Anindya meletakan ponselnya di meja makan sebelum mengedarkan pandangan pada apartemen yang sudah beberapa minggu ini ia tidak tinggali. Semuanya masih sama, masih bersih seperti saat ia belum kembali ke Jogja, dan masih penuh dengan harum maskulin dari parfum lelaki yang tinggal disini.
‘San, aku udah sampe apart.’
Beberapa detik ia menunggu setelah pesan terkirim, tapi belum ada juga balasan. Pesan sebelumnya yang ia kirim saat akan boarding dan ketika sudah landing juga belum dibaca.
Bosan menunggu, Anin memutuskan untuk mandi. Badannya gerah setelah berjam-jam di bandara dan di perjalanan. Sikat giginya masih ada disana, tapi ia terlalu malas untuk membongkar koper untuk mengambil sabun mandi. Akhirnya ia memakai sabun dan handuk yang memang ada di kamar mandi.
Sejenak ia tergelak, tubuhnya sekarang benar-benar diselimuti harum maskulin khas lelaki si pemilik handuk.
.
Baru pada saat ia keluar dari kamar mandi, ponselnya berdering. Sandhi.
‘Halo.’
‘Sorry, tadi aku rapat, ga sempat pegang handphone. Kamu udah nyampe?’ Belum juga Anin berkata apa-apa, lelaki di ujung sana langsung saja meminta maaf. Padahal lebaran kan masih lama.
‘Iya gapapa kok. Iya, udah ini.’
‘Yaudah kamu istirahat gih.’
‘Iya ini mau istirahat kok. Kamu nanti pulang jam berapa?’
‘Ini tinggal dikit lagi sih, nanggung. Mungkin jam tujuh udah pulang. Jam delapan deh paling telat.’
‘Kamu udah makan?’
‘Belum, nanti pas pulang aja sekalian. Eh kamu udah makan?’
‘Belum.’
‘Yaudah makan gih, aku lanjut kerja lagi ya.’
‘Aku tunggu kamu aja.’
‘Hm?’
‘Aku makan malam tunggu kamu aja.’
Ada jarak hening sebelum akhirnya Sandhi merespon.
‘Mau makan apa? Nanti aku beliin di jalan pulang.’
‘Mau soto tangkar yang di deket kantor kamu, yang dulu pernah kamu beliin, yang enak banget itu’
‘Oke nanti aku beliin itu.’
‘Oke.’
.
Sandhi pulang saat jam menunjukan hampir setengah sembilan. Dengan kantong kresek yang disambut Anindya dengan senang hati.
‘Kamu ga mandi dulu?’ Tanya Anin ketika Sandhi malah duduk di depan meja makan, bukannya mandi.
‘Makan dulu deh, laper banget ini.’
Anin mengangguk mengerti, segera memindahkan makanan dari bungkusan plastik ke mangkok. Juga menyiapkan gelas.
Mereka makan dalam diam. Masih sedikit canggung. Setelah beberapa waktu hanya berkomunikasi lewat ponsel, sekarang mereka duduk berhadapan. Ada banyak hal yang ini mereka sampaikan, namun tidak tahu harus memulai dari mana.
Hingga keduanya selesai makanpun, tak ada sepatah kata yang terucap. Sandhi pamit untuk membasuh diri sementara Anin mencuci piring.
Padahal kemarin ia sangat bersemangat untuk bertemu Sandhi, tapi sekarang ia bahkan tak berani memulai pembicaraan.
Rindu? Jelas. Tidak usah dipertanyakan lagi. Kalian tidak akan paham perasaan Anin yang bercampur aduk ketika Sandhi muncul dari balik pintu. Hampir saja ia berlari untuk mendekap lelaki itu, tapi tidak, ia hanya berdiri disana dengan senyum canggung. Ia kecewa pada dirinya sendiri.
Sungguh Anindya belum bisa untuk terbiasa dengan keadaan ini.
.
Anin menggigit bibir. Kantuk mulai menyerbu, namun ada yang ia inginkan dari lelaki yang sedang berbaring disampingnya.
Memiringkan badannya, Anin menghela nafas perlahan sebelum mengumpulkan keberanian.
‘San, udah tidur?” Tanyanya lirih.
Perlahan Sandhi membuka mata yang sedari tadi sudah terpejam. Memberikan tatapan yang selalu sukses membuat Anin salah tingkah.
‘Hampir.’ Jawab Sandhi singkat, dengan suara tak kalah perlahan dari Anin.
Entah karena sudah beberapa minggu tak bertemu, atau suasana kamar Sandhi yang sunyi dan temaram yang akhirnya membuat Anin seperti ini.
‘Aku boleh peluk kamu?’ Entah untuk yang keberapa kali Anin menggigit bibir, jika terus begini mungkin sebentar lagi bibirnya akan berdarah.
Sebuah senyuman merekah di wajah Sandhi, begitu ia membuka lengannya, Anin langsung menghambur ke dalam pelukannya. Senang rasanya bisa berada disini. Senang rasanya bisa berada dalam pelukan hangat Sandhi.
‘Suami aku wangi banget.’ Kekeh Anin.
‘Istri aku bau soto.’
‘Heh?’ Anin memundurkan badannya, lalu mengendus lengan bajunya. Ga bau kok.
‘Bencanda kok, kamu wangi, wangi sabun aku.’
Tadinya Anin sudah hampir ngambek karena lelucon garing Sandhi yang tetap saja kadang terdengar menyebalkan. Sepertinya recehan garingnya tidak menunjukan kemajuan sedikit pun.
Tapi, kalimat terakhir dari Sandhi sukses membuat wajah Anin terasa panas. Ia menyembunyikan wajahnya di tengkuk Sandhi sebelum suaminya itu sadar wajahnya sudah merona merah,
Lengan kokoh Sandhi menarik pinggang Anin agar semakin merapat, hingga tak ada yang bisa perempuan itu lakukan kecuali diam sambil menghirup aroma khas dari tubuh Sandhi. Jantungnya berdebar. Ia yang meminta izin untuk memeluk Sandhi, namun ternyata jantungnya tidak siap untuk berada sedekat ini.
Perempuan bersurai gelap itu sepenuhnya berharap Sandhi tak mendengar detak jantungnya yang sedang berdegup kencang tak terkendali.
Sunyi menelusup. Hanya ada degup jantung yang belum juga mereda dan hangat tubuh Sandhi yang mendekapnya hingga keduanya tenggelam dalam mimpi.

KAMU SEDANG MEMBACA
severely.
Romansa'.. to know you, to love you severely' - Sandhi, lelaki kantoran yang masih suka ngeband di akhir pekan, dan sedang belajar untuk memahami Anindya. '.. to learn; from you, with you' - Anindya, mahasiswi magister, yang berusaha mengikuti segala kebai...