Part 13

43.3K 1.9K 30
                                    

“Tolong, jangan seperti ini. Sudah cukup kamu membuatku hampir gila, tidak lagi. Tolong…” ucapku lirih.

                “Kamu pikir hanya kamu yang gila disini? Aku yang paling menderita. Percayalah, aku menyesal dengan keputusanku setahun yang lalu.” Mas Aris memelukku dengan erat. Dia mendekapku dengan bahu nya yang bergetar.

Kuberanikan untuk mengusap air mata nya yang berjatuhan. Dia menatapku lekat-lekat dan menggumamkan nama ku dengan pelan,

                “Dara… I miss you. Aku salah, ternyata melupakanmu adalah hal yang tersulit di dalam hidupku. Lebih menguras pikiran dibanding menghafal segala detail perlengkapan berperang, lebih menguras tenaga dibandingkan melangkah dalam Rute Panglima Sudirman dan latihan-latihan militer yang pernah aku lalui, sungguh.” Mas Aris mengucapkannya sambil terkekeh. Sudut bibir nya diangkat sedikit, memberikan senyuman pahit.

                “Mau kamu apa, Mas?” Aku mendongakkan kepala tuk menatapnya, mencari sebuah jawaban yang mungkin akan muncul dari sorot mata nya.

                “Jangan menghindar lagi.” Mas Aris dengan tegas mengucapkan kata-kata tersebut sambil menggenggam erat kedua tanganku yang mulai basah oleh keringat. Aku menggigit bibir, resah. Kapan aku menghindar darinya? Bukankah dia yang tidak mau menghubungiku? Ego ku menolak kehadirannya, tetapi hati berkata lain.

                “Ya…” Entah jawaban macam apa yang aku keluarkan dari mulut ku ini.

                “Iya apa?” tanya Mas Aris.

                “Aku tidak akan menghindar lagi.” Ujarku dengan nada datar. Seakan tidak puas dengan jawabanku, Mas Aris menggandengku untuk duduk di bangku kayu di dalam kamar Paviliunnya.

Satu per-satu penjelasan meluncur dengan mulus dari mulut Mas Aris, penjelasan yang mengatakan bahwa dia menyesal memutuskan hubungan denganku dan penjelasan tentang siapa Tiara sebenarnya. Hatiku lega, aku tidak berbohong, walaupun masih tersisa sedikit rasa kecewa di dalam hati. Mas Aris mengusap punggung tangan kanan ku dan memasangkan sebuah cincin perak di jari manis ku. Aku kaget, kemudian aku menoleh dan mendapati Mas Aris tersenyum geli menatap ekspresi terkejut di wajahku.

                “Ini cincin perwira remaja, untuk kamu. Tanda dari awal keseriusanku.”

Demi apapun, perempuan mana yang tidak akan luluh diperlakukan seperti ini? Walaupun sedingin apapun air wajahnya serta senyumannya, tetapi jika seorang lelaki tampan yang mempesona tanpa ragu menyatakan keseriusannya untuk menjalin hubungan dengan perempuan, perempuan manapun akan luluh dan beruntungnya perempuan itu adalah aku. Kata-kata yang hendak kukeluarkan karena masih kesal dengannya pun hilang bersamaan dengan hembusan angin. Yang ada di otakku kini hanya satu, membuka kesempatan kedua untuk Mas Aris.

                “Tidak suka? Memang bentuknya seperti ini, semua taruna tingkat akhir diberi sepasang cincin paja untuk diberikan kepada rekanita nya. Kalau memang tidak suka—“

                “Suka kok.” Potongku dengan cepat. “Aku mau mencari Bang Adam dan Anna dulu, tidak enak meninggalkan mereka lama-lama.” Sebisa mungkin kusembunyikan kegugupanku agar tidak terbaca oleh Mas Aris.

                “Yakin kamu, mereka semua tidak terlibat denganku untuk membawamu kembali padaku?” Mas Aris melipat kedua tangannya di depan dada.

                “Mereka ‘kan…. Tidak kenal sama Mas Aris.” Jawabku asal, tapi bukannya begitu? Setauku aku belum bercerita tentang Mas Aris pada Anna apalagi Bang Adam. Mas Aris mengulum senyumnya dan mengetukkan jari nya di pinggiran bangku.

My Life Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang