Bagian 7 - Analog Film Cam

223 56 8
                                    

Memang benar apa yang dikatakan Namjoon. Mapo-gu tidak pernah mengecewakan. Ini bukan pertama kalinya aku menjadikan Mapo-gu sebagai objek bidikan kameraku. Aku suka jajaran toko di Mangwon market yang tampak begitu ramah, pun dengan lalu-lalang pejalan kakinya yang tidak terlalu padat.

"Bukankah ini sudah lama sekali sejak kita hunting foto bersama?" langkah kami berhenti. Kuarahkan analog film cam milikku ke salah satu café di pertigaan.

"Hmm.. empat tahun sepertinya." Jawabku. Kulihat hasil foto yang cukup membuatku puas. Kaca café itu transparan, terlihat dari luar. Ada sekitar 6 orang di café itu. Dua orang di meja pojok, dan empat orang lainnya membentuk kelompok kecil di meja dekat pintu masuk. Suasana yang kontras berhasil kutangkap. Mungkin obrolan serius tentang rumah tangga dari dua orang di meja pojok café, dan cerita singkat liburan musim panas dari empat orang yang kuduga anak sekolah menengah atas.

Kami berjalan terus menyusuri deretan toko yang terkesan tak burujung. Sesekali aku berhenti untuk menunggu Seulgi memotret objeknya. Dan sesekali pula Seulgi berhenti untuk menungguku mendapatkan hasil bidikkan sesuai yang kuharapkan. Sudah lebih dari satu jam dan tidak ada keluhan maupun rengekan darinya, meskipun kami berjalan cukup jauh tanpa beristirahat. Inilah yang kusuka dari Seulgi, dia tidak banyak menuntut. Bahkan Jungkook saja lebih memilih untuk menunggu di game centre pada satu jam awal kami berjalan kaki.

***

"Tunggu sebentar, Tae." Kuhentikan langkahku, menoleh kearah Seulgi yang sudah siap dengan kameranya. Objeknya kali ini adalah jalanan di bawah jembatan penyebrangan. Cukup ramai, didominasi oleh kendaraan roda empat. Sekitar setengah jam menuju petang. Lampu-lampu jalan sudah mulai berpendar. Semburat jingga tampak jelas menyambut para pengendara. Seolah tenggelam di ujung jalan. Pilihan Seulgi menarik.

"Sepertinya cadangan roll film ku tertinggal di mobil Hoseok, hah, kenapa kuletakkan di dasbor sih tadi. Lagi-lagi aku melewatkan jingga matahari sore yang sedang bagus-bagusnya" Seulgi jelas mendengus. Tampak kesal dengan dirinya yang begitu ceroboh.

"Pakai saja kameraku dulu, jika kau ingin menangkap momentnya, masih bisa untuk beberapa kali foto. Biar kuganti roll film mu dengan cadangan milikku" Kulepaskan strap hitam yang menggantung di leherku. Kuatur ulang setelannya sebelum ku serahkan ke Seulgi yang langsung sibuk begitu menerima kamera dariku.

"Jadi tidak ada keinginan untuk beralih ke kamera digital?" tanyaku sembari mengganti film kamera miliknya.

Seulgi menggeleng kuat, rambutnya yang dicepol tinggi tampak berantakan. Beberapa mencuat dari tempatnya, jatuh dan membingkai halus pipi gembulnya.

"Aku merasa puas ketika bisa menghasilkan gambar yang indah tanpa editan."

"Alasanmu masih sama seperti dulu. Kuno."

"Hei kau juga selalu beralasan sama ketika mereka menanyakan hal itu saat kita masih tergabung di klub dulu."

"Wow, aku tersanjung kau mengingatnya." Kudengar dia tertawa lepas.

"Bagaimana tidak jika hampir di tiap pertemuan selalu ada saja yang menanyakan itu padamu."

"Padamu juga." sahutku.

Aku mengenal Seulgi sudah sejak kami masih berstatus sebagai mahasiswa baru. Selain sebagai teman satu angkatan di Teknik Sipil, saat itu dia dan aku juga sama-sama mendaftarkan diri di klub fotografi universitas. Hanya Seulgi dan aku yang bertahan dengan tipe 'kamera kuno'. Teman satu klub kami selalu mempertanyakan ketertarikan kami terhadap kamera analog ketimbang digital. Di semester kedua kami tergabung dalam project yang sama. Hampir sebulan penuh kami hunting foto di Seoul dan Busan. Kami dituntut untuk memiliki sedikitnya 150 pengunjung untuk pameran foto tanpa edit yang kami buru dengan kamera analog.

Keberhasilan project itu membuatku dan Seulgi selalu mendapatkan tugas penting di event-event kampus. Tidak jarang kami dipilih untuk menjadi perwakilan klub dalam kompetisi fotografi. Awalnya aku selalu menolak, karena bagiku fotografi bukan untuk dipersaingankan. Aku hanya menyukainya. Tapi penolakanku selalu berujung dengan Seulgi yang juga tak mau mewakili klub. Status kami yang masih anggota baru saat itu membuatku tak berdaya. Dan berakhir pada perjalanan-perjalanan singkat untuk mendapatkan yang terbaik.

"Sudah hampir gelap, Tae. Ayo beristirahat."

"Baiklah." Kuserahkan kamera Seulgi yang tadi kubawa, dan kudapatkan kembali kamera milikku. Saat aku mengencangkan tali sepatuku yang terlepas, kurasakan sesuatu yang hangat dan basah mendarat begitu saja. Kuusap pipiku untuk melihat apa yang baru saja menyentuhnya. Seulgi sudah terbahak ketika aku baru menyadari kotoran burung itu menempel cukap banyak di pipi kananku. Aku segera berdiri dan melihat kearah kekasih Jimin yang cukup menyebalkan ini. Seulgi memberikan tisu, masih terbahak.


Aku terkesiap.

Tunggu.

Objek ini begitu indah.


Seulgi tertawa lebar. Kepalanya sedikit terangkat. Matanya menghilang. Terpejam. Tergantikan garis lengkung yang tampak lucu dengan kerutan halus diujungnya. Angin menerbangkan poninya kesisi samping. Beberapa anak rambut yang tidak terikat menghalangi wajahnya. Sinar jingga membentuk bayangan gelap di sebagain sisi wajah bulatnya. Kedua tangannya masih memegang kamera yang belum sempat dia simpan di tasnya.


Magis.


Tak kusangka warna Jingga bisa seindah ini.


Diluar kendali.

Kuangkat kameraku.

Mengabadikan sosoknya yang berlatar jingga

Lampu kendaraan di bawah sana menjelma seperti kuang-kunang.


Hitam. Jingga. Kuning. Biru samar.

Komposisi warna kesukaanku.

Tampak sempurna.



Aku merasa puas ketika bisa menghasilkan gambar yang indah tanpa editan




Please wait for the next part :)


Hai, sebenernya aku agak nyesel kemaren gabisa update.

Sorry banget 2 hari ini aku agak lemes.

Lagi nyobain diet ala mbak IU.

Dan berakhirlah dengan aku yang tidak bertanaga, gampang ngantuk, dan moodku yang jadi kacau gara2 laper hehehe.

Btw, jangan lupa vote dan komen yaaa.

Lafya :))))

LOVE SOMEONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang