ryan - 9

34 5 4
                                    

Aku ragu—aku sangat ragu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku ragu—aku sangat ragu. Aku tidak yakin apa yang hendak aku lakukan atau apa persisnya yang aku cari. Tapi, aku sudah berjanji pada Vania bahwa seluruh tenagaku cukup untuk menjaga kami berdua. Karena itu, aku tetap harus berlaga baik-baik saja. Bahwa aku punya harapan terang di dalam diriku. Hanya agar Vania tidak kehilangan harapannya. Lagi.

“Masih jauh?” tanya Vania di belakangku.

Aku menggeleng. “Entahlah. Seharusnya nggak. Kamu lihat pohon kelapa itu? Yang botak. Seingatku kemarin kita menemukan tempatnya nggak jauh dari pohon ini.”

“Oh, ya. Kita menemukannya di dekat pohon kelapa yang membungkuk rendah.”

Aku mengangguk. Setiap detil suasana tempat mayat Mekar ditemukan, rasanya dapat ku ingat dengan baik. Apalagi akulah yang memeriksa mayat itu sendiri dari dekat. Momen itu, tidak akan pernah lepas dari kepala. Sama seperti kenangan terakhirku di rumah...

Aku menggeleng cepat. Tidak. Ryan, tidak. Jangan ingat itu sekarang ⸺ atau kapanpun, sebenarnya.

“Ryan, itu!” seru Vania, menyadarkanku dari kenangan buruk dan aku yang memaki diri sendiri bodoh.

Aku mengangkat kepala, setelah kurasa sudah terlalu lama menatap langkahku sendiri, hanya karena aku tidak tahu kemana kedua kaki itu sebenarnya membawaku. Pohon kelapa yang membungkuk rendah sehingga hampir menyentuh pasir itu masih di sana. Hanya saja, kali ini selendang kuning diikatkan pada batangnya.

“Apa Dak Jo yang mengikatnya?” tanya Vania.

“Mungkin.”

Kami melangkah mendekati pohon itu. Semak-semak yang sewaktu itu tumbuh di sana juga masih ada. Aku berlama-lama menatap semak itu kemudian menyadari ada jejak sepatu di pasir sekitarnya.

“Dak Jo nggak mengenakan sepatu,” ujarku, baik pada diri sendiri maupun Vania. “Orang lain telah ke sini, mengikatkan selendang kuning itu di sana.”

Jelas saja jejak itu bukan dari Dak Jo yang sehari-hari tak beralas kaki. Maka aku berjongkok di sekitar jejak sepatu terdekat untuk mempelajari corak sepatu itu.

“Ukurannya 37,” ujar Vania yang berdiri di belakangku, ikut mengamati jejak sepatu tersebut. “Ukuran sepatunya sama denganku.”

Setelah mengatakan itu, Vania meletakkan kaki kanannya di sebelah jejak sepatu. Dan benar saja, ukurannya terlihat serupa. “Pasti perempuan.”

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menebak-nebak siapa kira-kira gadis yang mengunjungi tempat mayat Mekar ditemukan, sebab setelahnya, Vania melihat seseorang di pantai.

“Itu.” Kami membungkukkan tubuh, untuk melihat siapa yang berdiri di pantai kecil di bagian belakang desa seperti ini. Aku mengenal postur tubuhnya. Seseorang dari kelas kami. Rambutnya tergerai panjang menutupi seluruh punggung, ia mengenakan gaun bermotif khas Tanjung Senja.

“Pagi,” ujar Vania, yakin. “Itu Pagi.”

“Kenapa dia di sini?” tanyaku, lebih pada diri sendiri. Sebab tentu saja Vania tidak tahu jawabannya.

Kami memutuskan untuk menghampiri Pagi. Maka kami berjalan menuju pantai. Pantai itu kecil dan ombaknya tidak besar. Semak-semak masih sedikit tumbuh di area pasir pantai yang secara keseluruhan tidak bisa dibilang luas. Pantai itu hanyalah penanda bahwa kami sudah tiba di salah satu daerah terujung di Tanjung Senja—yang kebetulan, letaknya tepat di belakang rumah kami.

Pagi segera menoleh ketika langkah kaki kami sudah memasuki pendengarannya. Ia terkejut, sedikit takut pada awalnya. Setelah melihat kami, wajahnya berubah sendu.

“Kamu yang mengikatkan selendang itu?” tanya Vania tanpa basa-basi.

Pagi tersenyum lesu dan mengangguk. “Ya. Di Tanjung Senja, selendang kuning melambangkan duka bagi teman. Selendang putih bagi saudara. Yang diikatkan di makam biasanya selendang putih. Kami mengikatkan selendang kuning pada barang-barang yang berhubungan dengan mendiang; misalnya bangku sekolah, pilar rumah, dan sebagainya.”

“Kamu mengikatkannya di pohon itu…”

“Sebab disitulah terakhir kali Mekar berada sebelum wafat, yah?”

Aku mengangguk. Dahiku berkernyit dalam. Orang-orang tahu Mekar mati terbunuh sebab sebagiannya ikut menguburkan. Tapi seharusnya tidak seorang pun tahu dimana Mekar ditemukan.

“Siapa yang memberitahumu?” tanyaku. Aku merasakan nada bicaraku terkesan kasar dan tidak sabar. “Eh, maaf. Maksudku, kamu tahu darimana?”

“Apa?”

“Nggak ada yang mengetahui tempat Mekar ditemukan selain keluarga kami dan Dak Jo.”

Pagi mengalihkan wajahnya, memandang nun jauh ke horison tempat langit dan laut bertemu. Matanya menerawang sesaat, lalu tanpa diduga ia berkata, “Jangan mengira semua orang nggak memercayai kalian lah. Aku, dan kawan-kawan yang lain percaya bahwa kalian ni bukan pembunuhnya.”

Aku menatapnya tidak mengerti. Menunggu Pagi melanjutkan.

Gadis itu menghela napas, kemudian menatap Vania dalam-dalam. “Vania, pasti kamu berpikir kata-kata terakhir Mekar sebelum hilang diutarakan padamu.”

Vania mengangguk sekali, wajahnya mengiratkan kebingungan. “Bukan?”

Pagi menggeleng. Kami terdiam beberapa saat, diselimuti kebingungan, kecanggungan, dan ketegangan entah mengapa.

Kemudian Pagi memutuskan melangkah melewati kami, hendak masuk kembali ke hutan pohon kelapa. Sadar kami hanya menatapnya tanpa bergerak, ia menoleh, dan mengangguk. Mengisyaratkan kami untuk mengikutinya. Maka itulah yang kami lakukan.

“Kata-kata terakhir Mekar sebelum hilang, hari itu di sekolah saat Ryan sudah lebih dulu masuk Ruang Kesehatan…,” Pagi akhirnya menjelaskan sesuatu. “Diucapkannya padaku.”

Aku terkejut. Vania nampak lebih terkejut lagi.

“Apa yang dikatakannya?” tanya Vania cepat-cepat.

Pagi tidak langsung berjalan. Ia berjalan mendekati pohon berselendang kuning. Saat itulah aku baru sadar bahwa jejak kaki Pagi sebenarnya mengitari pohon itu. Gadis itu mengikuti jejaknya sendiri, berjalan menuju balik pohon.

Tepat saat itu juga, aku dan Vania terkejut setengah mati. Bukan sang pembunub yang luput akan sesuatu. Tetapi kami. Bagaimana mungkin kami tidak langsung mengecek keadaan di sekitar TKP? Tulisan berukuran sedang yang berwarna putih, yang kuduga ditulis dengan kapur papan tulis, melintang secara vertikal di batang pohon kelapa yang membungkuk rendah itu.

“Kata-kata terakhir Mekar padaku sebelum berlalu menuju kelas hari itu, sama dengan apa yang ditulisnya di pohon ini,” lanjut Pagi. “'Yang terujung.'”

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang