ryan - 5

38 7 1
                                    

Aku yakin aku tidak salah dengar. Pendengaran dan sel-sel otakku masih berfungsi dengan baik.

Mekar tidak kembali sejak hari dimana gadis itu membantu Vania masuk UKS.

Kedua hal itu—Mekar dan Vania yang masuk UKS—mungkin tidak berkaitan sama sekali. Tapi tetap saja terdengar janggal.

Namun kecurigaan yang menusuk maupun ketakutan yang tidak masuk akal bukanlah hal-hal yang dilakukan penduduk Tanjung Senja.

Ai, mungkin Nak itu sedang menginap di rumah teman saja! Bah! Paling tidak seharusnya ia bilang sesuatu pada Dak Jo! Aih, nak-nak seperti kalian suka lupa bahwa orangtua juga mengkhawatirkan! Jangan buat Den atau Idah panik, ya. Mereka tu rewel sekali. Bisa-bisa aku pusing karena suaranya!”

Bujang tertawa keras dan berlalu pergi untuk mengambil makanan. Pada acara pernikahan di balai ini, nasi banyak dihidangkan. Akhirnya setelah sekian lama, aku kembali menyantap nasi. Ini semua karena padi dan beras jarang sekali ditemui di Tanjung Senja dan harganya kerap terlalu mahal untuk para penduduknya. Karena itu, nasi hanya dihidangkan di acara spesial.

Ketika Bujang sudah sibuk menyendokkan nasi ke piringnya, aku dan Vania beradu pandang dalam diam. Mekar ‘kan tidak punya teman. Mana mungkin gadis itu pergi menginap di rumah kawannya.

“Menurutmu dia kemana?” tanya Vania pelan, nyaris berbisik.

Aku menggigit bagian dalam pipi sembari berpikir. Kemana gadis penyendiri dan aneh seperti Mekar pergi? Kemana dia bisa melarikan diri tanpa diketahui di desa sekecil ini?

Aku tenggelam dalam berbagai hipotesa. Mulai dari pergi saat malam, diam-diam menaiki mobil bak milik seseorang yang hendak keluar desa, atau ikut seorang nelayan berlayar dan tidak kembali. Aku memikirkan semua kemungkinannya dari yang seringan kawin lari sampai sesuatu yang berhubungan dengan kematian.

Saat larut dalam hipotesa paling gelap, Pak Den menepuk punggungku.

“Nak! Makanlah! Makanlah! Jarang-jarang ada nasi! Ayo, ayo!” Pria itu menarik lenganku menuju meja panjang yang diisi bernampan-nampan nasi.

Nasi itu dihidangkan dengan berbagai cara. Dari nasi putih biasa, nasi goreng dengan kecap, nasi goreng saus tomat, dan nasi goreng polos. Baunya mengundang selera makan.

Karena hanya menarik lenganku, aku otomatis menoleh mengingat Pak Den bisa saja meninggalkan Vania sendirian di tengah kerumunan Mak Idah dan teman-temannya. Gadis itu tidak suka sendirian apalagi di tengah orang-orang yang tidak dikenal dan tidak sebaya. Kalau di sekolah, sendirian sudah tidak asing bagi Vania. Tapi di acara seperti ini? Gadis itu bisa membeku di tengah ruangan karena tidak tahu harus apa.

Namun saat aku menoleh, Vania sudah mengantre nasi tepat di belakangku. Tangan Mak Idah melingkari lengan kurusnya. Menyadari tatapanku, Vania mengangkat alis, bertanya “kenapa”. Aku menggeleng dan tersenyum.

Baik aku maupun Vania menghabiskan seporsi nasi kami dengan cepat. Rasanya kalap karena sudah lama tidak menyantap nasi. Apalagi nasi goreng-nya sedap sekali.

Aih, cepat sekali makan kalian berdua, Nak!” komentar Pak Den lalu tertawa.

“Bagus-bagus,” Pria itu bergumam sambil terus mengunyah makanannya. “Makanlah yang kenyang.”

Entah kenapa hatiku bergetar mendengar ucapan Pak Den. Pria itu benar-benar ingin aku dan Vania menikmati pesta pernikahan itu dan makan kenyang. Dia begitu bahagia melihatku dan Vania bisa makan nasi. Ia tahu betul di ibukota, nasi adalah makanan sehari-hari. Aku sadar bahwa Pak Den dan Mak Idah ingin sekali kami nyaman tinggal di Tanjung Senja. Melihat kami bisa makan nasi lagi, seperti menimbulkan kelegaan di diri mereka. Seolah setelah makan nasi, aku bisa melanjutkan hidup di Tanjung Senja dengan lebih nyaman.

Padahal, sejak hari pertama, aku dan Vania sudah sangat bahagia bisa berada di Tanjung Senja. Jauh dari rumah. Jauh dari kebisingan kota. Jauh dari masa lalu…

Hanya saja Pak Den dan Mak Idah tidak tahu soal itu.

Yang mereka tahu adalah aku dan Vania merupakan anak yang selalu didambakan. Karena itu, membahagiakan kami adalah prioritas mereka sekarang. Padahal, mereka juga sosok keluarga yang aku dan Vania selalu dambakan.

“Vania! Ryan!” Suara seorang pemuda memanggil kami dari balik punggung.

Aku menoleh.

Sekala berlari ke arah kami dengan senyum secerah matahari Tanjung Senja.

Ei, kalian diundang juga rupanya!” ucap Sekala segera setelah tiba di hadapan kami.

Ia berkata begitu, padahal rasanya nyaris seluruh penduduk desa diundang ke pernikahan ini. Sebab seerat itulah kekeluargaan di Tanjung Senja.

Vania mengangguk menanggapi Sekala. “Ijah bersamamu?”

Sekala menggeleng cepat. “Alamak, perempuan berisik itu. Diare dia. Rakus, sih!”

Mau tidak mau, mendengar kejengkelan di nada Sekala aku tertawa. Begitu juga Vania.

“Kau cakap sekali, Van!” Sekala memuji penampilan Vania setelah menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Vania tersenyum dan berterima kasih.

“Kamu ke sini sendiri?” tanya Vania.

Lagi-lagi, Sekala menggeleng. “Sama orangtuaku. Kakakku tak pulang bulan ini. Aih, terlalu repot mengurus suaminya!”

Tidak lama, Pagi bergabung dengan kami. Perempuan itu hanya datang berdua dengan ibunya, sebab ayahnya sudah sakit-sakitan.

“Kau cakap sekali, Yan!” puji Pagi.

“Terima kasih. Kamu juga kelihatan cantik,” balasku.

Pagi kelihatan sedikit tersipu. Aku mengernyitkan dahi, masih sambil menyunggingkan senyum. Pujian tadi itu jujur. Pagi memang kelihatan cantik. Bukan. Apa, ya? Manis. Pagi kelihatan manis. Terutama saat dia sedang tersipu.

Ei,” Tiba-tiba Sekala berbicara dengan suara redam. “Dak Jo.”

Bukan hanya Sekala, suara-suara para tamu di pernikahan itu juga perlahan meredam. Semua itu disebabkan oleh tibanya seorang pria tua dengan pakaian serba abu-abu yang kotor. Pria itu bukan hanya tidak mengenakan pakaian formal, ia bahkan tidak repot-repot memakai alas kaki.

Kaki telanjangnya kotor dan pasir-pasir menempel di sana. Jaring nelayan masih tersampir di bahu kanannya. Saat melintas, bau amis laut langsung tercium.

Dia pasti Dak Jo.

Pria itu langsung menghampiri Pak Den. Raut wajahnya begitu serius dan suram. Kalau ditilik dari bagaimana kerumunan langsung terdiam seraya Dak Jo lewat, besar kemungkinan bahwa wajah Dak Jo selalu sesuram itu.

Meski begitu, kerumunan yang terdiam dan terpaku menatap Dak Jo tidak memberi kesan bahwa mereka metakutan. Segan. Rasa segan dan hormat memenuhi mata mereka semua. Dak Jo memang fenomenal, mengutip kata-kata Ijah.

Melihat wajah Pak Den dan Mak Idah yang berangsur serius, aku berjalan mendekati mereka yang hanya berjarak lima langkah dariku. Vania mengekor, meninggalkan Pagi dan Sekala yang menatap penuh tanya.

Oke. Menghampiri Pak Den dan Mak Idah ketika situasi sedang serius begini membuatku dan Vania kelihatan benar-benar seperti anak mereka.

Saat sudah tiba persis di sebelah ketiga orang tua itu, barulah Dak Jo yang sedari tadi diam berkata, “Wahai, aku butuh bantuan kalian.”

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang