Baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk seluruh hatiku
Potongan bait lagu tersebut yang mungkin mewakili perasaan Meldina saat ini. Bagaimana tidak, dua tahun ia berjuang mempertahankan hubungannya dengan Abenta. Berusaha memahami Abenta. Namun, Abenta masih saja acuh padanya. Menganggap seakan ia tidak ada. Tidak peduli sama sekali.
Hati Meldina remuk. Hancur. Harapannya. Cintanya. Semakin hari terkikis oleh sikap Abenta yang cuek, yang jarang ada waktu untuknya.
Satu bulan ini, Meldina terkesan mengabaikan pesan-pesan dari Abenta. Bukannya Meldina tidak sadar, jika satu bulan ini sikap Abenta agak berbeda. Dia yang awalnya jarang perhatian padanya, berubah gencar mengirimi pesan untuknya. Memberikan perhatian padanya. Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang Abenta mulai berubah? Disaat hati Meldina sudah merasa jengah dengan hubungan ini. Hubungan yang berjalan dua tahun tapi tidak ada kemajuan sedikit pun. Setidaknya itulah yang dipikirkan Meldina. Meldina merasa, hanya dirinya yang merasakan apa itu cinta. Ia tidak merasakan cinta dari Abenta.
Meldina lelah. Putus asa. Dan perasaannya mulai tawar. Hambar. Terkikis dengan luka-luka terpendam akibat keacuhan Abenta.
Meldina mengambil keputusan besar, yang mungkin akan merubah segala hidupnya. Terutama untuk kehidupan asmaranya.
Tiba-tiba saja semua memori tentang Abenta berkelebat, menciptakan kilas rasa di hati Meldina.
Memori dimana untuk pertama kalinya ia bertemu Abenta. Degub jantung menggila di saat bertemu Abenta. Perasaan salah tingkah kala bersama Abenta.
Hingga hal-hal menyakitkan muncul, dimana ia merasa selalu diacuhkan oleh Abenta. Tidak dipedulikan. Merasa tidak diinginkan. Merasa terabaikan. Semua itu menggoreskan luka tak kasat mati di hati Meldina.
Meldina berharap keputusannya tidak membuat dirinya menyesal di kemudian hari.
Tepat hari ini, semua akan berubah.
Meldina mengirim pesan pada Abenta.
"Kelinci"
Meldina baru mengetik satu kata tersebut dan langsung mengirimnya. Tapi kata itu, panggilan itu cukup menyayat hatinya. Panggilan itu ia berikan pada Abenta karena dua gigi depan Abenta terlihat lebih besar daripada yang lain. Alasan lainnya, karena di ulang tahunnya yang ke 16, Abenta pernah memberikan kado boneka kelinci padanya.
Meldina menitikkan air mata ketika mengingat kilasan kenangan tersebut. Ia mulai berpikir, apakah keputusannya benar?
"Ya yang. Kamu lagi apa? Udah makan?"
"Iya. Kamu?"
Meldina kembali menitikkan air mata. Semua ini terlalu berat untuknya. Tapi ia harus tetap pada keputusannya."Udah. Ada apa? Tumben jam segini sms? Ngga bantu nenek masak apa?"
"Ngga. Udah masak tadi pagi. Sore ini tinggal santai aja."
"Oo"
"Aku boleh ngomong sesuatu sama kamu ga?"
"Boleh. Memang mau ngomong apa? Mau ketemuan apa?"
"Ngga. Ngga perlu. Lewat sms ini aja."
"Oh ya udah. Ngomong aja."
Meldina mengusap air matanya yang terus menggenang. Ia menarik nafas panjang, seolah melepaskan beban yang menghimpit dadanya. Dalam hatinya ia terus menggumamkan kata maaf pada Abenta, meski Abenta tidak tahu.
"Sebaiknya kita putus aja ya?"
Belum ada balasan dari Abenta. Mungkin keputusan ini mengagetkan Abenta. Meldina sendiri merasa keputusan ini cukup mengejutkan dirinya sendiri. Tapi bagaimanapun ia sudah memikirkan ini selama beberapa hari terakhir.
"Maaf kelinci. Mungkin ini terasa tiba-tiba buat kamu. Tapi aku udah memikirkan ini baik-baik. Selama ini aku sudah cukup bertahan di samping kamu. Lagi pula aku akan pergi dari kota ini, setelah lulus aku akan pergi menyusul orang tuaku. Hubungan kita tidak mungkin bisa diteruskan."
Meldina mengetikkan kata demi kata agar tidak menyakiti Abenta. Sungguh baik hati Meldina. Setelah sekian lama merasa tersakiti oleh sikap Abenta, kini ia masih memikirkan perasaan Abenta. Padahal Meldina menyusun bait kata tersebut hanya sebagai alasan agar ia bisa menyudahi hubungan mereka yang stagnan.
"Ya udah kalau itu memang udah jadi keputusan kamu. Aku terima dan aku ngga masalah."
"Makasih. Maaf ya? Dan aku berharap kamu bisa cepat bertemu penggantiku. Yang bisa menerima sikap kamu. Dan aku juga berharap di kemudian hari, kamu bisa berubah tidak acuh lagi dengan pasangan kamu."
"Iya, terima kasih. Kamu baik-baik ya? Maaf kalau selama ini aku terkesan acuh dan tidak peduli padamu."
"Sama-sama."
Meldina menyeka air matanya. Perlahan senyumnya mengembang. Rasanya lega. Plong. Seperti bebannya selama ini terangkat begitu saja. Mungkin inilah akhir dari hubungannya dengan Abenta. Abenta. Sebuah nama yang akan selalu membuat hatinya bergetar. Satu-satunya orang yang mampu membuat jantungnya berdegub kencang. Berdebar-debar. Mengirimkan sensasi hangat di sekujur tubuhnya. Belahan jiwanya.
Meski, mereka telah berpisah dan mungkin tidak akan pernah bisa bersama lagi. Tapi Meldina akan selalu menyimpan perasaan cintanya pada Abenta di sudut hatinya. Akan selalu mengenang sosok itu sampai kapanpun. Menempatkan seorang Abenta di tempat tertentu di hatinya. Di tempat teristimewa.
The end

KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS (End)
Storie d'amoreBagaimana jadinya jika seorang cewek pendiam harus terjerat asmara manis masa SMA dengan seorang cowok cuek? Akankah cewek tersebut sanggup menanggung cinta yang terasa seperti bertepuk sebelah tangan meskipun keduanya dalam status pacaran? "Sebe...