Semesta, mungkin, Naff benar. Aku harus berhenti menyalahkan keadaan dan diriku sendiri. Karena itu nggak akan ada ujungnya. Iya, tidak berujung, buntu, pupus, dan tidak punya celah untuk dituju.
Dituju?
Memangnya, siapa yang sedang berjalan? Pikiranku bahkan tetap diam disatu titik. Titik dimana aku merasa sangat senang bisa bertemu dengan manusia seperti Kahfi. Kahfi yang sekarang entah kemana dan meninggalkanku dengan berjuta tanda tanya. Dia berbohong. Katanya, dia tidak akan membuatku merasa kesepian lagi.Akankah dia pulang?
Tunggu, memangnya siapa yang Kahfi jadikan rumah? Aku sendiripun ragu definisi rumah untuknya itu seperti apa? Apakah sebuah perasaan atau hanya sebuah bangunan yang dindingnya kokoh dan dicat pakai cat tebal, lalu setiap sudut ruangannya, dihiasi benda dengan harga selangit?
Ataukah rumah untuknya adalah seseorang, sebuah hati untuknya berteduh juga mengaduh.Tapi, apakah benar dia menjadikanku rumah?
Sedangkan, kota ini saja tidak pernah ia tinggali lama, cuma ia singgahi sesekali saja. Aku merasa sedang diambang kebimbangan, semesta.
Sebenarnya, Kahfi itu menganggap ku istimewa, apa tidak?
Apa kejadian sore itu cuma ia anggap pertemuan dengan sahabat lama yang sudah lama tak bersua. Aku mendadak tidak percaya lagi, pada kisah abadi pertemanan sepasang anak kecil yang berubah jadi cinta saat remaja, dan berakhir hidup bahagia, abadi selamanya, seperti yang diceritakan novel-novel keren itu."Naffis..."
"Sebentar lagi, ya, Ney, sebentar lagi kita sampai. Tinggal satu belokan lagi."
Naff membelokkan setir mobilnya dan kami berhenti disebuah perkebunan teh yang luas, hamparan pohon teh yang menenangkan, hawa sejuk yang seolah membawa diriku kenegeri baru yang sunyi dan tidak ada celah untuk makhluk bisa saling menyakiti.
"Turun!" Perintahnya padaku.
Aku menurut dan ikut dengan Naff duduk disalah satu batu besar yang ditumpuk. Aku dan Naff ada dipuncak perkebunan ini, jadi, sejauh mata memandang, hanyalah hamparan kebun teh yang tidak akan pernah membosankan untuk dipandang.
"Suka sama tempatnya, Ney?"
Aku mengangguk bersemangat, "Aku suka sama apapun jenis peristiwa dan penampakan alam, Naff. Senja, Sunrise, langit, pantai, pepohonan, tumbuhan, ah, hanya saja aku membenci salah satu jenis tumbuhan."
"Tumbuhan apa, Ney?"
"Aku benci, Jarak!"
Naff tersenyum, "Tapi, kamu nggak boleh benci ke dirimu sendiri, Ney. Nggak boleh, nggak boleh pokoknya!"
Bibirku terangkat, "Iya, Naff."
Naff tersenyum, matanya terus menyapu sekelilingnya, "Kamu terlalu sibuk dengan pikiranmu, sampai nggak sadar, kalau kita sekarang sedang dimana!"
"Emang kita dimana, Naff? Kita masih di Tangerang, kan?"
"Kita di pesisir Bogor, perbatasan antara Bogor dan Tangerang, Ney!"
"Apa?"
Naff tersenyum penuh arti. Senyum simpul yang kalau diterjemahkan maksudnya, mungkin, kira-kira seperti ini, 'Nggak usah kaget, biasa aja, aku cuma mau membuatmu tenang!'
"Ney..."
"Hmmm..."
"Mau samperin Kahfi sekarang? Jaraknya paling cuma tiga jam dari si-"
Aku dengan cepat menggeleng, "Mau sih, tapi aku nggak siap. Lagian apa yang mau kukatakan padanya, nanti."
Aku mendongakkan wajah kelangit,
"Nanti dia bakal bilang aku cewek possesive, Naff, aku nggak mau!"Setelah itu kami saling diam. Mendadak, aku juga merasakan langit sedang mengutuki diriku yang sepertinya terlalu banyak membahas tentang Kahfi pada Naff.
KAMU SEDANG MEMBACA
UTUH (Denganmu, Ada Kalimat Yang Tak Kunjung Kuberi Titik)
Teen FictionSetiap kisah selalu bermula untuk berakhir, selalu bertemu untuk berpisah, selalu suka untuk luka, ibarat dua mata pisau yang bisa membuai dan juga membunuh. Pencarian makna utuh seorang Neysa. Mari kita mulai dari bab pertama.