dapur Stefan. Sudah tahu kopi seperti apa yang biasa Stefan minum.

"Anu, Den Bagus?" ragu-ragu Mbak Lala berdiri di samping Stefan.

Stefan yang tengah memperhatikan Yuki dari belakang mengalihkan pandangan. "Kenapa mbak?"

"Itu, tadi Mbak Yuki bilang kalau dia tinggal di sini. Piye to maksudnya, saya nggak ngerti. Bukannya Den Bagus nikahnya sama Mbak Nasa kalau nggak salah." Sebelum pulang kampung Mbak Lala memang diberi tahu jika Stefan akan menikah, sayangnya dia tidak bisa mendampingi Stefan meski ingin.

"Oh itu," Stefan melihat Yuki yang mendekat dengan cangkir kopi. "Pernikahan saya sama Nasya batal. Dan saya nikah sama Yuki." Stefan beurusaha menjelaskan tanpa berbohong. Sebisa mungkin dia tidak ingin Mbak Lala atau orang lain mengetahui masalah yang sebenarnya. Cukup dia, Yuki dan Marisa yang mengetahui ini.

Buku lama sudah Stefan tutup, dia tidak ingin membukanya lagi.

"Alhamdulillah Den Bagus." Wanita itu tersenyum semringah, tak dapat menahan raut bahagianya. Stefan mengernyit bingung. Oh, itu bukan reaksi yang dia pikir akan dapatkan dari Mbak Lala.

In White || Jadilah warnakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang