Aku dan Jaemin menunggu dengan cemas di depan kamar Jeno. Para pengawal juga sedang berjaga tak jauh dari sini.
"Kapan ini akan selesai?" Tanyaku pada Jaemin yang tidak kalah cemas menanti. Ini sudah 37 jam sejak Jeno menyelamatkan Hyunjin
"Mungkin sebentar lagi." Jaemin dan aku masih berjalan bolak-balik di depan pintu kamar Jeno berharap pintu itu dibuka oleh sang pemiliknya.
Tak lama kemudian pintu terbuka, Jeno keluar kamar dengan wajah yang sangat pucat. Ia berjalan menuju ke arahku dan ambruk. Para pengawal sigap menahan tubuh Jeno dan membawanya kembali ke kamarnya. Pengawal yang lain beserta Jaemin telah membawa Hyunjin keluar dan pergi ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut.
Hanya tinggal aku dan Jeno. Tanganku di tanan oleh Jeno saat ingin mengambil air minum untuknya.
"Dingin." Ia menarikku hingga aku terjatuh di atasnya. Jeno mencegah saat aku ingin turun.
"Aku berat, nanti kau sesak napas." Jeno tersenyum lemah. Ia mengangguk dan kemudian aku turun. Aku tidak tahu kenapa tanganku tiba-tiba saja mengusap kepala Jeno. Dasar kesempatan.
Setelah memastikan Jeno benar-benar tidur lelap, aku memindahkan tangannya yang ada di pinggangku dan beranjak menuju dapur untuk membuatkannya bubur.
Senyumku tak henti-hentinya mengembang sambil mengaduk bubur yang sebentar lagi jadi. Kata orang, jika kita memasak sambil memikirkan orang yang akan kita buatkan sebuah makanan, makanan itu akan enak. Aku hanya berdoa saja semoga itu benar.
Aku membuka pintu kamar Jeno pelan agar ia tidak terbangun namun nyatanya ia tengah duduk bersandar pada dashboard ranjang.
"Dari mana?" Tanya Jeno. Aku duduk di sisi ranjang.
"Membuatkan mu ini. Buka mulutmu a-" Aku menyuapi Jeno, menunggunya sedikit mengunyah dan menelan bubur itu. Ia menatapku begitu pun denganku. Sesekali Jeno sedikit tersenyum walaupun aku melihat ia masih lemah.
Jeno menahan tanganku saat aku hendak mengembalikan mangkuk kotor ini, "Taruh saja di meja, biar pelayan yang mengambilnya. Kemari." Ucapnya sambil menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong di sampingnya.
Aku menuruti kata-katanya.
"Mendekatlah." Aku melakukan sesuai dengan permintaannya. Tangan Jeno berada di pinggangku, mengikis jarak di antara kita. Bahkan, aku dapat merasakan deru napasnya.
"Jangan menatapku seperti ini." Aku menutup wajahku karena malu ditatap secara intens.
"Menikahlah denganku." Ucapnya tiba-tiba. Aku terkejut bahkan sangat terkejut mendengar ini.
"Ak,aku aku-" satu kecupan mendarat di bibirku. Hanya sekilas tapi dapat membuatku kaku dalam beberapa detik.
Kita masih saling menatap satu sama lain, entah aku mendapat dorongan dari mana tiba-tiba aku memberanikan diri untuk membalasnya walaupun aku sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal ini.
Jeno menahan tengkuk ku saat aku menyudahi, "Aku mencintaimu." Lirihnya kemudian ia menautkan kembali bibir kita dan aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di antara kita.
Aku juga mencintaimu, Jeno
***
"Kau siap?" Aku mengangguk yakin. Mataku menatap lurus ke arah cermin yang ada di hadapanku, untuk mengecek penampilanku sekali lagi. Gaun selutut berwarna biru safir dengan gaya off shoulder yang memamerkan bahu serta kalung pemberian Jeno yang tengah melingkar cantik menambah percaya diriku. Kemudian Jaemin menggenggam tanganku dan membawaku turun.
Aku dan Jeno sudah berjanji sehidup semati dalam pernikahan. Saat ini kita sedang mengadakan pesta untuk merayakannya. Hanya sebuah pesta kecil di halaman belakang rumah.
Semua orang melihat ke arahku saat aku melangkahkan kaki ku untuk turun. Mataku menatapnya, satu persatu anak tangga ku lewati hingga akhirnya aku berada di hadapan Jeno. Jaemin melepaskanku dan kini giliran Jeno yang mengambil alih tanganku.
Jari-jari kita bertautan sehingga menimbulkan rasa hangat. Aku sangat bahagia hingga tak bisa menyembunyikan senyumku sedari tadi. Ini seperti mimpi.
Ia membawaku keluar menuju halaman belakang. Disana sudah tersiap sebuah meja panjang dengan berbagai makanan dan minuman di atasnya. Lampu-lampu di hias sedemikian rupa sehingga terlihat seperti bintang serta banyak sekali bunga yang tertata rapi dimana-mana.
Bahkan aku tidak tahu kapan mereka menyiapkan semua ini.Pesta kecil ini telah dimulai, para tamu sedang menikmati suguhan disini dan beberapa dari mereka mendatangi kita untuk memberi selamat.
Jeno tiba-tiba memegangi kepalanya dan meringis kesakitan, "Kau kenapa?" Tanyaku. Jaemin yang melihat serta beberapa pengawal sigap mendekati kita. Mereka semua menahan Jeno agar tidak jatuh.
"Aku tidak apa-apa." Ucapnya. Jelas-jelas aku melihatnya kesakitan serta wajahnya pucat tapi ia bisa mengatakan tidak apa-apa dan masih bisa tersenyum.
"Kau istirahat saja, aku akan menemani para tamu disini sampai selesai." Jeno terlihat sedang mempertimbangkan ini namun sesaat kemudian ia mengangguk.
"Baiklah aku akan istirahat di kamar, istriku." Pipiku merona saat mendengar Jeno mengatakan 'istriku'. Aku belum terbiasa dengan kata itu. Jeno mengecup bibirku sekilas dan pergi bersama Jaemin.
Jaemin membukakan pintu untuk Jeno dan mempersilahkannya masuk. Ia ikut masuk ke kamar. Jeno duduk di tepi ranjang.
"Apa kau sudah tidak kuat?" Tanya Jaemin.
"Apa maksudmu!" Jeno menatap tajam Jaemin.
"Kau telah kehilangan banyak energi untuk menyelamatkan Hyunjin, kau pasti tahu akibatnya bila semua energimu habis." Jaemin menarik kursi untuk duduk tepat di hadapan Jeno. Jeno mengangguk. Ia menundukkan kepalanya. Jaemin mendengar orang di depannya ini terisak.
"A,aku tidak mau meninggalkan Yoonhee sendirian disini." Jaemin mengusap punggung Jeno pelan.
"Aku tidak mau kehilangan ingatanku akan semua kenangan ini. Aku takut tidak mengenali Yoonhee dan bahkan kau." Jaemin tidak bisa berkata-kata lagi. Ia kemudian meninggalkan Jeno yang menangis. Jaemin keluar karena tidak kuat melihat Jeno seperti itu. Pintu sudah ditutup olehnya. Jaemin berjalan menjauh dari kamar itu dengan menyeka air matanya yang turun.
"Kenapa kau begitu lemah? Hanya karena seorang wanita kau menjadi seperti ini. Berikan aku benda yang diberi ayah padamu. Jika tidak, aku akan membunuh wanita itu." Jeno mendongak dan melihat Eric ada di kamarnya.
Jeno dengan mudah memberi benda itu pada Eric, "Kau sangat baik, seharusnya kau memberiku tahta ini dari dulu sehingga urusan kita tidak perlu sepanjang ini." Eric masih mengamati benda itu dengan senyuman di bibirnya. Ia telah menang. Namun itu masih belum cukup untuknya. Eric menggunakan kekuatannya untuk mencekik Jeno dan menyerap seluruh energinya. Jeno terjatuh. Jeno telah kehilangan seluruh energinya.
🔞🔞🔞
KAMU SEDANG MEMBACA
KING [✔]
FanfictionAku tidak perlu mahkota untuk diakui sebagai raja karena yang ku butuhkan hanya kau, disampingku.