vania - 9

30 7 1
                                    

Rumah terasa lengang dan sunyi. Satu-satunya yang bisa aku dengar hanya isak tangisku sendiri. Dan mungkin, suara-suara kepalaku yang bising. Rasanya seperti reka ulang masa lalu. Aku terduduk di lantai kamar, memeluk lutut, dan rambut acak-acakan. Dada yang sesak; kehabisan udara karena terlalu lama menangis. Peluh membasahi kaus. Ruangan ini tidak pernah terasa sepanas ini sebelumnya. Saat keadaan terpuruk, indra-ku bekerja dua kali lebih keras. Wangi pencuci pakaian yang menempel di seprai kini jadi terkesan pekat. Padahal biasanya, saat sedang berbaring pun aku tidak bisa menciumnya. Mungkin yang menjadi pembeda dari masa lalu adalah, untuk kali ini, tidak ada bau darah yang tercium.

Semakin lama, semakin aku tidak tahan sendirian. Aku ingin berteriak. Untuk pertama kalinya, aku ingin berteriak memanggil Mama. Atau Papa. Ah, tapi sudah tidak bisa, ya? Mereka ‘kan sudah tidak ada di sini.

Aku hendak bangkit, mungkin mencari Ryan. Apa dia di kamar? Namun baru saja mau berdiri, seseorang memasuki ruangan. Aku mendongak, hendak melihat. Ryan. Waktu yang tepat. Ryan selalu datang di saat yang tepat. Ketika aku sedang butuh-butuhnya, ketika aku sedang sendiri-sendirinya.

“Ryan,” panggilku, lebih lirih dari yang aku maksudkan.

“Van,” Ryan berjongkok di hadapanku, dengan sisa tenaganya berusaha keras untuk tersenyum lembut. “Kamu nggak apa-apa?”

Aku menggeleng. Tentu saja aku apa-apa. Ryan juga pasti sedang tidak baik-baik saja. “Bisa-bisanya kamu mengkhawatirkan aku di saat seperti ini.”

“Seharusnya?”

“Mengkhawatirkan diri sendiri. Kalau kamu sibuk menjagaku, siapa yang menjaga kamu?” Kami terdiam saling memandangi, kemudian aku melanjutkan, “Aku bahkan nyaris kehabisan tenaga memikirkan masalahku sendiri. Aku ‘kan nggak cukup kuat untuk menjagamu juga.”

Lagi-lagi, Ryan tersenyum. Hanya saja kali ini ia tidak kelihatan seperti memaksakan tenaganya. “Tenang saja. Aku punya cukup tenaga untuk menjaga kita berdua.”

Aku baru saja akan membantah, namun Ryan menggenggam kedua tanganku. Ia bangkit berdiri kemudian berkata, “Ayo.”

“Kemana?” Aku ikut berdiri.

“Jangan hanya diam di kamar. Masalah nggak akan selesai dengan sendirinya. Kamu harus kuat.”

Kamu harus kuat. Kata-kata itu…

“Terdengar familier.”

Ryan mendengus, setengah tertawa.

“Mau kemana?”

“Keliling desa. Pasti ada yang bisa kita temukan, dibanding hanya menangis di kamar.”

“Menurutmu, mereka akan membiarkan dua orang pembunuh berkeliaran begitu saja?”

Aku seolah baru saja menarik pelatuk, menembuskan peluru langsung ke kepala Ryan. Dengan tangannya yang masih berada di tanganku, aku merasakan seluruh tubuhnya mengeras. Ryan berdiri kaku, mematung. Tiba-tiba telapak tangannya terasa dingin. Matanya menatapku tapi cahayanya tidak benar-benar memandangku.

Aku sudah salah bicara.

“Eh, nggak, maksudku—”

“Nggak apa-apa. Aku mengerti.”

Tangan Ryan kembali terasa menghangat. Ia melepaskan tangan kirinya, kemudian dengan tangan kanan ia menarikku keluar kamar.

“Maaf.” Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

Ryan menggeleng. “Nggak apa-apa.”

Aku hanya bisa menatap punggung Ryan, namun aku merasakan senyum dari nada bicaranya. Kali ini, aku tidak bisa membedakan apakah senyum itu dipaksakan atau tidak.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang