salah praduga

217 11 0
                                    

Meldina kira hari ini adalah awal yang baik untuk hubungannya dengan Abenta. Setelah kemarin ia melalui hari melelahkan dalam menghadapi masalahnya dengan Bara.

Sepulang sekolah hari ini, tiba-tiba saja Abenta mengajak Meldina jalan bareng ke sebuah tempat wisata bersejarah, atau sejenis Monumen pahlawan. Meldina benar-benar bahagia. Akhirnya saat-saat yang ia tunggu datang juga. Saat-saat dimana Abenta meluangkan waktu untuknya, memberikan perhatian padanya.

Dengan perasaan berbunga-bunga Meldina melangkah dengan cepat menuju gerbang sekolah. Terlihat Abenta sudah duduk di atas motornya. Menatap Meldina dengan pandangan yang sulit diartikan. Mendadak Meldina merasa gugup. Berdebar-debar. Efek perasaannya selalu sama tiap kali ia bertemu Abenta. Kalau seperti ini terus, Meldina bisa mati mendadak karena tidak kuat menahan perasaannya.

Meldina menghampiri Abenta dengan langkah malu-malu. Bukan pura-pura malu tapi malu yang benar-benar malu. Ah sudahlah, terlalu sulit menggambarkan bagaimana raut wajah dan perasaan Meldina tiap bersama Abenta.

"Kamu udah lama nunggunya?" Tanya Meldina pelan, menyembunyikan kegugupannya.

"Baru aja. Ya udah ayo. Nanti pulangnya takut kesorean," ajak Abenta.

Jam memang masih menunjukkan pukul 10 pagi. Hari ini pulang cepat karena ada class meeting masuk ajaran baru. Sama dengan sekolah Abenta. Tidak terasa ya hubungan Meldina dan Abenta sudah berjalan satu tahun.

Meldina segera naik ke atas motor Abenta dan bergegas pergi menuju ke tempat tujuan mereka.

Di tengah jalan, tidak sengaja Meldina melihat Bara tengah duduk di pinggir jalan. Tatapan mereka bertemu. Ada perasaan bersalah di hati Meldina ketika melihat tatapan terluka dari Bara. Tapi Meldina bisa apa?

Meldina melihat dan mendengar Abenta mengklakson Bara dan berlalu begitu saja.

"Kok Bara disitu?" Tanyaku pada Abenta. Jujur saja aku penasaran kenapa Bara duduk sendiri di pinggir jalan.

"Memang kenapa?" Tanya balik Abenta.

"Ngga apa sih. Rumahnya didaerah sini ya?"

"Hemm. Rumahnya naik ke atas dari tempat dia duduk tadi. Kenapa?"

"Ngga. Cuma nanya aja."

Lalu yang terdengar hanyalah deru suara motor Abenta. Jalanan yang tidak ramai mereka lalui dengan kebisuan. Hingga mereka tiba di tempat tujuan.

Meldina makin merasa gugup ketika mereka berjalan bersama menyusuri monumen yang menceritakan kisah salah satu pahlawan Indonesia tersebut. Tidak ada pembicaraan apapun.

Kemudian Abenta menawari minuman kaleng pada Meldina. Meldina menerimanya dengan salah tingkah. Dan akibat tingkahnya tersebut membuat Meldina terlihat bodoh. Meldina berharap Abenta tidak merasa illfeel padanya.

"Kamu udah makan?" Tanya Abenta.

"Udah, tadi di kantin sekolah. Kamu?"

"Udah."

Hanya seperti itu sampai mereka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Abenta mengajak Meldina mampir ke sebuah kedai mie ayam di pinggir jalan. Tapi Meldina menolak karena tidak sanggup menahan kegugupannya. Ia takut sikapnya yang sering salah tingkah makin membuatnya terlihat bodoh, dan Abenta akan makin illfeel padanya.

Abenta menurunkan Meldina di depan gang jalan masuk ke rumah nenek Meldina. Setelah itu Abenta pamit pulang.

Sesampainya di rumah, Meldina tidak lekas berganti pakaian. Ia duduk di kursi tamu dan mengeluarkan ponselnya.

"Udah nyampai rumah?"

"Belum. Ini masih mampir di warung makan."

"Kamu kelaparan?"

"Hemm"

"Kenapa ngga bilang? Kamu bilang tadi udah makan."

"Cuma makan roti aja. Dan sekarang aku kelaparan. Kamu sih diajak makan ngga mau."

"Ya maaf. Aku kira kamu ngga lapar. Aku jadi ngga enak sama kamu."

"Udahlah ngga apa-apa. Kamu lagi apa?"

"Lagi istirahat. Sekali lagi maaf ya? Lain kali, aku pasti mau kamu ajak makan."

"Iya. Udah dulu ya, aku mau lanjut makan dulu."

Meldina mengigiti kukunya, merasa bersalah. Pesan terakhir dari Abenta tidak ia balas. Sungguh ia merasa bersalah karena sudah menyebabkan Abenta kelaparan.

***
Meldina kira Abenta akan berubah. Setelah beberapa kali jalan berdua. Dan upaya Meldina untuk mendekatkan diri  pada Abenta akan berjalan mulus. Nyatanya, Meldina belum mampu memahami Abenta. Ia belum mampu menyelami isi hati Abenta. Dunianya masih terasa jauh dari orbit Abenta.

Di hari Raya Idul Fitri tahun ini, Meldina sudah sangat berharap Abenta akan datang dan mengajaknya jalan-jalan. Namun, jangankan orangnya yang muncul. Pesannya saja tidak kunjung muncul. Akhirnya Meldina memberanikan diri menghubungi Abenta.

"Minal aidzin ya. Maaf kalau selama ini aku ada salah."

Hingga beberapa jam pesan tersebut tidak dibalas. Membuat hati Meldina gundah gulana.

Meldina menunggu sambil menyalakan televisi. Maklumi saja kenapa di hari Lebaran seperti ini Meldina hanya di rumah.

"Iya, sama-sama."

Akhirnya balasan yang Meldina tunggu datang juga.

"Lagi jalan kemana? Ngga main kesini?"

Biarlah Meldina terlihat sedikit murahan. Wajar kan kalau Meldina mengharapkan kehadiran Abenta di hari seperti ini.

"Maaf aku ngga bisa kesitu. Aku lagi di rumah nenek. Pagi tadi berangkat bareng keluarga."

Meldina berusaha tegar. Berpikir positif jika keluarga memang yang utama. Dirinya bukan bagian dari keluarga Abenta. Statusnya belum ada apa-apanya. Jadi ia menanggapinya dengan berusaha bijaksana. Walau kenyataannya, hatinya kecewa.

"Ya udah ngga apa. Salam buat keluarga kamu ya?"

"Ya."

Meldina menyunggingkan senyum terluka. Kecewa? Sudah jelas. Ia sudah terlalu berharap Abenta bersama dirinya hari ini. Tidak perlu kemanapun. Cukup di rumah. Itu saja sudah akan membuat Meldina senang. Kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasi.

Namun, di tahun kedua hubungan mereka, lagi-lagi Meldina harus kecewa. Di hari perayaan yang sama, Meldina berharap setidaknya sebentar saja  Abenta datang ke rumahnya. Namun sampai sore menjelang, Abenta tak kunjung datang. Abenta bilang, dia di rumah neneknya.

Justru Bara bersama temannya yang datang. Bara, orang yang sudah Meldina tolak, datang bersilaturahmi ke rumahnya. Mereka berbicara apa adanya. Seolah mereka tidak pernah terlibat sebuah masalah. Meski kentara dengan jelas tatapan Bara pada Meldina masih sama. Tatapan sedih, terluka dan juga sayang. Meldina sadar dan berusaha mengabaikannya. Bukan ia kejam atau egois. Ini demi kebaikan Bara.

Hati boleh memberi prasangka. Pikiran boleh mengeluarkan praduga. Kenyataan yang akan membuktikannya. Mungkin itulah yang Meldina rasakan terhadap Abenta. Semua hanya ada dalam harapan Meldina.

Tbc

PUPUS (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang