vania - 10

36 7 8
                                    

Kami hampir sampai rumah Pagi, yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Pak Den, tapi tidak dekat pula ke sekolah. Lebih seperti di tengah-tengah Tanjung Senja. Rumah Pagi jauh dari pantai. Tapi aksesnya ke pasar lebih mudah dibanding dari rumah Pak Den. Sebab, orangtua Pagi adalah pedagang di pasar. Gadis itu mengajak kami ke rumahnya setelah membahas kata-kata terakhir Mekar, "Yang terujung."

Kalau ku perhatikan, teras rumah Pagi luas. Rumahnya juga bagus. Furniturnya tetap terbatas, tapi rumah itu kelihatan luas dan kokoh. Di sebelah pintu masuk, digantung sebuah lukisan. Terlihat tradisional, aku berasumsi pasti mengisahkan salah satu legenda atau kepercayaan di Tanjung Senja.

Aku dan Ryan terkejut mendapati Ijah dan Sekala tiba lebih dulu di sana, duduk manis di teras sambil disajikan teh. Yang ku tahu, jarang sekali tamu biasa disajikan teh di Tanjung Senja. Biasanya hanya sekedar air putih dan teh hanya disajikan bagi tamu-tamu istimewa—kalau kata Mak Idah itu artinya kepala sekolah, guru, kepala desa, atau calon pengantin dan keluarganya. Aku menarik kesimpulan keluarga Pagi bisa jadi salah satu yang paling 'berada' di antara warga Tanjung Senja, sampai-sampai bersedia menyediakan teh untuk tamu-tamu anaknya.

"Mm, hai," sapa Ryan. Ia terlihat ragu, tapi tidak canggung. Perkara bahwa Sekala dan Ijah memalingkan muka saat berpapasan dengan kami tadi seolah tidak benar-benar membuatnya gentar.

"Hai." Ijah balik menyapa. "Akhirnya datang juga kalian."

Aku spontan mengangkat alis. "Kami ditunggu?"

"Ya. Lima belas menit ada lah. Pagi yang menyuruh kami kemari."

Aku lebih terkejut lagi. Pagi ingin kami semua bertemu di rumahnya untuk suatu alasan. Lalu aku teringat kata-kata Pagi saat kami bertemu dengannya di dekat tempat jasad Mekar ditemukan. "Tidak semua orang tidak memercayai kalian." Kira-kira itulah yang dikatakannya.

"Tunggu." Kata-kata lolos dari mulutku bahkan tanpa aku menyadarinya. "Kalian... nggak termakan rumor pembunuhan itu?"

Sekala menggeleng, kemudian memberikan senyuman hangat padaku. "Nggak. Awalnya aku kaget. Apalagi Ijah. Reseh bukan main dia sampai datang ke rumahku pagi-pagi buta! Tapi kami nggak lekas percaya bahwa pembunuh itu kalian. Kami berjumpa Pagi hari itu juga—"

"Pagi yang menjelaskan mengenai kenapa kalian nggak mungkin menjadi pembunuhnya," potong Ijah.

"Ei, aku belum selesai bicara!" Sekala kesal.

Aku melihat Ryan memandangi Pagi dalam-dalam, meminta penjelasan.

"Mm, aku merasa nggak mungkin Ryan dan Vania yang membunuh Mekar. Apalagi, kata-kata terakhir Mekar seperti petunjuk tempatnya akan meninggal... Kalau memang Ryan dan Vania yang membunuh, kenapa Mekar sudah tahu lebih dulu dia akan dibunuh? Kalau Ryan dan Vania pembunuh, kalian yang sejenius itu pasti lebih cerdik dalam menyembunyikan rencana pembunuhan kalian." Pagi yang sejak tadi bicara sambil menunduk akhirnya mengangkat kepalanya, menemui mata Ryan. "Begitu..."

Ryan seketika tersenyum cerah. "Pemikiran yang sederhana tapi sangat logis, Pagi."

Pagi tersenyum malu, senang karena pemikiran sederhananya mendapat pujian dari orang sejenius Ryan.

"Tapi kalau begitu, bukankah artinya Mekar sudah tahu ia akan dibunuh? Kenapa ia tak melapor saja sekalian kalau ia akan dibunuh?" tanya Sekala.

"Pertanyaanmu masuk akal, Sekala," jawabku. "Mungkin Mekar mempertimbangkan banyak hal. Seperti... ia nggak yakin apa ia benar-benar akan dibunuh. Namun, ia merasa terancam. Jadi mungkin, ia memberi petunjuk itu untuk berjaga-jaga."

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang