Ervan POV
“Maaf, Fan. Aku gak bisa, aku sudah punya seseorang.” Jelasku pada wanita didepanku.
“Siapa, Van?! Tega kamu campakkin aku gitu aja?”
“Kamu tau sendiri kita gak ada hubungan apa-apa, Fani… Kita cuma teman, dan aku kenal kamu dari seniorku, mana mungkin aku bisa menolak seniorku yang berniat mengenalkanmu padaku? Kamu tau sendiri dunia Taruna itu bagaimana!”
“Ja-jadi begitu kamu menganggapku, hanya teman? Tapi kamu membawaku ke pestakor dua kali dan kamu juga jadiin aku pendamping saat acara-acara dengan teman selitingmu dan seniormu itu!”
“Semua taruna juga melakukan hal yang sama. Kalian hanya teman wanita saja, bukan pendamping hidup. Sudahlah, jangan berlebihan, Fani.”
Aku melangkahkan kaki dengan cepat untuk meninggalkannya, aku sedang tidak ingin berdebat dengan seseorang.
Adara POV
Suara bel mobil terdengar dari luar rumah, membuatku semakin gugup dibuatnya. Saat aku membuka pintu rumah, yang terdapat disana adalah Mas Aris. Ah… Yaampun, dia pakai seragam? Padahal kita kan cuma mau makan malam!
“Mas kok pakai seragam, sih?” ujarku sambil cemberut.
“Maaf, Dara. Tadi aku sekalian menghadap ke Danramil, jadi maaf ya aku harus pakai seragam gini,” jawabnya sambil menggaruk belakang kepalanya.
Aku pun tersenyum, “Iya Mas… Gapapa kok! Udah yuk kita jalan, aku lapar nih hehe,”
Dia menjawab dengan anggukan dan membukakan pintu mobil untukku, aku yang mendapat perlakuan seperti itupun hanya bisa menunduk karena malu. Dia juga memasangkan seatbelt,
“Mas Aris, aku ‘kan bukan anak kecil, masa seatbelt dipakein juga sih,”
“Kamu kan emang masih kecil,” jawabnya dengan mencubit pipi kananku.
“Enam belas tahun itu ABG, Mas. Bukan anak kecil,” Ujarku sambil memainkan jari, aku kesal bukan main karena orang-orang selalu mengganggapku anak kecil yang tak tau apa-apa.
“Iyadeh kamu bukan anak kecil, ‘kan kamu udah bisa produksi anak kecil,”
“Maksud Mas?”
“Udah… lupain aja, hahaha,” dia melajukan mobil Jeep hitamnya dengan kecepatan standar.
Di perjalanan, Mas Aris membuka pembicaraan diantara kami agar tidak terlalu canggung suasananya.
“Rencana mau lanjut kuliah dimana?” Tanya Mas Aris.
“Deket-deket sini aja deh, UNAIR mungkin?” jawabku ragu.
“Ohh gitu...”
“Mas lulus dari Akmil nya kapan, sih?”
“Tahun ini seniorku yang sermatutar* yang dilantik, mungkin tahun depan. Aku juga harus ngambil kuliah jurusan pertahanan dulu, sesuai program yang ada sekarang,” jelasnya. Aku hanya menganggukkan kepala karena tidak tau harus menanggapi seperti apa, karena aku sendiri kurang mengerti tentang dunia seputar militer dan sebagainya.
“Nah udah sampai, di dalam nanti ada junior-juniorku yang masih kopral, tetep deket aku ya. Meskipun mereka dating sama teman cewek, mereka tetep main mata sama cewek lain, maklum di Akmil yang ada cuma kepala-kepala botak doang, gak ada yang seger-seger! Paling cuma Bu Kantin sama Ibu-ibu persit doang yang ada, ”
Aku tertawa mendengar pengakuannya, kemudian aku mencubit perutnya yang keras. Dia menuntunku untuk turun ke Rumah Makan Anda dengan menautkan jarinya ke jari-jariku. Sungguh, badanku panas dingin hanya karena sentuhannya yang seringan ini…
“Siap mayor! Disini mayor!” seru ketiga laki-laki berkepala botak dengan pakaian PDH yang sama dengan Mas Aris, tetapi beda pangkat yang dikenakan.
Aku melihat ketiga perempuan yang ada disamping ketiga taruna tersebut, mereka cantik dan putih tanpa cacat, badannya juga ideal.
Dari ujung mataku, kulihat Mas Aris menatapku dengan tatapan lembut dan senyuman manis, membuat siapa saja yang melihatnya bisa meleleh kapan saja!
“Kenalin, ini Adara,”
Aku yang diperkenalkan oleh Mas Aris tanpa embel-embel pacar atau gebetanpun merasa sedikit kecewa, tapi segera kutupi dengan senyuman tipis dan kemudian aku mengganggukkan kepala,
“Saya Adara, salam kenal semuanya…”
Setelah itu, kami ber-delapan menghabiskan makan malam dengan hening. Hanya obrolan dari para taruna junior dan Mas Aris lah yang terdengar cukup keras.
------------------------
Sermatutar* = Sersan Mayor Satu Taruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life Partner!
Romance"Haruskah aku bertahan untuk kisah cinta yang tak menentu ini? Bisakah aku menjadi pendamping Abdi Negara?" - Adara. "Aku harap kamu mengerti dan menerimaku menjadi pendamping hidupmu. Jiwa dan raga ini mungkin milik negara, tetapi hati ini hanya ka...