11. Jimin dan Seojin

47 9 0
                                    

Fine 11

Jimin sepertinya kelelahan dalam berlatih dance. Dilihat dari dia yang belum bangun dari tempat tidur sepanjang hari ini. Dia juga tidak ke kantor, tubuhnya lelah, tenggorokannya terasa sakit dan dia merasakan tubuhnya demam. Dia sendiri di apartemen, biasanya apartemennya selalu ramai oleh teman-temannya. Tetapi sudah beberapa hari ini teman-temannya tidak datang karena sibuk masing-masing.

Jimin menyadari kalau tubuhnya begitu lemah dan perutnya lapar, namun tidak bisa melakukan apapun. Karena kepalanya yang pusing. Jadilah dia hanya diam di atas kasurnya dan kembali tertidur.

Hyoran sedang menelepon seseorang dan meminta resep bubur kepada seseorang di seberang sana. "Oppa, apa aku harus menaburkan bawang daunnya di atas bubur atau aku pisahkan saja?" Hyoran menjepit ponselnya di antara bahu dan telinga. Sedangkan kedua tangannya sedang mengaduk bubur yang menggelegak di atas panci.

Jimin mendengar suara berisik pun merasa terganggu dan membuka matanya perlahan. Dan merasakan dingin dari handuk basah yang mulai lembab di keningnya. Dia pun mengambilnya dan menatap handuk itu.

"Hyoran?!" Cicitnya.

"Baiklah, aku tidak menambahkan apapun kecuali garam dan sedikit kaldu. Aku tahu Dia itu pemilih sekali soal makanan dan rasa. Terimakasih. Aku tutup dulu teleponnya." Hyoran meletakkan ponselnya di atas meja dapur dan membawakan semangkuk bubur untuk Jimin.

Sesampainya di kamar, Hyoran masih belum menyadari kalau Jimin sudah bangun. Bahkan, pria itu sedang menatapnya pun dia tidak tahu. Dia sibuk membawa nampan berisi semangkuk bubur dan air hangat. Meletakkannya pelan-pelan di atas meja samping ranjang.

"Sejak kapan kamu disini?"

Suara itu mengejutkan Hyoran. "Astaga, sejak kapan kamu sudah bangun? Kenapa mengagetkan aku saja sih."

"Aku sudah bangun dari tadi, kamu aja yang terlalu serius membawa nampan itu. Seperti anak kecil saja, serius dan fokus." Jimin menggeser posisi duduknya supaya lebih tegak. Dia senang sekali Hyoran kini perhatian padanya. Apakah Jimin telah sukses membuat Hyoran melupakan Seojin?

"Aku tidak melihatmu seharian di kantor. Di tempat latihan juga tidak ada. Aku tanya Jungkook dia bilang kamu tidak datang. Aku telepon ponselmu berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Jadi, aku pikir terjadi sesuatu padamu, makanya aku langsung ke sini. Dan benar saja, kamu sudah pingsan dengan tubuhmu yang demam. Untung saja aku segera datang, kalau tidak–" Hyoran tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatap Jimin lekat.

"Kalau tidak, apa, Hyo?" Jimin pun menatapnya.

Hyoran buru-buru menutup matanya dan mengalihkan pandangannya. "Kalau tidak ya kamu sudah masuk rumah sakit." Hyoran bangkit namun Jimin menarik tangannya membuat Hyoran jatuh duduk di atas ranjang tepat sebelah Jimin.

"Jimin, apa–"

"Terimakasih sudah datang." Jimin memeluk Hyoran, membuat wanita itu tidak meneruskan kalimatnya lagi.

Hyoran tersenyum senang mendengarnya. Lantas, dia pun membalas pelukan Jimin dan menepuk pelan punggung Jimin. "Aku cemas. Itu sebabnya aku mencarimu. Biasanya kamu selalu cerewet padaku. Kebiasaan itu yang membuatku merasa aneh jika kamu tak ada kabar dalam waktu beberapa jam."

"Maaf ya, membuatmu cemas." Jimin senang sekali, cintanya kini berbalas. Bertahun-tahun dia memendam dan bertepuk sebelah tangan. Memperhatikan tetapi tidak ada feedback dari Hyoran. Namun, kini berbeda.

Hyoran melepaskan pelukannya dan menatap Jimin dengan tatapan serius. Mengambil mangkuk berisi bubur dan menyendok satu sendok penuh isi bubur. "Sekarang makan dulu. Setelah itu minum obat dan kembali istirahat." Hyoran mencoba bersikap baik pada Jimin, karena selama ini Jimin begitu baik padanya. Ini semua yang dilakukannya adalah bentuk balas Budi dari apa yang telah Jimin berikan padanya. Untuk masalah perasaan, Hyoran masih sulit dan ragu. Karena bayangan Seojin masih terus menghantuinya. Sedangkan tubuhnya sudah mendapatkan penawar yang dia butuhkan.

Jimin makan dengan lahap dan menelan obat penurun demam setelahnya. Pria bermata sipit itu beranjak dari kasur hendak mandi. Namun, Hyoran menahannya.

"Mau kemana Jim?"

"Aku mau buang air, mau ikut?" Jimin menggoda Hyoran.

Hyoran memutar bola matanya. "Jangan aneh-aneh. Nggak usah mandi. Tubuhmu masih demam."

Jimin melakukan gerakan hormat pada Hyo. "Siap, Mam!" Lantas dia pun meninggalkan Hyo.

Hyoran hanya menggelengkan kepala, tepat itu juga ponselnya berdering. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ketika melihat nama yang tertera di layar, Hyoran menelan salivanya, menoleh ke arah kamar mandi memastikan Jimin masih di dalam dan Hyo pun berjalan keluar sembari menggeser tombol hijau ungu menjawab panggilan tersebut.

"Ya, Oppa." Ternyata jantung Hyoran berdebar begitu cepat, entah apa yang dia rasakan. Yang jelas ada kegugupan melanda.

"Kamu dimana? Apa baik-baik saja?"

Hyoran mengerutkan keningnya dalam mendengar pertanyaan yang diajukan Seojin. Pertanyaan yang memancing rasa penasaran.

"Ada apa memangnya? Aku baik."

"Syukurlah, uhm… tidak apa-apa. Jangan dipikirin ya. Aku tutup dulu."

"Tunggu!" Hyoran merasakan ada yang tidak beres dengan Seojin. "Oppa dimana?" Lanjutnya.

"Di rumah sakit. Mau pulang."

"Aku kesana." Panggilan langsung diputus dan Hyoran Kembali ke dalam dan melihat Jimin sudah berdiri mematung menunggunya. "Jim, aku harus pergi. Kalau ada apa-apa tolong kabari aku ya." Hyoran merapikan isi tasnya dan bergegas memakai sepatu.

"Memangnya mau kemana?" Jimin ingin mendengar jawaban dari Hyo. Meskipun sebenarnya dia sudah mendengar semuanya tadi. Hanya ingin memastikan saja.

"Aku ada urusan mendadak. Uhm… aku pergi dulu." Tanpa melihat Jimin Hyoran keluar dari apartemen Jimin. Perasaan Hyoran tidak enak, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan mantan pacarnya. Karena tidak mungkin Seojin menghubungi secara mendadak dengan pertanyaan yang memancing kecurigaan.

Hyoran melajukan mobilnya dengan jari yang diketuk-ketuk ke setir mobil. Kegelisahan Hyoran semakin menjadi ketika jalanan macet. "Oh, ayolah… ini sudah malam. Kenapa masih juga macet." Hyoran terus saja menggerutu sepanjang perjalanan.

Ketika sampai di depan halaman rumah Seojin, Hyoran langsung berlari dan membuka pintu yang ternyata password pintunya belum diganti oleh Seojin. Sempat heran, tetapi Hyoran terus melangkah masuk ke dalam. Kakinya terhenti ketika melihat Seojin sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Oppa, ada apa?" Hyoran melangkah ragu-ragu sampai akhirnya berlutut di hadapan Seojin.

Pria yang berprofesi sebagai dokter itu pun membuka tangannya dan menatap Hyoran lekat. Sorot matanya masih sama seperti yang Hyoran ingat. Lembut dan meneduhkan.

"Hyo, aku senang kamu datang dan melihatmu baik-baik saja." Seojin menyentuh pipi Hyoran yang lembut dan tirus.

"Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu? Oppa, kamu membuatku cemas. Ada apa?" Hyoran mendesak Seojin untuk menjawab semua kegelisahannya.

Seojin menarik nafas dalam dan tersenyum penuh arti. "Junghwa menemuimu di rumah sakit."

"Apa? Bajingan itu–apa yang terjadi?" Hyoran kesal dan marah.

"Dia datang meminjam uang. Tidak banyak, tapi sudah aman. Yang penting kamu baik-baik saja. Jimin akan menjagamu dengan baik, aku percaya itu."

Hyoran kesal, marah, dan malu. Semua perasaannya bercampur aduk tidak karuan. Seojin sudah tidak ada hubungan dengannya tetapi masih saja berusaha melindunginya. Lantas dia pun lemas dan jatuh duduk di lantai yang berbulu.

----bersambung----
💚 Lovegreene
2019

I'm Fine (✅) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang