1 - Neysa : Untuk Naff

224 23 9
                                    

Tangerang, 01 Agustus 2013

Dear Naffis,
Apa kabarmu disana?
Sudah lebih dari satu Tahun tidak bertemu.
Bagaimana Swiss? Bagaimana kota Rapperswill?
Apa negeri dongeng Itu membahagiakanmu dan mewujudkan segala mimpi-mimpi mustahilmu Itu?
Maaf, Naff, Maaf kalau Aku terlalu banyak bertanya.
Aku terlalu ingin tahu Bagaimana kabarmu disana.
Oh Iya, besok lusa, Aku dan kakek akan pindah ke Alor. Rumah dinas kakek disana tidak terurus, dan aku diterima disalah satu universitas keren di Kupang. Kakek juga rindu kerabat lamanya disana. Katanya, Dia penat dengan ramainya kota Industri yang semakin hari semakin padat ini. Dia terlalu renta untuk kota yang rentan. Dia ingin Tinggal disebuah kota yang hanya dihuni oleh beberapa orang saja perkilometernya.

Naff, bisa jadi, besok, besok lusa, seminggu, Sebulan atau setahun Lagi kamu membaca suratku ini, aku harap kamu tahu, kalau dirimu adalah satu satunya yang berhasil membuat kakek tertawa lepas. Dia terus bertanya kabarmu padaku. Aku terpaksa berbohong berkali-kali, bilang kalau kamu rutin mengirimiku pesan email dan bilang juga kalau kamu baik-baik saja disana. Padahal sepatah kata tentang kabarmu pun aku tak punya. Temui dia kalau kamu punya waktu, Naff. Temui aku juga kalau kamu bersedia. Ada maaf yang belum kusampaikan padamu.

Ah iya, titip salam untuk ayahmu. Sampai sini dulu, semoga kamu paham maksudku bagaimana, Naff.

Dariku,
Neysa Zannia Delune

🌍👩🏾‍🚀

Aku melipat kertas itu menjadi empat dan memasukkannya di amplop. Sengaja, tidak kutuliskan alamat, sebab aku sendiri pun tidak tahu harus mengirimnya kemana? Naffis begitu membingungkan jadi manusia. Membuatku kesusahan untuk membacanya.

"Apa yang kamu tulis, Ney?"
Kakek datang tanpa mengetuk dulu pintu kamarku.

"Ah bukan apa-apa kek."

"Surat untuk Naff?"
Aku hampir tidak percaya kakek bisa menerka se-tepat itu.

"Mmm... "
Kalimatku mengantung. Lidahku kelu ketika kakek menyuarakan nama itu. Kakek mengangkat sebelah alisnya, sedikit memiringkan kepalanya, seolah memintaku untuk mengakui kalau yang dia bilang barusan itu benar.

Aku mengangguk pelan.
Kakek tersenyum, orang paling kusayang itu membelai rambutku,
"Dia teman yang baik, Ney. Terlalu baik ya? Sampai kamu susah sekali melupakannya!" Kakek duduk disampingku lalu merangkul ku.

Iya, dia terlalu baik, untuk berteman denganku yang terlalu jahat dan egois, dia terlalu baik untuk berteman denganku yang terlalu ingin dipahami tetapi enggan memahami. Aku terisak didalam hati.

"Ney, semua barang-barang mu sudah siap? Jam 5 sore nanti kita berangkat kebandara."

Aku hanya mengangguk. Trakeaku rasanya masih kaku untuk bersuara setelah kakek menyebutkan nama Naff. Sulit menerima kenyataan kalau laki-laki itu sudah membenciku. Harusnya waktu itu aku mengiringi penerbangannya ke Swiss. Harusnya aku minta maaf dan kami berdamai. Menjadi teman kembali. Naff, bisakah kita berteman lagi? Bisakah kita naik ke menara yang kamu buat ditengah-tengah kebun teh itu lagi? Bisakah kita menghabiskan waktu untuk menertawakan dunia lagi? Bisakah, Naff?

Baiklah, sebaiknya aku berhenti memanggil-manggil namamu. Toh, kamu jauh, tidak bisa dengar. Lagipula kalaupun kamu tepat didepan mataku, kamu pasti akan pura-pura tuli, karena terlalu membenci diriku. Kenapa, ya, kadang, rasanya, masa lalu itu terlalu tidak adil bagiku, Naff.

"Ney? Ney? Neysa?" Kakek membuyarkan lamunanku.

"Kenapa melamun?"

"Gak melamun, kek..."

"Tapi mencemaskan sesuatu?" Sambar kakek menyambung kalimatku.

Mencemaskan? Apa yang sebenarnya harus aku cemaskan? Naffis? Masa lalu itu? Atau apa?
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan.

UTUH (Denganmu, Ada Kalimat Yang Tak Kunjung Kuberi Titik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang