Setahun berikutnya adalah masa yang paling menyebalkan karena aku harus mengikuti segala perintah dokter yang menyulitkanku untuk berteman lagi dengan Neysa. Seperti, berhenti naik metromini karena katanya asap dan polusi metromini tidak baik untuk jantungku.
Diperparah dengan tingkah Neysa yang setiap aku berusaha membuka percakapan dengannya, ia selalu sesegera mungkin menyingkir dari pandanganku, seolah tidak peduli dengan harapku untuk tetap menjadi temannya. Aku tahu Neysa adalah perempuan yang berdedikasi tinggi pada hal yang ia sukai dan ia minati. Terbukti, ia terpilih menjadi ketua OSIS ditahun kedua kami memakai seragam putih abu-abu.
Saat aku bertanya pada Neysa, apakah Andeva masih mengganggunya itu adalah sebagian dari caraku meyakinkan diriku sendiri kalau aku berhasil melindunginya dengan mendatangi orang-orang yang berpotensi menyakitinya lalu membuat persetujuan gulat. Barangkali kalimatku agak membingungkan untuk kalian. Hehe, sederhananya saat aku kerumah Andeva aku sedikit mengancamnya agar tidak berlaku kasar lagi dengan Neysa dan kalau dia melanggar persetujuan, aku tidak akan segan-segan membuatnya jatuh terpelanting lagi atau bahkan lebih parah. Barangkali kedengaran sedikit kurang sopan. Tapi aku memang benar-benar serius, aku berkata seperti itu tanpa ada sedikitpun ragu dikepalaku.
Pertemuan itu diakhiri dengan Andiva yang menghampiri kami diteras rumah dan aku mengubah topik pembicaraan menjadi planning untuk lomba debat.
Sebelum pergi, Andeva mendengus sebal dan menatapku tajam. Tapi aku tidak takut sedikitpun, ini demi keamanan Neysa yang kala itu menolak untuk kujaga sementara waktu. Hari itu aku bertanya banyak hal pada Andiva, termasuk tentang Jaan yang ternyata adalah sahabat dekat Kahfi.
Dari awal aku sudah punya firasat buruk dengan Jaan. Dari serangkaian penjelasan Andiva, tiba-tiba aku mendapat sebuah kesimpulan kalau Kahfi sengaja mengirim Jaan untuk memata-matai Neysa atau mempermainkan perasaan Neysa. Tahukah rasanya tanganku mengepal saat tahu hal itu. Rasanya ingin kuhabisi wajah Jaan. Bodohnya manusia itu mau saja disuruh-suruh oleh Kahfi. Entahlah persahabatan solid seperti apa diantara Jaan dan Kahfi? Bagiku, persahabatan absurd yang mempermainkan perasaan seorang perempuan itu sungguh tidak berperikemanusiaan. Terlebih kalau hal itu mamang sengaja dilakukan karena sudah direncanakan.
Barangkali memang ada beberapa hal yang akan menjadi lebih baik saat kita pendam dan dirahasiakan, karena diucapkan sekalipun hanya akan memperburuk keadaan.
Jadi, aku memilih diam dan merahasiakan hal ini pada Neysa. Biar waktu yang menjelaskan semua ini padanya.
-
Beberapa hari sebelum acara lomba itu. Aku memberanikan diri mengundang Neysa. Berbasa-basi di kantin dan yang terjadi setelah itu sudah Neysa tuliskan secara rinci dari sudut pandangnya dibab-bab sebelum bab ini kutulis.
Hal yang aku sembunyikan lagi dari Neysa adalah aku yang mengaku ketiduran setelah pulang dari acara lomba itu. Aku tidak benar-benar ketiduran, tapi aku dilarikan dirumah sakit karena sesampainya dirumah dadaku terasa sesak. Aku masih ingat, betapa bunda panik sampai menangis sesenggukan.
"Antibiotik belum benar-benar membunuh penyakit itu, bunda. Karena obat terbaik segala penyakit itu ... adalah bunda dan ayah."
Ucapku dengan senyum yang mengembang."Boleh pulang sekarang, bunda? Bau rumah sakit buat aku alergi."
Bunda mengangguk dengan sisa haru terlukis diwajahnya. Lalu menuntunku berjalan keluar menuju pintu. "Bunda aku merasa jadi balita lagi dituntun seperti ini. Aku bisa sendiri bunda. Yang sakit itu jantungku bukan kakiku.""Dasar anak bunda yang keras kepala!"
"Jangan kutuk aku jadi malin Kundang bunda, ampun!"
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UTUH (Denganmu, Ada Kalimat Yang Tak Kunjung Kuberi Titik)
Ficção AdolescenteSetiap kisah selalu bermula untuk berakhir, selalu bertemu untuk berpisah, selalu suka untuk luka, ibarat dua mata pisau yang bisa membuai dan juga membunuh. Pencarian makna utuh seorang Neysa. Mari kita mulai dari bab pertama.