Menelan rasa

120 8 0
                                    

Pagi-pagi saat Meldina melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah, Sandi sudah menghadangnya dan mencekoki dengan berbagai pertanyaan mengenai 'pacar barunya'. Tingkat penasaran Sandi memang perlu di beri jempol dua. Sandi cocok jadi paparazi gila.

"Apaan sih San? Kepo banget lo," keluh Meldina sambil berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya.

Sandi menyamai langkah Meldina dengan sesekali merangkul bahu Meldina yang ditepis secara halus oleh Meldina. Sudah cukup dulu ia pernah digosipkan tidak enak dengan Sandi. Ia ingin kejadian itu terulang lagi.

"Ayolah Mel, cerita ke gue. Gue kepo akut nih sama isu lo yang udah punya pacar," rengek Sandi. Benar-benar tidak mencerminkan kedewasaan. Padahal Sandi itu kakak kelas Meldina. Tapi kelakuannya seperti anak kecil.

"Bukan isu kali, itu real. Gue emang udah punya cowok," ucap Meldina enteng sambil mendaratkan pantatnya di deretan kursi depan kelas. Masih setengah jam lagi sebelum jam pelajaran dimulai. Kelasnya pun masih sepi.

"Terus siapa cowok lo sekarang? Kok gue ga tau?"

"Lah buat apa juga lo tahu? Ga ada hubungannya juga kali sama lo," ketus Meldina. Ia tidak marah pada Sandi, ia hanya pura-pura kesal dengan sifat penasaran Sandi yang akut itu.

"Ketus banget sih lo! Mentang-mentang udah punya cowok. Jadi gini ya, udah ada yang baru terus gue dibuang," keluh Sandi pura-pura sedih. Sandi sangat tahu dengan kelemahan Meldina. Orangnya gampang iba.

Meldina memutar bola malas.

"Ga usah merajuk gitu juga kali. Oke gue cerita, cowok gue bukan anak sekolah ini. Tapi anak SMK Pradana, tetangganya Lea sama Fita. Udah puas lo?" Sungut Meldina.

"Hehehe... Ga usah marah gitu ah. Lo jadi makin jelek kalau ngambek," goda Sandi.

"Habisnya sih kepo lo akut banget. Kaya ga ada kerjaan lain. Urusin tuh status jomblo lo, ngenes banget," ejek Meldina sambil memberikan cengiran pada Sandi.

"Sombong! Ga usah bawa-bawa status gue deh."

"Ngomong-ngomong lo masih naksir Nia ga?" Tanya Meldina dengan pandangan menyelidik. Nia itu teman satu angkatan Meldina tapi beda kelas.

"Enggak."

"Terus? Jangan bilang lo belum bisa move on dari cinta pertama lo itu?"

Sandi diam saja. Dan diamnya Sandi membuat Meldina menghela nafas lelah. Prihatin. Sudah tiga tahun lebih berlalu sejak berakhirnya hubungan Sandi dan mantannya, namun dunia Sandi sepertinya masih berporos pada sang mantan.

"Ayolah San, masa udah sekian lama lo belum juga move on? Mau sampai kapan?"

"Sok tempe lo Mel, siapa bilang gue belum bisa move on?"

"Terus?"

"Ya ga terus lah."

"Berarti udah saatnya lo cari pacar baru dong?"

"Ga minat."

"Kenapa?"

"Karena cewek yang niat gue mau jadiin pacar, ga mungkin mau ngeliat gue. Ngelirik pun enggak," keluh Sandi. Jelas sekali raut muka Sandi yang berubah murung, membuat Meldina iba.

"Sabar ya. Emang siapa cewek itu? Kali aja gue bisa bantu?"

"Lo ga kenal. Dan ga akan ada yang bisa bantu gue. Mungkin takdir gue emang gini, terjebak masa lalu dan sekarang terjebak cinta sepihak. Masih untung dikatakan sepihak. Mungkin lebih tepatnya cinta dalam hati. Cewek itu ga tahu perasaan gue bahkan ga akan pernah tahu."

Sandi menatap Meldina yang tengah menerawang. Meldina sendiri tidak sadar karena Meldina sibuk memikirkan cerita Sandi.

"Gue ga tahu harus bilang apa? Tapi semoga lo cepat menemukan hati yang baru. Lagi pula beberapa bulan lagi kan lo udah mau lulus. Pasti akan banyak orang baru yang akan lo temui. Dan mungkin satu diantaranya adalah pengisi hati lo," ujar Meldina sambil tersenyum pada Sandi.

Meldina tidak tahu efek dari senyuman itu pada Sandi. Sesak. Sandi harus menelan rasa itu dalam-dalam.

***

"Eh Mel, gue nyontek tugas lo dong,"  ucap Aras diikuti oleh Caca, Lian dan Deni. Penghuni jelas XI TKJ 3 sekarang tengah diberi tugas mengerjakan pelajaran bahasa Indonesia. Dan seperti biasanya mereka bergerombol demi mendapatkan contekan, padahal sudah jelas jika mereka harus mengerjakan sendiri-sendiri.

"Nyontek mulu lo!" Ketus Caca.

"Ga usah rese deh. Meldi aja ga masalah," ketus balik Aras.

"Lagian apa bedanya gue sama lo, sama-sama nyontek ini,"imbuh Aras.

"Udah deh, kalo mau nyontek ya nyontek aja. Keburu bel pulang," tegur Meldina yang tengah bersedekap di atas meja. Sedangkan Dewi teman sebangku Meldina tengah khusuk mengerjakan tugas.

Kriiinnnggg....!
"Udah bel nih, gue balik dulu lah. Kalian belum selesai kan? Nanti kalau udah selesai langsung kumpulin ya ke ruang guru," celetuk Meldina sambil berkemas, memasukkan alat tulis kedalam tas slempangnya.

"Buru-buru aja Mel, mau kemana lo?" Tanya Dewi.

"Ga ada sih, cuma mau pulang cepet aja. Sering kelamaan nunggu mobil angkot kalau pulang lelet," jawab Meldina.

Memang Meldina seringkali ketinggalan angkot langganannya. Bahkan untuk sampai rumah, kadang ia harus nunggu sampai jam 4 sore, padahal jam pulang sekolahnya jam 2 sore.

Meldina berjalan menyusuri koridor sekolah dan berlalu keluar dari gerbang. Banyak murid lain yang telah menunggu jemputan atau angkutan umum. Meldina pun ikut mengantri di pinggir jalan menunggu mobil angkot. Ia menumpang duduk di salah satu toko sambil mengamati kendaraan yang hilir mudik.

Kemudian matanya menangkap pemandangan yang cukup menyesakkan. Ia tidak mungkin salah lihat. Meski ia jarang melihat dia dan jarang bersama tapi ia sangat hafal dengan postur tubuhnya. Dan yang jelas motor maticnya, ia tidak mungkin tidak mengenali. Tapi siapa perempuan yang berada di boncengannya? Kalau adiknya tidak mungkin, karena ia juga hafal wajah adiknya. Yang jelas perempuan itu tidak memakai seragam sekolah seperti dirinya. Dan perempuan itu jelas terlihat lebih dewasa dari dirinya.

Abenta, siapa perempuan yang kamu bonceng? Mungkinkah kamu mengkhianatiku?

Kenapa dadaku sesak banget rasanya? Kenapa juga mataku panas gini?

Meldina mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menahan gemuruh dalam dadanya. Berulang kali mengerjap, untuk menghalau tetes air bening dari matanya. Ia harus berpikir positif, siapa tahu perempuan itu adalah saudara Abenta.

Saudara ketemu gede.

Tbc

PUPUS (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang