5

7.3K 1K 40
                                    

Mokpo terkenal sebagai kota yang menyimpan begitu banyak rahasia. Secara awam, kota ini adalah tempat yang tenang. Pegunungan dan laut hidup secara berdampingan. Ikatan kekeluargaan melekat kuat pada setiap penduduknya. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa ketenangan yang terpancar di luar merupakan tirai penutup segala tindak kriminal di baliknya.

Mokpo tak lagi tampak sebagai kota yang tenang bagi mereka yang mengetahui sesuatu di balik tirai ituㅡhal yang selama ini berusaha dialihkan oleh masyarakat Mokpo sendiri, hal yang selalu berusaha disembunyikan dari dunia luar.

Tak heran apabila Haechan menganggap Mokpo bukan tempat terbaik untuk menghabiskan sisa hidup. Anjuran terlalu sering yang diberikan oleh para dokternya, memintanya untuk mencari tempat yang lebih aman untuk hidup, jelas-jelas tidak dimaksudkan sebagai Mokpo. Tempat itu memang asri, bagus untuk kesehatan pernapasannya. Namun dengan segala catatan kriminal yang berhasil menjadi rahasia umum sejak beberapa tahun terakhir merupakan hal buruk bagi kesehatan jantungnya.

Malam tadi, di tengah hujan deras yang mengguyur kota, Haechan kembali mendapati sesuatu yang membuatnya ingin segera mati sajaㅡkalau bisa. Bukan sekali atau dua kali ia mendapat serangan terorㅡentah oleh kelompok mafia yang sama atau penjahat kelas teri lainnyaㅡnamun telah berkali-kali. Dan malam tadi merupakan peristiwa puncak yang membangkitkan serangan tantrum dalam dirinya.

Ia sibuk membentaki ibunya, berusaha menyampaikan segala kekhawatiran namun hanya dibalas desahan napas kecewa serta rentetan kalimat mengenai kesedihan wanita itu. Menganggap dirinya telah gagal membesarkan Haechan sebagai anak yang berbakti lagi penurut. 

"Aku membesarkan seorang pembangkang." Ibunya memberi tatapan nanar hingga Haechan mengerang frustasi.

"Bisakah Ibu setidaknya mempertimbangkan apa yang kukatakan? Di sini tidak aman, Bu! Kita harus pindah!"

Ibunya memutar mata, kembali menyibukkan diri membuat sarapan. Dua piring roti panggang, satu cangkir teh dan satu gelas susu. "Bukan tempat ini yang tidak aman, tapi dirimu dan semua pikiranmu. Sudah Ibu bilang, berhenti menonton film-film fantasi tidak jelas yang membuatmu berpikir ada banyak monster di mana-mana."

"Ayah menyukai film itu!"

"Bisa berhenti teriak, Haechan? Ini masih pagi dan Ibu sedang ingin dalam suasana hati yang baik sebelum mencari pekerjaan lagi. Pekerjaan di sini ternyata sangat sulit." Wanita itu mondar-mandir dari meja makan ke meja pantri, menyajikan sarapan sederhana yang telah ia siapkan. "Lebih baik kau duduk dan kita sarapan dengan tenang."

Haechan memutar mata, mendudukkan diri di salah satu kursi meja makan, tepat di depan ibunya. Bukan berarti ia akan berhenti memancarkan seluruh amarah yang telah ditahan sejak beberapa hari kedatangan mereka di Mokpo. Haechan tampaknya tidak akan berhenti, tidak sampai sang ibu mau menerima semua anggapannya tentang tempat tinggal baru mereka yang mencurigakan.

 "Semalam ada orang yang menerobos masuk ke rumah ini," katanya kemudian, setelah membiarkan beberapa waktu yang terlewat diisi oleh hanya suara dentinganㅡbenturan pisau dan stoples selai.

Sang ibu menghela napas, memejamkan mata sejenak lalu memandang Haechan dengan tatap memelas. "Haechanㅡ"

"Seseorang masuk ke sini, Bu," ulangnya. "Kita tidak tahu apa tujuannya datang ke sini. Mungkin mau membunuhku." Haechan teringat akan peristiwa di hutan satu minggu lalu, ketika ia nyaris terbunuh oleh seorang anggota mafia akibat pembicaraan rahasia yang seharusnya tak ia dengar.

Hal itu masih kerap membayang-bayanginya. Ia bahkan sangat yakin bahwa sosok yang menerobos rumahnya semalam adalah salah satu anggota dari kelompok mafia yang samaㅡyang telah berhasil mengetahui identitasnya dan berusaha membalaskan dendam yang belum sempat tersampaikan: membunuhnya.

[✓] Ocean Eyes Arc #1 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang