Scene 🎬 8

2.5K 408 8
                                    




🎥









Jaemin menghentakkan kakinya ke tanah dengan kesal. Mood-nya memburuk setelah menerima telepon dari tunangannya yang aneh itu.


Ia kembali ke tempat tadi, di mana Jia masih setia duduk menunggunya sambil menghabiskan butter cookies.


“Siapa?” tanya Jia saat Jaemin kembali duduk di sampingnya.


Jaemin tidak menjawab, ia malah sibuk merapikan gelas tehnya yang sudah kosong, menumpuk majalah lalu menyimpannya kembali ke bawah meja.


“Mau ke mana?” tanya Jia lagi.


“Aku akan mengecek anak-anak, ini sudah waktunya mereka tidur. Kau masih ingin di sini atau kembali ke pondok, terserah,” jawab Jaemin dengan sedikit gusar. Membuat Jia mengernyitkan dahinya, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu.


“Siapa yang meneleponnya? Kenapa dia bisa se-emosi itu?” gumam Jia sambil menatap punggung Jaemin yang perlahan menjauh.


Tak lama,


Jaemin kini sudah hampir selesai memberikan ucapan selamat malam dan memastikan anak-anak didiknya tidur dengan nyaman, tinggal satu pondok lagi dan pekerjaannya pun selesai.


Sesampainya di pondok terakhir, tangan Jaemin berhenti di knop pintu; maniknya menangkap bayangan seorang gadis kecil yang sedang berlutut di sisi ranjangnya dari jendela.


Anak itu memejamkan mata sambil mengangkupkan kedua tangannya di depan dada; berdoa dengan sepenuh hati.


Ia mendorong pintu dengan sangat perlahan dan melangkahkan kakinya dengan hati-hati agar tak mengeluarkan suara. Sambil berjinjit, Jaemin duduk di sisi lain tepi ranjang gadis kecil yang masih sibuk berdoa itu.


“Dear God, selamat malam. Aku boleh meminta untuk bermimpi yang indah? Jangan memberikanku mimpi yang seram, ku mohon. Di sini sudah cukup menyeramkan dengan suara jangkrik dan kodok yang bersahut-sahutan.”


Gadis kecil itu terdiam sejenak, menarik nafas lalu melanjutkan doanya. Tanpa menyadari kalau Jaemin sudah ikut mendengarkan semua celotehannya.


“Oh, iya, aku mohon berikan Ayah mimpi indah juga. Ayah memang menyebalkan. Tapi aku sayang pada Ayah. Dan maafkan Ayah soal tadi, saat Ayah bilang kalau Halmeoni sudah meninggal, Ayah memang seperti itu kalau mabuk. Sudah lama menduda, ya... seperti itu.”


Oh, Jaemin sudah tak kuasa menahan tawanya. Semua amarahnya tadi seakan menguap begitu saja, mendengar doa yang kelewat polos dari gadis kecil itu.


“Sudah, ya. Sekarang Minjae akan tidur. Semoga besok menjadi hari yang menyenangkan. Selamat malam.”


“Hanya berdoa untuk Ayah?” tanya Jaemin tiba-tiba.


Minjae tersentak kaget, ia menoleh, mendapati Jaemin sedang tersenyum manis padanya.


“Ehehe, Jaemin-ssaem. Sejak kapan Ssaem di sini?” tanyanya malu-malu.


“Sejak kau berdoa tentang suara jangkrik dan kodok.”


Wajah Minjae bersemu, ia mengerjap lambat sambil terkekeh lirih.


“Lalu? Kenapa kau hanya berdoa untuk Ayahmu saja? Untuk Ibumu, kenapa tidak?” tanya Jaemin lagi.


Sejenak terdiam, lalu Minjae tersenyum lebar. Menatap Jaemin dengan kedua matanya yang mengingatkan Jaemin pada seseorang yang memiliki pancaran sinar dari dua obsidian di matanya itu.


“Tidak perlu, Ssaem. Aku tidak perlu berdoa untuk Bunda,” jawabnya dengan riang.


Alis Jaemin terangkat satu, jelas ia terheran dengan jawaban Minjae. “Hm? Kenapa?”


Satu tarikan senyuman, disertai dengan kernyitan di puncak hidung dan mata yang menyipit. Sungguh... Minjae sungguh mengingatkan Jaemin dengan seseorang dari masa lalunya.


“Karena Bunda sudah bersama Tuhan. Aku tidak perlu berdoa, karena Bunda bisa memintanya sendiri pada-Nya.”


“Oh...”









🎥









🎥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Altering SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang