Meldina menekuri soal-soal pilihan ganda yang terdapat di buku Lembar Kerjanya. Bukan sebagai pekerjaan Rumah yang diberikan guru. Namun, jika senggang Meldina memang suka mengisi soal-soal pada buku Lembar Kerja tersebut. Biasanya dalam waktu dua jam, ia telah selesai mengerjakan soal-soal tersebut sampai dua bab, namun kali ini satu bab pun belum terselesaikan. Bukan karena soalnya sulit. Bukan juga karena siaran televisi yang menayangkan drama Korea favorit di depannya saat ini. Sudah menjadi kebiasaannya jika belajar harus ditemani televisi yang menyala. Alasan kenapa Meldina belum mampu menyelesaikan soal-soal tersebut karena pikirannya tengah kalut mengingat kejadian sore tadi.
Ia memang penasaran. Tapi ia terlalu sanksi jika harus bertanya langsung pada Abenta. Ia takut jika Abenta menganggapnya cewek cemburuan, posesif dan sejenisnya. Ia tidak mau dianggap begitu meski tingkat penasarannya sudah pada taraf ingin meledak.
Lagipula sampai jam segini, Abenta belum mengirim pesan, kebiasaan mereka selama pacaran hanya sekedar bertukar pesan singkat. Teleponku sangat jarang.
Meldina menunggu, namun bunyi notifikasi pesan belum juga ada. Ia menghela nafas panjang. Pikirannya makin kalut. Perasaannya seperti diaduk-aduk. Tidak jelas rasanya.
Meldina mengambil ponselnya dan memandanginya lekat dan lama. Menimbang-nimbang sembari menunggu.
Kok Aben belum ngirim pesan juga ya?
Sumpah gue penasaran banget. Kalau gue sms duluan ngga apa kali ya?
Tapi kalau gue dianggap cewek agresif gimana? Masa tiap hari gue terus yang memulai? Entar dikira gue ngebet banget sama dia.
Tahu ah gue bingung!!
Meldina melemparkan ponselnya begitu saja. Kacau. Pikirannya kacau.
Bodo amat dah mau dianggap cewek agresif, posesif atau apalah. Amat aja ga bodo.
Akhirnya Meldina menyerah dengan segala gengsinya. Tidak masalah ia menurunkan harga dirinya sedikit. Ini demi kelancaran hubungannya. Daripada ia berpikir yang macam-macam, justru akan membuat hubungannya dengan Abenta berantakan.
"Yang?"
"Hemm."
Astaga dari awal pacaran tiap di sms, balesnya cuma gitu. Nyebelin banget sih, gerutu Meldina.
"Kok cuma hemm sih? Ga asyik kamu yang?😔"
"Udah kebiasaan. Ada apa?"
"Kok nanyanya gitu? Emang ga boleh aku sms kamu?"
"Ya ga gitu. Ya udah lupain. Lagi apa yang?"
Gitu kek dari tadi, dumel Meldina.
"Lagi belajar aja. Kamu lagi apa?"
"Biasa lagi ngumpul sama temen-temen."
"Ga bosen ya tiap hari kerjaan kamu cuma ngumpul terus gitu?"
Meldina memang sangat tahu kebiasaan Abenta jika malam hari. Apalagi kalau bukan berkumpul dengan teman-temannya atau lebih tepat tetangga-tetangganya. Kadang mereka hanya sekedar ngopi bareng, merokok bareng atau ngobrol bahkan kadang mereka seru-seruan bermain kartu. Iya, Abenta memang perokok. Meldina juga belum lama tahu soal fakta tersebut. Tapi Meldina tidak terlalu mempermasalahkan. Masih pacaran ini kok. Hanya kadang-kadang Meldina memang menasehati untuk mencoba belajar berhenti dari rokok. Itupun Meldina tidak memaksa. Terserah Abenta saja.
"Ga."
Astaga singkat banget sih jawabnya. Saat pedekate aja Abenta terlihat agak cerewet, makin kesini makin kelihatan sikap cuek dan acuhnya. Untung gue sabar dan untung gue cinta, prett, keluh Meldina dalam hati.
Dengan ragu - ragu, Meldina mengetikkan pertanyaan yang membuatnya penasaran sejak tadi.
"Yang, aku boleh tanya ga?"
"Mau tanya apa? Tanya aja."
"Sore tadi kamu kemana?"
"Keluar."
"Kemana?"
"Nganterin sepupu belanja. Kenapa?"
"Oh ga apa. Cuma tanya aja. Ya udah kalau kamu masih ngumpul. Aku mau tidur dulu ya. Bye sayang, i miss you."
"Hmmm."
Ga pernah berubah, cuek dan acuh selalu, pikir Meldina.
"Abenta tadi bilang, sepupu? Masa sih? Tapi ya udah lah, gue mencoba percaya aja. Positif thinking aja daripada pikiran gue makin ruwet," putus Meldina sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia mulai memejamkan matanya. Berharap di dalam mimpinya ia bertemu dengan sosok Abenta yang perhatian, yang selama ini mampu membuat hatinya berdebar.
**
Pagi harinya saat Meldina berjalan menyusuri jalanan menuju sekolah, ia dikagetkan dengan adanya Abenta yang tengah nongkrong bersama teman-temannya tidak jauh dari pintu gerbang sekolah. Jantung Meldina tiba-tiba saja berdetak tidak karuan. Kakinya pun terasa lemas hingga sepertinya ia tidak sanggup untuk berjalan. Ia melihat Abenta. Ingin menyapa, namun grogi. Ia menunggu Abenta untuk memulai menyapanya, namun Abenta tak kunjung menyapa. Abenta hanya melihatnya sekilas lalu sibuk mengobrol lagi. Dan yang bisa Meldina lakukan adalah melirik Abenta dan terus berjalan. Ia grogi. Ia malu. Apalagi ia tadi sudah mencoba melemparkan senyuman termanisnya pada Abenta, namun sepertinya Abenta tidak menyadarinya. Meldina jadi merasa seperti orang tolol. Buru-buru Meldina melangkahkan kakinya menuju sekolah. Ia merutuki dirinya sendiri yang terlihat sangat bodoh.Namun Meldina penasaran, kenapa Abenta tidak menyapa atau menegurnya sama sekali? Tidak mungkin kan Abenta tidak melihatnya? Tidak mungkin juga kan Abenta lupa padanya? Karena memang intensitas pertemuan mereka selama berpacaran terhitung sangat sedikit, hampir tidak pernah. Kadang Meldina selalu berharap, mereka tidak sengaja bertemu dijalan dan saling tersenyum mengingat sekolah mereka searah. Namun nyatanya apa? Kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mereka memang bertemu tidak sengaja, namun saling tersenyum saja tidak. Yang ada malah mereka seperti orang asing yang tidak saling mengenal.
Meldina tersenyum getir. Mungkin inilah resikonya jatuh cinta pada manusia tercuek didunia. Menyesakkan.
Meldina lalu merogoh ponsel di saku rok seragamnya dan mendapati notifikasi pesan masuk. Ia berharap itu adalah pesan dari Abenta. Permintaan maaf mungkin. Atau sekedar bertanya pertanyaan ringan apa saja.
Namun ia harus menelan kekecewaan. Yang masuk adalah pesan dari nomor asing. Siapa sih pagi-pagi sudah ada orang iseng?
"Hai boleh kenalan ga?"
"Ga."
"Jutek banget sih. Masa kenalan aja ga boleh."
"Suka-suka gue dong. Apa urusannya sama lo?"
"Cieilah lagi PMS ya? Sensi banget."
Meldina mengacuhkan pesan terakhir tersebut. Malas meladeni orang tidak jelas seperti itu. Pikirannya sudah pusing. Ia tidak mau ditambah pusing lagi dengan metode berkenalan bak menebak teka-teki silang.
"Kok ga dibales. Mel, jangan marah dong. Ini gue Bara."
Meldina mengerutkan kening, bingung. Siapa Bara? Dan kenapa dia bisa tahu namanya?
"Bara siapa? Kok lo tau nama gue?"
"Masa lo lupa sama gue sih?"
"Lupa gimana? Kenal aja kagak gue."
"Bara temennya Abenta. Udah ingat kan?"
Tbc
Jangan bingung ya soal tulisan dari pesan teks yang saling dikirim diatas. Yang ada tanda petik huruf miring itu dari lawan bertukar pesan nya Meldina. Sedangkan punya meldina yang ada tanda petik huruf biasa.
Makin bingung ya? Sama. Gue juga.
Banyak typo, enjoy dan dinikmati aja ya?Mohon kritik dan saran.
Jangan lupa juga votmennya.C U
Meirhy

KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS (End)
RomantizmBagaimana jadinya jika seorang cewek pendiam harus terjerat asmara manis masa SMA dengan seorang cowok cuek? Akankah cewek tersebut sanggup menanggung cinta yang terasa seperti bertepuk sebelah tangan meskipun keduanya dalam status pacaran? "Sebe...