vania - 5

34 8 4
                                    

Sisir bambu milik Mak Idah menyusuri rambutku. Wanita itu kelihatan sedikit terkagum-kagum dengan warna rambutku, yang entah kenapa memang secara alami berwarna cokelat. Padahal seluruh anggota keluargaku punya rambut hitam legam—yang membuatku iri. Bahkan walaupun iris mata Ryan cerah, rambutnya hitam sempurna. Aku ingin punya warna rambut begitu. Sekali-dua kali berpikir untuk mewarnai rambutku hitam, tapi Ryan bilang lebih baik warna rambutku tidak diganti. Jadi aku batal melakukannya.

Ai, Nak, kau tak mau merapikan potongan rambutmu? Bawahnya berantakan bukan main,” komentar Mak Idah disela-sela menyisiri rambutku.

Sekarang ini sudah akhir pekan, waktunya libur sekolah. Siangnya, ada acara pernikahan di balai, Pak Den serta Mak Idah memintaku dan Ryan untuk ikut bersama mereka. Jadi, dengan penuh semangat, Mak Idah ingin sekali meriasku. Dan aku membiarkan wanita ramah itu melakukannya. Ah, rasanya benar-benar seperti keluarga. Kedekatan yang tidak pernah sungguh-sungguh ku rasakan.

“Eh…,” Aku bergumam sedikit, lalu memainkan ujung rambutku. Memang berantakan. “Mungkin besok, Mak. Kalau di sini mau potong rambut harus kemana?”

Jelas di tempat seperti Tanjung Senja tidak ada salon.

Tapi mereka punya ‘tukang cukur ahli'.

“Nak! Pergi lah kau ke Bujang besok! Dia tukang cukur di sini.” Mak Idah kelihatan lebih bersemangat lagi.

“Aku hanya mau merapikan bawahnya saja.”

Ai, tentu! Mau sependek apa lagi memangnya rambut kau bisa dipotong, Nak?”

Mak Idah selesai merapikan rambutku, kemudian berjalan menuju lemari baju plastik di sudut ruangan. Wanita itu tampak sibuk mencari sesuatu di rak paling atas. Tak lama, tangannya menggenggam selembar kain putih berbahan tipis yang agak tembus pandang.

“Selendangkan ini, Nak,” ujar Mak Idah sambil menyodorkannya padaku. “Aih, cakap sekali kau.”

Aku tersenyum dan menyampirkan kain itu di bahu. “Terima kasih, Mak.”

“Tak masalah! Nah, aku ganti baju dulu, ya!” Mak Idah kemudian membawa bajunya dan meninggalkan ruangan.

Di Tanjung Senja, kami mengenakan pakaian serba brukat putih dan kain hitam jika hendak pergi ke acara formal seperti pernikahan atau selamatan. Atasan brukat yang kami kenakan mirip kebaya encim, tapi modelnya lebih sederhana. Tidak berkancing, panjangnya mencapai lutut, dan lengannya pendek. Bawahan untuk baju itu adalah kain hitam dengan motif khas daerah Tanjung Senja. Ku tebak filosofi dari motif itu adalah pantai dan matahari; mengingat Tanjung Senja bangga sekali akan mentari terbit-terbenam mereka, yang amat sangat ku setujui keindahannya.

Aku berkaca sekali lagi sebelum keluar kamar untuk menemui Ryan. Sambil bercermin, aku memainkan ujung rambut pendekku. Menggantung di leher, nyaris mencapai bahu. Benar-benar berantakan. Dulu aku punya rambut dengan panjang sepunggung. Cantik dan berkilau. Sering aku dipuji karena suraiku itu.

Namun, ketika memutuskan untuk pergi dari rumah, aku memotongnya secara asal. Membuatnya pendek, demi meninggalkan luka di masa lalu. Karena itulah potongannya sangat berantakan. Aku ingat, sebelum berangkat, Ryan bilang rambut pendek cocok untukku.

Namun seperti Mak Idah, ia juga berkomentar, “Kamu bagus rambut pendek. Tapi itu berantakan sekali. Kita harus segera merapikannya kalau sudah mendapat rumah baru.”

Tanpa perlu perjanjian tertulis, aku dan Ryan tahu Tanjung Senja adalah rumah baru kami. Maka, ini saatnya aku merapikan potongan rambut.

“Besok, ya… Bujang itu… tinggal di mana, ya?” gumamku pada diri sendiri, masih sambil berdiri di depan cermin.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang