Scene 🎬 31

1.6K 273 9
                                    




🎥









Langkah Jaemin berderap cepat, menembus angin dingin di malam musim panas yang berhembus cukup kencang. Disapanya para petugas yang sedang berkeliling untuk berjaga, lalu melanjutkan untuk memasuki area pondok anak didiknya.


Setelah ia meminta kru dapur untuk membuatkan makanan untuk Jeno, ia bergegas untuk mengecek anak-anak didiknya. Karena ini sudah lewat jam sembilan malam dan ia harus melakukan tugas ini mau tidak mau.


Satu persatu ia mengecek semua pondok dan ketika semuanya selesai, ia kembali bergegas ke dapur besar; mengecek makanan yang dipesannya untuk Jeno.


Namun langkahnya terhenti, ketika sudut matanya menangkap sesosok pria yang terduduk merenung sendirian di sebuah gazebo kecil di dekat danau.


Sungguh, dalam kepalanya ia ingin mengabaikannya dan lanjut menuju dapur. Tetapi hatinya berkhianat dan menyuruh langkahnya untuk mendekat.


“Kau sedang apa?” tanyanya sembari merapatkan jaket.


Pria itu menoleh, lalu tersenyum ketika ia menatap wajah pucat Jaemin yang menyapanya.


“Duduklah di sini. Aku sedang menikmati angin malam,” ucapnya seraya menepuk tempat kosong di sebelahnya.


Lagi, hati Jaemin kembali memberontak dan menyuruhnya untuk duduk di samping pria yang kini terus menatapnya dengan senyuman penuh makna.


“Di sini dingin sekali. Sepertinya akan turun hujan. Kau sebaiknya kembali,” usul Jaemin, namun segera ditolak dengan sebuah gelengan cepat.


“Aku pusing mendengar Haechan mengomel.”


Jaemin mengulum senyumnya. Ia mendongak, menatap langit yang biasanya bertabur bintang kini gelap dengan semburat abu-abu tipis yang merata sempurna.


“Bagaimana kabar Ma?” tanya Jaemin memecah keheningan.


“Ma baik-baik saja. Masih cerewet seperti biasanya. Lalu, bagaimana dengan Bunda?”


“Bunda sehat,” jawab Jaemin singkat.


Yang mana langsung dirutukinya karena membuat suasana menjadi semakin canggung.


Kesunyian yang tidak akrab sukses mengundang hujan; datang sudah diperkirakan tetapi tetap saja membawa kejutan.


Tanpa membawa gerimis, langsung dengan curahan deras tanpa adanya jeda.


“Hujan! Minhyung, kita harus segera kembali!”


“Tetaplah di sini.”


“Huh?”


“Stay.”


Satu tarikan cepat Minhyung di lengan Jaemin membuatnya kembali duduk di sebelahnya.


Jaemin membisu sepersekian detik, hampir tenggelam dalam pancaran obsidian kembar yang berkelip seperti bintang fajar, kemudian ia kembali pada realita dan menarik lengannya dari genggaman Minhyung. “Kita akan kebasahan dan kau akan masuk angin. Kau selalu seperti itu jika kehujan—”


“Apa kau ingat, saat kita masih di sekolah dasar dulu?”


“Ya?”


“Kalau hari hujan, sepulang sekolah kita akan berteriak kegirangan. Berlarian menembus hujan. Dan ketika hujan datang saat sore, kita saling bertaruh siapa yang paling cepat keluar rumah.”


Jaemin terbungkam. Entah kenapa memori itu kini tertampil kembali dengan jelas tanpa cela.


“Lalu, apa kau ingat waktu kita SMA? Kalau hari hujan, kita akan menari di bawahnya sambil tertawa dan menghakimi dalam diam orang-orang yang menghindarinya,” lanjut Minhyung seraya bangkit, berjalan satu langkah ke depan dan membuatnya berdiri di bawah hujan yang mulai berjatuhan dengan deras.


“Mau mengulangnya seperti hari itu, Minjaemin?”


Satu tangan terulur, menunggu disambut dengan uluran lain yang berharap dengan maksud mengiyakan.


“Tapi...”


“Ayolah, aku hanya ingin menari bersamamu seperti dulu. Tidak masalah, 'kan?”


Satu uluran tangan akhirnya bersambut. Kaki terlangkah maju dengan tatapan terkunci menatap lugu.


Jaemin perlahan berjalan mendekat dengan tangan tergenggam erat, membuat keduanya kini berdiri di bawah hujan dengan tatapan saling terjalin cermat.


“Tidak ada lagu,” bisik Jaemin saat Minhyung mulai melingkarkan lengan kanan di pinggangnya.


Satu siulan beradu dengan rintik hujan. Minhyung menyenandungkan sebuah lagu yang lama dirindukannya.


“Apa ini cukup merdu sebagai sebuah lagu pengiring?” tanyanya seraya menggerakan tubuhnya, mengantar Jaemin pada sebuah dansa yang perlahan tercipta.


Siulan terus beradu dengan suara hujan, menciptakan lantunan irama tersendiri yang membawa dua hati ke masa lampau.


Membawa dunia yang dulu ditinggalkan dan hampir terlupakan.


Dan juga membawa sebuah kunci. Kunci dari kerangkeng besi di dalam hati Jaemin. Mengeluarkan rasa yang terpenjara dan asa yang pernah ada.


“Aku—men—i mu, Na Jae—in.”


Kalimat terucap samar, terseok oleh rintikan hujan dan degupan jantung yang menderu.


“Kau bilang apa?”


Hanya sebuah senyuman singkat yang Jaemin terima. Disusul dengan dekapan erat yang berbalut rindu, berselimut sejuta makna.


Tak dirasa, langkah terus beradu tanpa ragu, tanpa tersendat dengan berbagai macam fakta.


Di mana salah satu fakta adalah hati seseorang yang penuh dengan luapan gembira saat melihat mereka berdua.


“Bunda... apa kita sudah berhasil?”









🎥









🎥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Altering SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang