06. the feelings

32 0 0
                                    

Happy reading!

**

*



"AKU pergi dulu, Hyung." Beomgyu memakai topinya dan merapikan hoodie hitam yang dipakainya.

"Hati-hati, Beom. Ingat, jangan pulang terlalu malem, kita ada jadwal syuting besok pagi," kata Soobin yang saat itu sedang membaca komik di ruang tengah dorm.

Beomgyu menurut. Setidaknya, tidak akan lebih dari pukul 12 malam. Suasana ruang tengah dorm tidak seramai biasanya. Huening Kai sendiri harus belajar karena ia ada kuis Sejarah Korea pada esok hari dan Taehyun sedang membantu anak itu belajar.

"Yeonjun Hyung ke mana?" tanya Beomgyu.

Soobin membenarkan posisi kacamata bacanya yang agak merosot. "Dia pulang ke rumahnya, harus ada yang diurus katanya. Besok subuh ia bakal balik."

"Begitu," Beomgyu manggut-manggut. "Aku berangkat, Hyung."

"Hm, jangan ngebut."

"Kalau itu sih nggak janji, hehehe."

Soobin memijat pelipisnya. "Astaga, Choi Beomgyu." Ia menatap pintu dorm yang telah ditutup. "Yaudah sih, sesuka dia aja,"


*****



Pekarangan rumah keluarga Jung telah terlihat jelas. Beomgyu memarkirkan motor hitam miliknya dan melepas helm yang ia kenakan. Sedikit tidak sabar, ia membunyikan bel sebanyak 3 kali. Sampai akhirnya Joan yang membukakan pintu.

"Beomgyu? Kok nggak bilang mau ke sini?" Joan langsung menodong lelaki itu dengan pertanyaan.

Beomgyu tersenyum lemah.

"Kepengen aja, kamu lagi sibuk, ya?"

Buru-buru Joan menggeleng. "Bukan gitu. Ayo masuk, aku sama Mama abis buat puding. Pudingnya baru aja jadi."

Perempuan bermarga Jung itu menggamit lengan Beomgyu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

"Bentar, ya. Aku ambil puding dulu," kata Joan.

Meninggalkan Beomgyu di salah satu ruang santai yang terhubung langsung dengan dapur yang berada di lantai satu. Lelaki yang lahir di bulan Maret itu memandang Joan dari belakang dengan tatapan yang tak terbaca. Setelah sosok Joan menghilang dari pandangannya, ia menghela napas panjang.

Tak lama kemudian, Joan kembali dan membawa nampan dengan 2 gelas jus, 2 jelas air mineral, dan 2 piring kecil berisi puding vanila yang telah dipotong menjadi bagiian yang lebih kecil.

"Cobain deh, kebetulan Mama buat rasa vanila," ujar Joan ceria. "Ini jus mangga, Nenekku kemarin kirimin buahnya dari Indonesia. Terus ada vitamin juga, akhir-akhir ini kamu keliatan agak capek—"

Omongan Joan terputus begitu telapak tangan besar milik Beomgyu yang hangat menangkup kedua pipinya. Laki-laki penyuka vanila itu mengikis jarak antara keduanya. Manik kelamnya menatap dalam manik kelabu milik Joan. Raut wajahnya tidak terbaca. Joan mulai membuat asumsi-asumsi sendiri, dan terhenti ketika Beomgyu memeluknya begitu erat. Pelukannya terasa berbeda. Lebih erat. Seakan ia berusaha menyalurkan semua emosi yang dirasakannya lewat pelukan itu. Seakan-akan ia tidak akan bertemu dengan perempuan terdekatnya selain ibunya dalam waktu lama.

Joan menyandarkan kepalanya di bahu Beomgyu dan mulai membalas pelukan cowok itu. Ia juga merasa ada sedikit kegelisahan dalam pelukan erat itu. Maka dari itu, ia menepuk-nepuk pelan punggung laki-laki itu, berharap bisa meredakan kegelisahannya walaupun hanya sedikit saja.

"Kamu tau, aku sayang padamu, Joan-ah."

Untuk pertama kalinya, Beomgyu mengungkapkan rasa yang dipendamnya kepada sahabatnya sejak kecil. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari bahwa perasaan miliknya lebih dari 'sahabat'. Ia mungkin lambat, karena baru menyadari perasaannya sendiri dari orang-orang di sekitarnya.

Sejujurnya, ia tidak begitu mengharapkan balasan yang sama dari Joan. Menjadi sahabat dan selalu melindunginya saja sudah lebih dari cukup.

"Aku juga."

Deg. Dalam sepersekian detik, Beomgyu merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetak. Ia melepas pelukannya dan memandang perempuan itu tepat pada kedua bola matanya.

"Coba ulangi, Joan-ah," pinta Beomgyu.

Joan diam. Ia tidak langsung menanggapi permintaan Beomgyu. Muncul semburat merah samar-samar di kedua pipinya.

"Joan Jung, please ...?"

Perempuan yang lahir di bulan Juli itu menatap Beomgyu dengan yakin. "Aku juga sayang Beomgyu," katanya dengan suara pelan.

Beomgyu masih menatapnya tidak percaya. Ia menatap Joan sekali lagi. Perempuan itu tidak berbohong. Ia merasa sangat bahagia. Cowok itu memeluk Joan sebentar dan menempelkan bibirnya di kening perempuan itu. Memberikannya kecupan kecil.

Sementara itu, Joan merasa wajahnya sangat panas saat ini. Tapi tak menampik, bahwa ia juga sangat senang. Ia tersenyum senang.

Beomgyu balas dengan tersenyum juga. Hatinya menghangat hanya dengan melihat senyuman seorang Joan Jung. Kegelisahan yang ia rasakan, seketika sirna begitu saja.

Terima kasih, Tuhan, batinnya.


Seluruh tindakan mereka tak luput dari pandangan Elena Jung, yang saat ini menatap saudarinya tajam dengan tangan kanannya yang terkepal kuat.




*****




"Aku cuma sebentar, Om tunggu aja di mobil," ujar Joan kepada Mr. Hyun.

Mobil yang mengantar jemput mereka telah terparkir di depan sebuah toko yang menjual alat kesehatan. Di seberang toko ini, ada kafe yang pada hari Senin lalu ia kunjungi bersama Soobin dkk. Joan yang meminta mereka berhenti di depan toko ini. Alasannya, supaya mobil ini tidak perlu memutar balik untuk sampai di kafe langganannya.

"Aku bakal jalan kaki aja," Joan memberitahu Mr. Hyun dan Elena yang duduk di samping kirinya.

"Perlu aku temenin?" Elena menawarkan diri. Ia menutup majalah bisnis yang dibacanya.

"Nggak usah, El. Aku 'kan udah bilang sebentar."

Elena mengiyakan. Setelah itu, Joan turun dari mobil dan mulai menyeberangi jalanan yang cukup ramai bersama dengan pejalan kaki yang lain. Elena memerhatikan saudarinya dari dalam mobil. Sampai Joan berhasil sampai dan memasuki kafe, Elena membaca kembali majalah bisnis yang tadi sempat diabaikannya sebentar.


Sembari melirik ke jam tangan yang ia gunakan, Elena memperkirakan kapan Joan akan keluar dari kafe. Sepuluh menit telah berlalu, kegiatan membaca majalah ia sudahi. Perempuan itu menurunkan kaca jendela mobilnya dan melihat ke seberang jalan, tepatnya pada kafe yang dituju oleh Joan.

Hingga beberapa saat, akhirnya ia melihat Joan keluar dari kafe sambil menenteng totebag bening yang di dalamnya terdapat satu kotak kue berukuran besar. Ia harus memastikan saudarinya itu kembali ke mobil dengan selamat.

"Ya Tuhan!" Elena memekik keras seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Kejadiannya bahkan begitu cepat dan hampir tidak disadari olehnya. Ia buru-buru turun dari mobil, dan berlari menghampiri saudarinya yang saat ini terkapar di pinggir jalan akibat ditikam pada bagian perut oleh orang tidak dikenal berbaju biru dongker, yang muncul mendadak dan sekarang telah melarikan diri.


Joan Jung, aku mohon, bertahanlah!

to be continued. 

[1] Unseen ; choi beomgyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang