11

4.8K 775 164
                                    

Mohon maaf untuk keterlambatan update. Jujur, aku makin ke sini makin nggak pede sama tulisan sendiri, jadi draft-draft yang udah jadi kebanyakan dipendam tanpa berani dibaca.  Jadi, walaupun aku udah punya draft, aku nggak bisa cepat langsung publish :")
Terima kasih teman-teman yang selalu setia nunggu.
Please enjoy this chapter, ya~ 💚

***

Playlist for this chapter: Silhouettes - Of Monsters and Men

***

Haechan tersadar beberapa saat kemudian. Tubuhnya masih terasa sangat lemah dan bekas air mata masih basah di pipinya, membuktikan bahwa tak banyak waktu terlewat sejak ia memejamkan mata.

Rasa tak nyaman itu jelas berbekas di tubuhnya dan terasa sama buruknya. Rumahnya pun masih sepi. Dapurnya tetap kacau sebagaimana terakhir kali, dengan makanan yang berceceran di lantai serta wastafel yang bau akan muntahan. Ibunya tak ditemukan di mana pun, yang berarti wanita itu belum di rumah. Entah ke mana, Haechan tak mampu memikirkan beragam posibilitas untuk sekarang. Kepalanya yang berdenyut membuatnya tak bisa melakukan banyak hal.

Tetapi, yang membuat Haechan memaksa untuk bersikap lebih sadar adalah suara ketukan di pintu depan. Ada gedoran yang cukup kencang dari luar, membuatnya ingin bangkit dan melangkah ke depan, melihat siapa pun yang tengah mengunjungi rumahnya. Jika beruntung, ia bisa meminta bantuan.

Haechan bersumpah telah berusaha mengangkat diri sekuat tenaga, namun seolah tubuhnya dan lantai adalah dua magnet dengan kutub berbeda, Haechan tak terangkat sedikit pun. Hanya rintih kesakitan dan frustrasilah yang keluar dari mulutnya. Haechan merasa kesal, ia ingin berteriak, sampai suara pintu yang terbuka membuat ia mendongak. Pintu terbuka itu disusul dengan suara derap cepat langkah kaki, berikut suara laki-laki yang menyerukan namanya.

"Haechan? Haechan! Astaga!" Jaemin muncul di ambang pintu dapur dan mendekati Haechan secepat kilat. Ia menangkup pipi lelaki itu yang becek akibat air mata dan kotor bekas muntahan. "Kau tidak baik-baik saja, Haechan. Sudah berapa lama kau begini?"

Haechan masih tidak mampu menjawab ketika Jaemin mengangkat tubuhnya untuk duduk perlahan-lahan. Mata lelaki itu menyisir ke seluruh ruangan dan mendapati kekacauan di sana.

"Di mana kamarmu? Akan kuantar," katanya.

*

Setelah Haechan dibaringkan di atas ranjang dan diberi minum oleh Jaemin, lelaki itu jauh lebih tenang. Tubuhnya sudah bisa rileks, berbanding lurus dengan rasa panas dan mual yang menghilang. Kepalanya pun tak lagi pening. Haechan bisa beristirahat dengan lebih tenang. Minuman yang Jaemin berikan masih tersisa. Haechan tak begitu yakin apa jenis minuman dalam kotak karton berwarna putih itu, namun yang jelas, itu terasa lezat dan bisa membuat tubuhnya terasa jauh lebih baik.

Jaemin tak ada di kamar bersamanya. Lelaki itu memutuskan ke dapur begitu mengingat kekacauan yang ia lihat sebelumnya. Jaemin pun memutuskan membereskan dapur lebih dulu sebelum kembali menemani Haechan dan menanyakan apa sebenarnya yang telah menimpa lelaki itu.

Mark adalah orang yang memberitahukannya perihal kondisi Haechan. Dengan tanpa diduga, pemuda itu muncul di kamarnya dan dengan cepat memerintahkan Jaemin untuk segera menemui Haechan. Pemuda itu bersikeras bahwa Haechan sangat butuh bantuan dan mengingat bagaimana kondisi Haechan terakhir kali, Jaemin tanpa banyak bertanya pun segera menemuinya. Dan benar, kekhawatiran Mark terbukti dengan didapatinya tubuh Haechan yang tergeletak lemas di tengah dapur yang berantakan. Jaemin menggumam ketika mengingatnya.

"Dia aman?" Sebuah suara tiba-tiba muncul mengisi kekosongan Jaemin di tengah dapur. Tanpa mendongakkan kepala ke arah pintu dapur, Jaemin sudah tahu pemilik dari suara tersebut. Mark Lee kini ada di sana, bersamanya.

[✓] Ocean Eyes Arc #1 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang