vania - 6

33 5 3
                                    

“Ryan dan Vania, nilai sempurna.” Bu Roja meletakkan kedua kertas hasil ujian biologi di meja kayu yang dipenuhi coretan spidol.

Alamak!” Ijah berbisik di belakang. “Ini nilai apa bola? Bulat sekali nol-nya!”

Aku nyaris tertawa kalau tidak ingat bahwa gadis itu benar-benar serius soal nilainya. Sebenarnya Ijah punya kemauan besar untuk mendapat nilai bagus. Ia belajar dengan cukup giat, juga mendengarkan guru dengan sangat saksama—sampai tidak bisa diganggu barang sedikit kalau sedang fokus. Tapi entah kenapa, usaha kerasnya tak kunjung membuahkan hasil.

Bah, Jah. Jangankan punyamu. Angka dua seperti ini ada di kertasku!” sahut Sekala, ikut berbisik.

Aku dan Ryan saling memandang. Bahkan nilai biologi kami pun sempurna.

Siswa Tanjung Senja tidak begitu baik dalam segala pelajaran. Tapi, biologi dan matematika adalah yang terburuk.

Aku merasakan seseorang menepuk bahuku. Ijah.

Ai, Van! Bagaimana ini?” Ijah mengeluh putus asa. “Bulat sekali angka di kertasku sampai tak kuat aku melihatnya!”

Aku menghela napas, mencoba memikirkan kata-kata. Tapi tidak ada satu pun yang keluar. Ah, aku memang buruk soal begini.

“Tenang, Jah. Lain kali pasti bisa lebih baik. Akan ku bantu.” Sebagai gantinya, Ryan yang menjawab Ijah. Senyum tulus mengembang di wajah pemuda itu. Ekspresi Ijah langsung mencerah.

Aih, kalian! Sudah jenius, baik hati pula!”

“Hebatnya…” Tiba-tiba saja suara seorang gadis—yang bukan suara Ijah—berkomentar di hadapan kami.

Pagi berdiri tegak, dengan kertas ujian di kedua tangannya. Satu miliknya, satu milik Ryan. Ia kelihatan membandingkan jawaban.

“Aku buruk dalam semua mata pelajaran. Tapi paling parah dalam biologi,” ujar Pagi. “Bagaimana kalian bisa sejenius ini lah?”

Aku menelengkan kepala. ‘Bagaimana bisa aku jenius' bukanlah suatu pertanyaan yang bisa ku jawab. Dan kelihatannya Ryan juga bingung.

Namun ia memutuskan menjawab, “Aku lumayan suka pelajaran biologi. Jadi belajar terus.”

Pagi menanggapinya dengan anggukan antusias. Secercah harapan terbit di matanya. Tanpa harus mengatakannya, pandangannya berteriak, “Kalau begitu aku juga bisa!”

“Kau mau jadi dokter?” tanya Sekala dari belakang tiba-tiba.

Ryan tegas mmenggeleng. Aku terkejut. Ryan dulu ingin sekali menjadi dokter. Ia bahkan yakin sekali bisa menjadi dokter. Sekarang…

“Kau mau jadi apa?” tanya Pagi.

Ryan kembali menggeleng. “Aku masih menentukan.”

Ada banyak perubahan baik dalam diri Ryan ketika kami minggat. Tapi di antara seluruh perubahan itu, satu yang aku tidak suka. Ryan kehilangan impiannya, ambisinya, cita-citanya. Ketika Ryan memutuskan membunuh keangkuhannya, Ryan juga membunuh ambisi yang terbawa di dalamnya.

Ryan adalah jenius tanpa tujuan sekarang. Itu menyakiti hatiku.

“Vania, kau juga bagus di biologi. Kau mau jadi apa?” Sekala kini bertanya padaku.

Aku menatap Ryan lamat-lamat. Pemuda itu balas menatapku, sedikit bingung. Apakah aku harus membunuh ambisiku juga, ketika aku memutuskan untuk membersihkan diri?

Aku menoleh pada Sekala. Dengan nada serius aku menjawab, “Penulis. Aku ingin jadi penulis.”

Tidak. Tidak harus membunuh impianku juga. Bahkan walau namaku harus menyebar ke seantero negri, bahkan walau namaku yang kotor ini tidak layak beredar di masyarakat… aku tetap ingin jadi penulis. Aku masih ingin menjadi orang yang dapat mengubah dunia hanya dengan rangkaian aksara. Aku masih menginginkan kekuatan itu.

Ai!” Sekala dan Ijah mengangguk-angguk dengan wajah terpukau. Begitu juga Pagi.

Aku kembali menoleh pada Ryan. Kali ini, tatapannya melembut. Senyum merekah. Ryan terlihat cerah seperti matahari pagi di Tanjung Senja. Tanpa mengucap, aku bisa mendengar Ryan mengatakan sesuatu seperti, “Bagus. Aku bangga padamu.”

“Tulisan seperti apa? Buku cerita?” tanya Pagi.

Aku menggeleng. Bukan. Bukan novel. Tulisan yang aku ingin buat… bisa berupa artikel. Berita, cerita pendek, puisi. Aku ingin menulis…

“Tulisan yang bisa mengubah dunia.” Ryan tiba-tiba saja menjadi orang yang menjawab pertanyaan Pagi.

Aku terkejut menatapnya. Pandangan Ryan lurus pada mata Pagi. Ia menyunggingkan senyum. Rasa bangga dan percaya diri terpancar dari matanya.

Itu adalah jawabanku. Itu adalah hal yang ku katakan pada Ryan dua tahun lalu. Bahwa aku ingin menulis sesuatu yang bisa mengubah dunia. Tidak pasti apa. Tapi pasti menggemparkan.

Baik Pagi, Ijah, maupun Sekala jelas bingung pada jawaban itu. Tulisan apa yang ‘bisa mengubah dunia'? Aku rasanya hendak menjawab, “Tulisanku nantinya.” Tapi aku tetap diam.

Disela-sela keheningan yang membingungkan itu, suara pentungan berbunyi. Entah kenapa aku lega mendengarnya. Aku seperti diselamatkan.

Ijah dan Sekala mengajak kami ke kantin, tapi kami berdua bawa bekal. Sedangkan Pagi hendak menemui Bu Roja untuk bertanya mengenai soal-soalnya.

“Aku akan kembali sebelum istirahat selesai,” ucap Pagi kemudian berlalu.

Aku tersenyum dan mengangguk. “Sampai nanti.”

Tiba-tiba saja aku merasa puncak kepalaku diusap lembut. Ryan. Tangannya terulur ke atas kepalaku. Alih-alih menatapku, matanya sibuk memandangi tangannya sendiri. Ekspresinya lembut, tenang. Damai.

“Kenapa, Ryan?” tanyaku, agak bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba.

Pemuda itu menggeleng. “Kamu hebat. Jangan lepas cita-citamu.”

“Kenapa kamu lepas cita-citamu?” Aku agak kesal mendengarnya.

Ryan menurunkan tangannya dari kepalaku, lalu menopang dagu. Pandangannya tersesat sebentar, entah menatap apa, sedikit kosong. Tak lama, ia kembali menatap mataku.

“Soalnya, aku harus menjaga kita.”

Belum sempat aku bertanya maksudnya, Bu Roja masuk dengan begitu tergesa-gesa.

“Nak semuanya, kalian dipulangkan!” serunya dari pintu masuk.

Beberapa anak yang tersisa di kelas memandangnya dengan penuh tanya.

“Ada apa, Bu?” tanya Ryan, satu-satunya orang yang punya cukup keberanian untuk bertanya.

Napas Bu Roja tersengal-sengal. Peluh menetes dari pelipisnya. Wanita itu tampak panik. Menjawab Ryan, ia menggeleng dan berkata, “Tak bisa ibu jelaskan. Walimu dan Vania ada di sini menjemput kalian, Nak.”

Aku tertegun. Pak Den dan Mak Idah? Kenapa mereka sampai menjemput?

Baik aku dan Ryan langsung mengerti bahwa situasinya darurat. Tapi beberapa siswa lain masih bertanya-tanya sambil merapikan buku mereka.

“Yang lain, langsung pulang. Ibu tak mau ada hal lain yang terjadi.”

Hal yang Bu Roja maksud, barulah nantinya aku pahami; kematian.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang