ryan - 8

25 5 0
                                    

Aku pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu yang terlalu sempurna adalah sebuah kesalahan. Artinya sederhana; tidak mungkin ada kesempurnaan di antara manusia. Tidak di rumah lama kami, bahkan tidak di Tanjung Senja. Namun sesuatu yang terlalu dipenuhi kesalahan adalah malapetaka. Dan malapetaka itu adalah aku dan Vania.

Aku dan Vania menyusuri jalan pulang kembali ke rumah Pak Den dengan hati yang bergemuruh. Kulihat mata Vania berkilat-kilat. Dipenuhi oleh amarah, juga duka yang mendalam. Sesuatu dalam diri Vania meronta ingin dibebaskan; keputusasaan. Gadis itu pasti merindukan masa dimana ‘sempurna’ dan ‘menang’ menjadi dua kata yang senantiasa dunia lekatkan padanya. Sejak kapan jadi separah ini kondisinya?

Mendadak, sekelebat ingatan melintas di kepalaku. Darah yang bergelimang di lantai, bau amis, tangan yang terasa basah, peluh yang membasahi pakaian. Air mata, suara tangis, kaca yang pecah, jeritan...

Kenangan suram itu diputar ulang di kepalaku begitu saja. Seperti cuplikan adegan film yang dipercepat. Aku membeku tiba-tiba. Tidak sanggup melihat tayangan ulang semua kejadian itu walau hanya di kepala, walau seharusnya semua itu ditinggal di belakang.

Aku baru kembali pada dunia nyata ketika merasakan telapak tangan dingin Vania di genggamanku. Aku menoleh. Gadis itu mengeratkan gandengannya, menatapku sambil menggigit bibir, seolah memohon sesuatu.

“Kenapa, Van?” tanyaku.

Sebelum mendengar jawabannya, aku langsung paham. Beberapa langkah dari kami, Sekala dan Ijah berdiri bersebelahan. Didampingi dengan seorang wanita yang entah siapa—mungkin ibu salah satu dari mereka. Sekala dan Ijah menatap kami dalam-dalam. Entah kenapa, dalam mata itu, aku merasakan kesakitan. Mereka mencoba menyampaikan sesuatu lewat tatapannya.

Namun alih-alih berbicara, mereka diam. Dan tak lama, wanita yang bersama mereka menggiring mereka untuk kembali berjalan. Aku mendengar wanita itu berbisik, “Jangan dekat-dekat dengan mereka lagi, ya.”

Meski begitu, saat berlalu pergi menuju tikungan yang bukan tujuan kami, aku melihat Sekala menoleh dari balik bahunya. Tatapannya lurus menuju Vania. Tapi saat itu, Vania terlalu hancur bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang