Scene 🎬 25

1.9K 287 5
                                    




🎥









“Baik, kalau begitu saya akan memasukan kembali data Anda dalam sistem kami. Untuk tiga hari lagi, benar begitu, Haechan-ssi?” tanya Hani pada Haechan.


Haechan mengangguk cepat, lalu memalingkan wajahnya. Menatap sepasang Ayah dan Anak yang sedang terduduk bersanding dalam diam.


“Baik, semuanya sudah selesai. Kami akan meng-charge nya ketika anda check-out.”


Dengan ini, Haechan kembali mengangguk dan berjalan perlahan mendekat pada kakak sepupunya.


“Kau kenapa, Hyung?” tanyanya sembari mengamati ekspresi kakak sepupunya itu dengan cermat.


Tidak ada jawaban. Minhyung terdiam membisu dengan tatapan kosong tertuju pada lantai.


“Ayah?”


Minhyung menoleh, panggilan lembut dari putrinya berhasil menariknya dari lamunan.


“Yes, Kiddo?”


“Aku harus kembali ke pondokku.”


“Ahh, iya. Sana cepat kembali. Ini sudah larut dan kau harus beristirahat,” tutur Minhyung sembari mengelus kepala Minjae dengan lembut.


Minjae mengangguk, lalu bangkit berdiri dan melangkah lesu meninggalkan keduanya. Namun ia berhenti sejenak, kembali berbalik dan menatap Ayahnya dengan senyuman simpul. “Ayah...”


“Ya?”


“Aku sayang sama Ayah,” ucap Minjae, mengerjap cepat. “Aku juga sayang Bunda, dan—”


Haechan dan Minhyung terdiam, berkonsentrasi dengan apa yang akan dikatakan oleh Minjae selanjutnya.


Satu tarikan nafas panjang lalu sebuah hembusan lelah terlepas dari bibir mungil Minjae,.


“Dan juga, sepertinya aku sangat sayang pada Minjaemin-Ssaem!”


Minhyung terhenyak, tatapan tetap terfokus pada Minjae yang sudah berlari dengan riang keluar pondok utama.


Sementara Haechan hanya bisa mendesah lirih, sesekali mencuri tatapan pada Minhyung yang masih tertegun setelah Jaemin berpamitan untuk mengantar Jeno yang ternyata harus menginap di pondoknya. Karena mereka memutuskan untuk memperpanjang paket menginapnya.


“Hyung.”


“Hm?”


“Ada apa denganmu?”


Sejenak keheningan tercipta. Tak ada satupun jawaban yang terucap. Yang ada hanya gumaman lirih yang hampir tak terdengar dari bibir Minhyung.


“Hyung—”


“Tidak ada apa-apa, Haechanie. Aku hanya tidak menyangka kalau akan bertemu dengannya di sini.”


Haechan mengulum senyumnya, lalu tangan terulur mengelus punggung Minhyung yang terbungkuk lesu.


“Hanya itu?” tanyanya lagi.


Minhyung terduduk tegak, tersenyum lebar lalu terkekeh pelan. “Ya, memangnya apa lagi? Sudah hampir sembilan tahun aku tidak bertemu dengannya. Kau tahu sendiri, dia sahabatku, kami dulu sangat dekat. Hanya saja aku terkejut kalau dia sama sekali tidak berubah sedikitpun, tetap—”


“Terlihat jelas kalau perasaanmu padanya yang kini telah berubah, Hyung.”


Kedua bola mata Minhyung membulat sempurna, menatap Haechan yang menyela kalimatnya dengan satu fakta baru yang tak disadarinya.


“Hahaha, perasaan yang seperti apa maksudmu? Rindu? Jelas aku merindukannya.”


“Bukan.”


“Lalu apa?”


“Perasaan yang sama, yang tak pernah padam walaupun kau berusaha sekuat tenaga memendamnya jauh setelah Renjun tiada.”


“Kau...”


“Ya, Hyung. Itu namanya cinta.”


Minhyung terhenyak. Kalimat Haechan seakan mengoyak sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang tak pernah keluar melihat dunia nyata.


Cinta?


Bukankah kita hanya bisa jatuh cinta satu kali seumur hidup?


Cinta?


Dia dan Jaeminnya?


Minhyung lagi-lagi terkekeh. “Haechanie, aku dan Jaemin adalah sahabat. Dan aku yakin tidak akan pernah ada cin—”


“Jangan berkata seperti itu. Apa kau ingin berkenalan dengan yang namanya karma?”


Minhyung terdiam. Isi kepalanya sepertinya sedang giat memompa keluar seluruh kenangannya bersama Jaemin saat ini.


“Hanya satu yang bisa ku katakan sebagai saran untukmu, Hyung...” ujar Haechan sembari bangkit berdiri.


“Renungkan apa yang hatimu katakan, lakukan apa yang menurutmu layak diperjuangkan. Jangan sampai kau menyesal di kemudian.”


“Cinta itu terjadi bukan hanya satu kali seumur hidup. Persetan dengan idiom anehmu. Sembilan tahun adalah waktu yang tidak singkat, yang terbuang hanya untuk mengatakan tentang sebuah rindu.”


“Haechanie, sudah, hentikan.”


“Hatimu, apa sedang terasa sakit? Jika iya, seharusnya kau mendekapnya tadi.”


Haechan menghela nafas lelah, sulit untuknya menceramahi kakak sepupunya yang terlalu bodoh untuk urusan seperti ini.


“Aku akan kembali ke pondok, Hyung. Kau mau di sini atau bagaimana, terserah.”


Minhyung memegangi dadanya, menatap Haechan yang sudah beranjak pergi meninggalkannya sendirian. “Hatiku? Sakit?”









🎥









🎥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Altering SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang