Sudah lebih dari setahun aku berhenti memikirkan soal perasaan itu, sebab, bagiku, tidak ada yang perlu lagi untuk dicemaskan. Toh, logikanya, kalau seseorang itu memang benar-benar menyayangi, dia tidak akan pernah pergi apalagi berlari. Ya, meski ada separuh dari hatiku yang berontak dan ingin sekali mencari jejaknya juga ingin sekali menahannya untuk tidak pergi.
Banyak yang berusaha kubangun dalam diriku sendiri. Termasuk rasa percaya akan masa depan. Rasa percaya kalau, kelak, dimasa yang akan datang, aku pasti akan berhenti berkawan dengan sepi.
Asli, aku merasa lucu sebenarnya. Mungkin kalian berfikir kalau keseharianku sudah cukup ramai, diisi banyak manusia, teman kursus, teman PMR, dan sekarang ditambah teman-teman dari tim OSIS, dimana aku yang jadi pemimpin mereka. Tapi, pada beberapa keadaan, percayalah, aku tetap saja merasa sendiri.
"Sudah sampai, yuk, turun!"
Suara kak Cila memecah keramaian dikepalaku."Iya, kak!"
"Oh iya, Jaan juga ikut debat loh!"
"Loh? Dia kan sekarang kelas duabelas!"
"Tapi kan, dia, masih pelajar!"
"Oh, begitu!"
Saat masuk keruang aula kantor Walikota, pandanganku langsung menuju pada Naff yang berdiri penuh percaya diri diatas panggung sana. Sedangkan disampingku, kak Cila dengan heboh melambaikan tangan pada seseorang yang entah siapa, aku mengikuti arah matanya dan ia adalah Jaan.
Entah hanya perasaanku atau beneran. Jaan menatapku dan tidak mengalihkan pandangannya dariku selama beberapa detik. Aku membalas tatapannya dengan senyum tipis, kupikir, ia akan mengalihkan pandangannya. Tapi ternyata tidak, ia terus menatapku, sekarang tambah senyum. Duh, setahun tidak bertemu dengannya, membuat wajahnya tampak lebih menyenangkan.
"Kakek!!"
Dengan ekspresi terkejut separuh terkekeh, kakek berkata, "Loh, sudah beda orang ternyata, yang isi kursi disebelah kakek!"
"Emang tadi yang disebelah kakek siapa?"
"Hah?"
"Emang, siapa tadi yang duduk disebelah kakek?"
"Hah? Nggak kedengaran!"
Iya, karena suasana disana begitu ramai, dan berisik, jadi, mungkin, kakek tidak bisa dengar apapun yang baru saja kuucapkan."Kamu tuh telat satu babak, tahu, nggak? Kamu itu bukan teman yang baik, Ney!" Omel kakek padaku, beradu keras dengan bisingnya suara penonton yang lain.
"Maaf, kek!"
"Minta maafnya sama Naffis!"
"Iya!"
"Kenapa telat?"
"Tadi habis ketemuan sama anak OSIS?" Jawabku.
"Hah? Kebangetan! Kamu telat, cuma karena kamu ngantri makanan sosis mayonaise?"
Entah sengaja atau tidak, kakek bilang begitu."Anak OSIS, kakek! Bukan Sosis Mayonaise!"
Aku gereget sendiri dengan kakek yang tiba-tiba berubah menyebalkan.🌍👩🚀
Seperti yang sudah kubilang, aku menjauhi Naff, bukan karena aku marah atau benci padanya. Tapi lebih kepada aku ingin mencoba melupakan Kahfi (Ya, walaupun sampai saat ini belum terkabul).
Jadi, aku, memutuskan untuk menyibukkan diri. Aku sama sekali tidak membencinya, selama setahun ini, kami sering mengobrol, tapi hanya sebentar-sebentar saja, Naff juga tidak pernah lagi mengajakku jalan-jalan ke kebun teh lalu melihat roketnya. Roket yang katanya bisa menembus angkasa dan mendarat tepat di Planet Naffis Anugerah.
Jujur, aku sedikit rindu moment tertawa bersamanya, saat ia menceritakan tentang Jihan yang konyol itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/194081885-288-k219018.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UTUH (Denganmu, Ada Kalimat Yang Tak Kunjung Kuberi Titik)
أدب المراهقينSetiap kisah selalu bermula untuk berakhir, selalu bertemu untuk berpisah, selalu suka untuk luka, ibarat dua mata pisau yang bisa membuai dan juga membunuh. Pencarian makna utuh seorang Neysa. Mari kita mulai dari bab pertama.