Scene 🎬 38

1.8K 257 16
                                    




🎥









Malam ini cerah—sangat cerah. Bintang berkelip jenaka, tidak ada awan yang menggantung di udara, dan sebagai pelengkap, sang bulan purnama sudah bertahta sempurna.


Sebuah malam yang sudah seperti salinan puisi para pujangga.


Dan di sini, Minhyung duduk terdiam di bangku panjang di halaman belakang. Terpaku menatap sang rembulan yang seolah sedang mendongengkan sebuah cerita.


Cerita tentang sebuah rasa yang akhirnya disadari dan dirasa.


“Injun-ah... apa yang harus kulakukan?”


Sesepoi angin malam berdesir lembut, menyapa hati yang gundah gulana, membuat Minhyung merapatkan kedua matanya seraya menarik nafas dalam-dalam.


Minhyung-ah...”


Minhyung tersentak oleh sebuah suara yang entah datang dari mana. Tapi dia tahu persis itu kepunyaan siapa.


Tersenyumlah...”


Ditatapnya kembali rembulan yang masih setia bersinar terang. Dan tidak disangka, di cahayanya ia bisa melihat sesuatu yang sedang dikenangnya.


“Injun-ah?”


Wajah Renjun yang tersenyum menyapanya lewat cahaya bulan, senyumannya masih sama seperti dulu; hangat dan menyilaukan.


Kejarlah dia...”


“Injun-ah...”


Katakan saja Minhyung sudah gila, tapi saat ini ia benar- benar bisa mendengar suara dan melihat senyuman itu dengan jelas.


Minhyung-ah, jatuh cinta itu tidak hanya satu kali.”


“A-aku...”


Jaemina, kejarlah dia.”


“Aku tidak bi—”


Satu tetes air mata terlolos dari sudut mata Minhyung yang memejam rapat. Di tundukkannya kepala dalam-dalam, perlahan terisak dengan tangan mengepal erat di dada.


“Tidak bisa—sudah tidak bisa. Ak-aku terlambat, sungguh terlambat.”


“Ayah?”


Minhyung tersentak mendengar panggilan dari putri yang kini sudah mendekapnya dari belakang.


“Kenapa Ayah menangis? Jangan menangis, Hatiku sakit jika melihat Ayah menangis...”


Minhyung terkekeh pelan, dihapusnya air mata yang menjejak di pipi seraya mengeratkan lingkaran lengan Minjae pada tubuhnya. “Maafkan Ayah. Ayah hanya sedang—”


“Menyesali semuanya?”


“Yeah...” Minhyung mengangguk seraya memutar tubuhnya, kemudian ditatapnya wajah mungil yang penuh dengan guratan kekehawatiran itu. “Kenapa kau belum tidur? Besok kita harus berangkat pagi sekali.”


“Aku tidak bisa tidur.”


“Kenapa?”


“Tidak tahu. Mungkin karena memikirkan besok adalah hari pernikahan Jae—aw!”


The Altering SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang