Bagian 6

6K 851 85
                                    

.
.
.
.
.

Tanpa terasa waktu bergulir dengan sangat cepat. Ini sudah tiga bulan semenjak kejadian malam itu.  Baik Jeno mau pun Jaemin berusaha melakukan yang terbaik untuk melupakannya dengan cara mereka masing-masing. Jaemin fokus kembali mengelola cafe dan sesekali bersenang-senang dengan Somi.  Sementara Jeno di sisi lain mulai sibuk mengurus pernikahannya dan Renjun.

Mengenai keluarga besar Lee karena ibu dari Jeno sudah memberi restu maka mereka pun tidak mempersulitkannya lagi. Dan hari pernikahan pun segera ditentukan,  itu jatuh pada musim semi tahun depan.  Jeno mendengus itu masih tujuh bulan lagi tapi dia hanya mengangguk patuh. Setidaknya dia bisa mengikat Renjun selamanya di sisinya.

Renjun sendiri perlahan tapi pasti menyingkirkan sedikit kekhawatirannya. Dia selalu khawatir dan paranoid selama berkencan dengan Jeno. Bagaimana pun dia adalah orang yang berada di samping Jeno semenjak kecil, perasaan takut ditinggalkan karena bosan selalu menghantuinya.  Belum lagi dia selalu memiliki pikiran 'apakah Jeno benar-benar mencintainya? Bukan sekedar perasaan sayang antar sahabat kan?'. Tetapi, setelah Jeno melamarnya Renjun merasa tercerahkan. Mungkin benar rasa cinta Jena sungguh dalam padanya.

"Aku mencintaimu" bisik Renjun di telinga Jeno saat mereka baru saja pulang dari sehabis makan malam bersama keluarganya.

Jeno tersenyum lembut padanya.

"aku juga"

.

.

Jaemin menyentuh kepalanya, sepertinya pusing yang mendera masih belum hilang. Ini akibat mabuk berat semalam, salahkan Lisa yang menantangnya untuk minum. Padahal Jaemin sendiri tidak begitu kuat minum.

"aku harus menyuruh Somi membawakan sup pengar" gerutu Jaemin.

Dia meraih ponselnya dan mencari kontak Somi. Belum sempat dia menekan tombol dial tiba-tiba saja perutnya bergejolak tidak nyaman.

Tak

"ugh" Jaemin menjatuhkan ponselnya karena dia sibuk membekap mulutnya menahan keinginan untuk muntah. Merasa dorongan ingin muntah semakin menjadi-jadi Jaemin segera berlari ke toilet.

Hoek

Hoek

Jaemin memuntahkan semua isi perutnya di closet. Mata merah berairnya berkali-kali berkedip.

"Lisa sialan" rutuknya, sebelum kembali muntah.

.

.

Somi datang ke apartement Jaemin tepat pukul 12 siang. Sudah cukup terlambat sebenarnya, mau bagaimana lagi dia kan memang suka bangun kesiangan.

"itu kau Jaem?" tanya Somi,  dia terkejut mendapati raut wajah Jaemin yang begitu pucat.

Jaemin mendengus, tubuhnya sangat lemah sekarang setelah tiga jam penuh mengkosongkan isi perutnya.

"makanlah Jaem" Somi menaruh mangkuk berisi sup di hadapan Jaemin.

"makanya jangan minum terlalu banyak, sudah tau tak begitu kuat minum" omel Somi yang hanya diabaikan Jaemin.

Somi melihat Jaemin mulai memakan sup yang dia bawa. Seharusnya semalam dia juga ikut berkumpul tapi ibunya yang menurutnya sedikit tidak waras memaksanya untuk diam dirumah.

"Ya Tuhan! ini semua karena dirimu semuanya jadi berantakan. Seharusnya kau yang akan menikahi Lee Jeno tapi lihatlah dia sebentar lagi akan menikahi Huang-sialan itu!"

Somi mengingat kembali perkataan ibunya semalam. Sigh,  jadi pria yang dijodohkan dengannya tapi malah berakhir diranjang yang sama dengan Jaemin akan segera menikah. Itu bagus,  walau Somi kecewa pria itu tidak bertanggung jawab untuk sahabatnya. Dia hampir bergidik saat menyadari orang itu awalnya sudah diatur tidur dengannya, bukannya bertanggung jawab tapi malah menikah dengan orang lain.

"Lisa benar-benar b*tch sialan! Aku hampir terkapar jika Hyunjin menyeretku pulang" Keluh Jaemin, Somi hanya memutar kedua bola matanya bosan. Toh kan Jaemin juga yang ingin minum mengapa sekarang dia jadi menyalahkan orang lain?. Lagipula Jaemin lemah sekali, masa baru ditantang Lisa minum hampir tiga botol saja tumbang.

Somi mendesah.

"Sudahlah, makanya minum yang banyak lagi" Omel Somi, Jaemin hanya bisa mengerucutkan bibirnya.

.

.

"Hari ini Tuan Na tidak pergi ke cafenya. Dia hanya menghabiskan waktu berdua di apartement bersama nona Jeon"

Jeno yang memejamkan matanya mendengar apa yang dikatakan orang suruhannya perlahan membuka matanya. Dia mendengus, Na Jaemin ini menghabiskan malamnya dengan minum hampir tiga botol soju. Padahal selama dia mengamatinya, pria manis itu hampir tidak sanggup menghabiskan sebotol soju.

"pergilah... di masa depan jika ada yang mengajaknya untuk minum lebih dari sebotol usahakan untuk menghentikannya"

"Baik Daepyo-nim"

Orang suruhan Jeno tersebut segera mengundurkan diri meninggalkan Jeno sendiri diruangannya.

Jeno kembali memejamkan matanya, ingatan tentang desahan, aroma tubuh, tatapan mata sayu, hingga bibir yang terasa manis langsung membanjiri pikirannya.

Shit!!

Jeno sama sekali tidak bisa melupakan malam itu. Walau dia membencinya setengah mati tapi tak bisa di pungkiri dia juga merindukannya.

Dan sayangnya itu bukan Huang Renjun, tunangannya.

.

.

Renjun melihat orang yang sama kembali keluar dari ruangan Jeno. Awalnya dia tidak begitu peduli tetapi orang itu hampir setiap hari ke ruangan tunangannya.
Yeri yang ada disampingnya berkeringat dingin. Dia selalu beralasan itu adalah orang dari perusahaan cabang. Tapi, dia tau Renjun pasti curiga mana ada orang membahas pekerjaan hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit mana hampir setiap hari pula.  Bosnya ini tidak bisakah hanya berkomunikasi lewat ponsel?  kalau pun ingin langsung bertemu orang suruhannya untuk menerima laporan hasil mengamati Tuan Na seharusnya itu di luar kantor! kan begini malah akan menimbulkan banyak kecurigaan.

"apakah perusahaan cabang begitu buruk kinerjanya?" Renjun bertanya membuat Yeri sedikit panik.

"eum ya begitulah bujang-nim, memang ada sedikit masalah" Yeri mencoba hati-hati bicara.

"Lain kali kalau dia datang lagi,  hentikanlah dan cari tau masalahnya agar tidak terlalu menganggu daepyo-nim" Yeri mengangguk patuh.  Renjun menghela nafasnya. Dia tidak ingin Jeno terlalu terbebani banyak pekerjaan.

.

.

"kapan kau akan mengenalkan adikmu padaku, Mark?" tanya seorang pria pada Mark yang sibuk bermain dengan ponselnya.

"ah,  aku baru ingin memberitahukanmu. Adikku saat ini sedang sakit, akan menjenguknya malam nanti.  Kau ingin ikut Haechannie?" Tangan Mark mengusak rambut Haechan. Haechan merengut kekasihnya ini hobby sekali mengusak rambutnya.

"bolehkah?" Mark mengangguk, dia sudah lama sekali ingin mengenalkan Haechan pada adik nakalnya tapi selalu tidak punya waktu yang tepat. Nah,  sekarang ada kesempatan, mengapa tidak membawa Haechan serta ketempat adiknya?.

"Baiklah, aku akan membeli buah-buahan untuknya" Haechan bersemangat.  Dia berharap bisa mengambil hati adik kesayangan Mark. Dan membuktikan bahwa dirinya adalah calon kakak ipar yang peduli.

Mark tertawa melihatnya.

"kurasa Jaemin akan akur dengannya di masa depan" bisiknya.

.

.

.

.

.

.

n/t: Karena Blue Heart, ide ceritanya disabotase sama sebelah jadi saya putuskan akan merombak besar-besaran. padahal saya paling suka book ini diantara semua book yang saya tulis huhu. 

Blue HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang