vania - 1

86 16 5
                                    

Katanya, insan-insan di bumi pertiwi itu selalu sangat ingin tahu dan keras kepala. Khusus penduduk Tanjung Senja, aku hanya menyetujui yang pertama.

Pak Den adalah nelayan berusia empat puluh sembilan tahun yang tak sengaja bertemu kami saat sedang duduk-duduk di warung, di kota yang jaraknya dua puluh kilometer dari Tanjung Senja. Pria itu sedang membeli sekarung penuh bubuk kopi, kemudian menyapa Ryan yang sedang membayar air minum. Setelahnya kami menghabiskan waktu mengobrol. Pak Den banyak bertanya, darimana kami dan kemana tujuan kami. Aku dan Ryan spontan menjawab jujur, kami dari ibukota dan tak punya tujuan. Bahkan tanpa mau memberi tahu alasan kami pergi dari ibukota, pria itu tidak mendesak kami memberi jawaban, dan tetap setuju memberi tumpangan ke kampung halamannya, Tanjung Senja.

“Tanjung Senja itu punya matahari terbit dan terbenam paling indah di penjuru negri!” serunya riang, bercerita soal kampung halamannya. “Letaknya dekat laut jernih, tapi jauh dari mana-mana. Makanya, nak, aku beli sekarung kopi, untuk persediaan rumah selama sebulan-dua bulan. Susah di sana tuh, tapi sejahtera juga. Kalian pasti suka! Ah, ada sekolah juga, kecil dan tak ramai.”

“Aman Pak Den, tempatnya?” Dalam percakapan, Ryan lebih sering merespon Pak Den dibanding aku. Aku banyak menyimak.

“Kau boleh bertaruh! Tak ada sekalipun catatan kejahatan di sana. Namanya juga desa kecil, penduduk sedikit, ramah pula semuanya! Bagaimana pula mau ada kejahatan, pengetahuan soal ibukota saja sedikit! Penduduknya ramah, tapi tak terlalu pintar.”

Ryan dan aku bertukar pandang, saling melempar senyum, dan setuju untuk singgah di Tanjung Senja saja. Kami tidak punya tujuan. Jika desa itu aman dan jauh dari sentuhan kota, aku dan Ryan seharusnya baik-baik saja.

“Omong-omong, nak, kenapa lah kalian pindah jauh-jauh dari ibukota? Mau pula tinggal di daerah kecil macam Tanjung Senja!”

Nampaknya orang-orang Tanjung Senja memiliki aksen lucu, terdengar selalu bersemangat, seolah selalu ada tanda seru di akhir nyaris setiap kalimat mereka.

“Ada alasannya, Pak Den. Tapi kami enggan membicarakannya. Nggak masalah ‘kan, ya? Boleh saya tetap menumpang ke desa Tanjung Senja?”

Tanpa tatapan menghakimi sedikit pun, Pak Den memandangi kami selama dua detik, kemudian tertawa. “Nak! Mana mungkin tidak boleh! Akan ku perkenalkan kalian Nak pada istriku, Idah! Senang pasti kalian berkenalan!”

Ingin tahu, tapi tidak keras kepala.

Kami tiba di Tanjung Senja beberapa jam kemudian dan langsung dikerubungi anak-anak kecil yang penasaran. Mereka terus berteriak dan bertanya pada orangtua mereka tentang siapa kami, dengan aksen yang lucu. Tiga atau empat anak kecil yang akrab dengan Pak Den bertanya langsung pada pria itu.

“Ah, kalian, Nak-Nak ini adalah kawan baruku. Dari ibukota, Nak Ryan dan Nak Vania!” jawab Pak Den diselingi tawa, sesekali menepuk kepala-kepala botak bocah-bocah yang mengerubunginya. “Sudahlah, tak usah banyak tanya! Lama-lama kalian akan saling kenal sendiri! Mereka akan tinggal di sini.”

Para bocah kecil yang berisik itu, juga penduduk lain yang menyempatkan diri menghampiri gerbang desa di tengah kegiatannya untuk melihat kami, mengangguk kemudian sedikit-demi-sedikit bubar.

Satu anak perempuan kecil masih ingin tahu, langsung bertanya padaku, “Kak, kau akan tinggal di sini? Di desa kecil ini? Jauh-jauh dari ibukota?”

Aku tersenyum dan mengangguk, membenarkan kata-katanya.

Ia girang, kemudian berlari menghampiri ibunya. Sayup-sayup aku mendengar, “Aku mau berkawan dengan kakak-kakak itu!” dan sang ibu langsung mengizinkan

Penduduk desa kembali ke kegiatan mereka masing-masing, menurut kata Pak Den bahwa mereka akan mengenal kami sendiri nantinya.

Ingin tahu, tapi tidak keras kepala. Itulah penduduk Tanjung Senja.

Ketika yang lain sudah sibuk dengan kegiatan mereka sebelum malam turun, seorang gadis sebayaku menatap kami dari kejauhan. Awalnya tatapannya serius, dingin, dan agak menyeramkan. Namun tak lama, menatapku, ia tersenyum, melambaikan tangan, dan berlalu pergi. Gadis itu mengenakan seragam sekolah. Aku jadi penasaran. Aku bertekad berkenalan dengannya nanti.

Belakangan, aku tahu gadis itu bernama Mekar. Sebab aku sudah terlalu ingin tahu sampai bertanya pada Pak Den nama gadis itu.

Ingin tahu, dan keras kepala. Itulah aku.

Malapetaka.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang