Menghilang

136 8 0
                                    

Enam hari telah berlalu semenjak Meldina mengenal Abenta. Tiga hari sebelumnya semua masih terasa baik - baik saja. Sangat baik malahan. Hari - hari Meldina terasa berwarna layaknya pelangi. Hatinya terus merasa berbunga - bunga layaknya taman bunga yang tengah bermekaran.

Walau selama tiga hari tersebut, mereka belum pernah bertatap muka lagi, namun tak mengurangi rasa bahagia di hati Meldina. Ia tidak berani menuntut untuk bertemu karena ia sadar mereka mempunyai kesibukan yang berbeda. Lagipula, ia belum siap untuk bertemu kembali dengan Abenta. Ia tidak siap. Terutama untuk degub jantungnya. Jika hanya lewat pesan saja, jantungnya berdetak tak berirama, apalagi kalau bertatap muka secara langsung. Mungkin ia harus mempersiapkan jantung buatan jikalau jantung di dadanya melompat keluar. Terdengar berlebihan mungkin, tapi itulah fakta akan perasaannya.

Seperti pelangi yang muncul setelah hujan, pelangi tersebut akan pudar seiringnya waktu. Bunga - bunga yang bermekaran pun akan layu jika sudah tiba waktunya. Sama seperti perasaan Meldina untuk tiga hari selanjutnya. Setelah tiga hari sebelumnya ia merasa diterbangkan di atas angin, maka tiga hari berikutnya ia merasa dihempaskan begitu saja ke bumi. Membentur dengan sangat keras. Remuk. Hancur.

Tiga hari setelah perasaan berbunga - bunganya, mendadak Abenta menghilang tanpa kabar. Pesan atau panggilan yang biasanya masuk, selama tiga hari ini tidak sekalipun muncul. Menimbulkan perasaan cemas, takut dan gelisah. Ia merasa sangat kehilangan.

Memang bukan hanya Abenta  yang meramaikan dering ponselnya, teman - temannya dan beberapa cowok yang sengaja mendekatinya sering kali juga meramaikan ponselnya lewat pesan - pesan. Namun sosok Abenta yang baru ia temui enam hari lalu benar - benar membuatnya kelimpungan.

Seolah dunianya hanya berputar di sekitar cowok itu, melupakan dunianya yang sebelumnya. Udara yang selama ini mengelilinginya seakan ikut pergi dengan hilangnya sosok Abenta dari kesehariannya. Bernafas pun terasa sulit. Sesak. Dadanya terasa sesak.

Segala kemungkinan - kemungkinan buruk tentang Abenta terus saja berkeliaran mengganggu benaknya. Dan dari semua kemungkinan tersebut, satu yang dapat ia simpulkan. Mungkin ia hanya terlalu banyak berharap. Berharap jika Abenta merasakan perasaan yang sama dengannya. Nyatanya itu mustahil. Nyatanya cowok itu sekarang menghilang entah dimana rimbanya. Menyisakan kepedihan bergelayut di dadanya.

Meldina menghela nafas panjang bingung harus bertanya pada siapa mengenai Abenta. Tiba - tiba ia terpikirkan seseorang. Mungkin seseorang ini tahu keberadaan Abenta. Bodoh. Mengapa ia tidak kepikiran dari kemarin? Ia memang bodoh. Abenta kan punya tetangga yang sekaligus sahabatnya. Iya, ia harus bertanya pada Fita. Mengapa ia memilih Fita dan bukan Lea, walaupun kedua orang tersebut tetangga Abenta. Karena ia merasa lebih nyaman curhat atau bertanya pada Fita dan  berhubung Fita juga yang dulu memberikan nomor ponselnya ke Abenta.

Ia menekan nomor ponsel Fita. Setelah dering yang kesekian, akhirnya panggilannya dijawab.

"Ada apa Mel?"

Dengan ragu - ragu ia bertanya. Ia malu sekaligus takut. Malu karena dianggap cewek agresif dan takut jika jawaban yang keluar dari mulut Fita membuatnya kecewa.

"Hemm..  Fit, gue boleh tanya ga?"

" Tanya apaan? Bayar dulu kalo mau tanya?"

"Hah kok gitu? Kamu buka layanan operator ya?"

"Iya."

"Ya udah gue ngutang dulu deh. Soalnya ini penting, ga bisa nunggu lama."

Terdengar suara grusak grusuk diujung sana, tepatnya ditempat Fita berada. Terdengar juga suara orang tertawa. Mungkin tidak hanya Fita yang tertawa tapi ada suara cowok juga. Mungkin sekitar tiga orang termasuk Fita. Meldina baru ingat kalau Fita punya kakak cowok.

PUPUS (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang