Hari itu adalah hari kesepuluh dibulan Juli, hari kedua setelah pengumuman kelulusanku. Dua hari sebelum keberangkatanku ke Alor. Seperti apa yang sudah Naff katakan didalam mobilnya. Kalau aku harus berdamai dengan Kahfi.
Dengan langkah perlahan aku masuk kedalam ruang tamu. Kahfi langsung berdiri menyambut kedatanganku. Tanpa dikomando aku duduk berhadapan dengannya. Sedangkan Kakek duduk disebelah kananku.
"Kamu pakai baju siapa, Neysa?" Tanya kakek.
"Baju teman, kek!" Jawabku singkat, aku tidak mungkin bercerita kalau aku habis jalan-jalan dengan Naff didepan Kahfi.
Kakek beranjak dari duduknya, tapi aku segera menahannya, "Kakek disini saja, duduk."
"Kakek mau ambil handuk untukmu dulu sebentar!"
Entah itu hanya alasan kakek atau tidak, jadi, diruang tamu aku hanya tinggal berdua dengan Kahfi."Saya kemari, mau minta maaf, Ney!" Ucap Kahfi sambil tertunduk. Ia langsung to the point.
Alih-alih menjawab permohonan maafnya, aku malah menaruh amplop yang berisi foto-foto Kahfi dengan perempuan lain.
"Bohong, katamu, tidak pernah ada perempuan lain!"
Kahfi memungut salah satu foto itu, "Dia, ini, adik sepupuku, Ney!"
Aku terkejut mendengar penjelasan darinya. Naff benar, aku sudah seharusnya mendengar penjelasan Kahfi, bukan main menyimpulkan sendiri."Jadi, karena ini, kamu pergi sama Naff?" Tanya Kahfi.
Aku diam, mendadak, aku jadi merasa bersalah pada Kahfi.
"Iya, maaf juga, aku sudah, kayak anak kecil di stasiun tadi, Ka!"Kahfi berpindah tempat menjadi disampingku, "Boleh, kan, saya pindah disampingmu!"
Aku mengangguk, dadaku menghangat saat Kahfi mengelus kepalaku, "Jaga terus kepala mu, ya, Ney!""Iya!"
"Ney?"
"Apa?"
"Boleh, nggak, kalau besok, kita ke Ragunan?"
"Besok banget?"
"Iya, sebagai hari terakhirmu di Tangerang."
"Oh iya, aku, kan harus ke Alor, ya, besok lusa!"
Kahfi mengangguk.
"Ka, boleh nggak kalau kita ganti, perginya kerumah Oma Odyn aja?"
"Berdua sama saya kesana, gitu maksudmu?"
Aku mengangguk, "Iya!"
"Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa gimana maksud kamu?"
"Ya, nggak apa-apa perginya sama saya?"
"Iya, nggak apa-apa, dong, Ka!"
"Sudah nggak marah?"
Aku menggeleng pelan, "Enggak!"
"Maaf kalau saya keterlaluan padamu dan juga pada Naff!"
"Ka!"
"Iya, maaf, Ney!"
"Akan selalu ada maaf untukmu, Ka, asal kamu nggak mengulanginya lagi!"
"Ney!"
"Iya?"
"Saya mau kasih buku puisi-puisi saya untukmu. Saya, kan, sudah janji, mau kasih ini ke kamu!"
Aku menerima jurnal itu, jurnal kecil berwarna putih polos dari tangan Kahfi. Sedetik kemudian Kahfi bersuara lagi,
"Ney, kalau misal kita ini lebih dari teman boleh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UTUH (Denganmu, Ada Kalimat Yang Tak Kunjung Kuberi Titik)
Teen FictionSetiap kisah selalu bermula untuk berakhir, selalu bertemu untuk berpisah, selalu suka untuk luka, ibarat dua mata pisau yang bisa membuai dan juga membunuh. Pencarian makna utuh seorang Neysa. Mari kita mulai dari bab pertama.