Reina memandang Yuki dengan mulut terbuka. Seakan Yuki adalah makhluk dunia lain yang baru kali ini ia lihat. Yuki berdecak melihat Reina. Sore ini sepulangnya dari kuliah Reina dibuat heran dengan Ibunya yang tersenyum seperti telah memenangkan lotre puluhan juta. Dan Reina benar-benar mengatakan itu, Ranti tertawa dan mengatakan ini lebih baik dari lotre. Lalu dia menyeret Reina menemui Yuki yang sedang mengemas barangnya. Dan Yuki menceritakan semuanya pada Reina.
"Kameranya di mana?" mata Reina berkeliling, mencari kamera yang mungkin disembnyikan di suatu sudut kamar kecil Yuki.
"Lo pikir gue Uya Kuya." Yuki mendorong kepala Reina dengan telunjuknya.
"Lo nggak isi kan?" pandang Reina ngeri.
"Ya nggaklah Rei!" Yuki memutar matanya jengah. Dicolek aja nggak pernah, pegangan tangan juga baru sekali. Isi mendoan yang ada.
"Lo pake cara apa ngejebak cowok itu?"
"Sembarangan!" Gue tahu yang dijebak! Yuki melempar gulingnya ke wajah Reina saat gadis itu tergelak. Yuki mendengus dan kembali mengemas pakaiannya dalam tas.
Yuki tak punya banyak baju atau barang pribadi. Hanya beberapa buku baca, peralalatan mandi dan kosmetik yang bisa dihitung jari jumlahnya.
Reina menggantungkan kakinya di pinggir kasur Yuki. Memandang kakaknya yang sedang melipat celana panjang.
"Teh?"
"Hm?" Sahut Yuki singkat.
"Lo nggak papa?"
Gerakan tangan Yuki berhenti. Apa dia baik-baik saja? "Iya, nggak papa." Senyum Yuki tipis. Dia harus baik-baik saja. Kehidupan di depan sana bisa jadi lebih sulit, Yuki tidak bisa menghadapinya hanya dengan ratapan pada Tuhan. Kakinya pun harus kuat, bahunya harus tegap dan hatinya harus tegar.
"Lo selama ini udah banyak berkorban buat keluarga gue juga sempet khawatir kayak Mama. Tapi kayaknya sekarang udah nggak perlu lagi." Reina tersenyum. Dia berdiri, melingkarkan tangannya dengan cepat di sekeliling Yuki. "Selamat Teh, semoga lo selalu bahagia."
Yuki menahan air matanya. Tidak, dia sudah cukup menangis hari ini. "Iya, makasih." Yuki membalas pelukan Reina sama eratnya. Iya Rei, semoga kebahagian itu emang bener ada buat gue.
***
Keesokan harinya...
Yuki sudah mengganti pakaiannya dengan skinny jeans hitam dan sweater putih gading yang terlalu besar untuk tubuh rampingnya. Kakinya dibalut converse hitam dengan pinggiran warna putih. Rambut sebahunya ia ikat tinggi, membiarkan leher jenjangnya terlihat. Sulur rambut yang tak terikat jatuh di sekitar leher dan membingkai wajahnya.
Yuki melihat ponselnya yang berdenting. Satu pesan dari Stefan yang mengatakan dia akan segera sampai. Yuki menarik napas panjang, dipandangnya kamar kecil yang ia tempati selama tiga tahun terakhir ini. Yuki akan merindukan hawa panas di kamar ini. dia tersenyum dengan humornya sendiri.
Ranti memanggil Yuki saat Stefan sampai. Jodoh, hari ini Stefan juga mengenakan setelan hitam putih. Celana dan kaos hitam, kemeja putih polos yang kancingnya dibiarkan terbuka dengan lengan digulung hingga siku. Sepatu putih dengan garis hitam membalut telapak kaki.
"Kalian janjian ya. Mentang-mentang manten baru." Reina menyeletuk yang membuat Yuki maupun Stefan bergerak salah tingkah. Tidak, mereka sama sekali tidak merencanakannya.
"Rei ini Mas Stefan, Mas Stefan ini adek saya Reina." Ucap Yuki ingin mengakhiri situasi canggung ini dengan segera.
"Stefan." Stefan berdehem singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
In White || Jadilah warnaku
Fanfiction[ TELAH TERBIT ] Yuki Salendra Binara adalah asisten yang bekerja pada Stefan hampir selama tiga tahun. Dia wanita dua puluh empat tahun yang sudah diminta menikah oleh Ibunya. "Nanti kamu jadi perawan tua." begitulah kata-kata yang acapkali digunak...