ryan - 4

29 6 1
                                    

“Ajari aku yang ini!”
“Kalau macam ini, bagaimana mengerjakannya?”
“Memang benar Kak Ryan sudah menikah?”
Aih! Sulit sekali soal ini!”

Suara-suara perempuan memenuhi kupingku. Tetap juga sejauh mata memandang aku tidak melihat Vania. Gadis itu diminta ke ruang guru menjelang akhir kelas kesenian kami. Sudah sepuluh menit istirahat berlangsung, tidak juga aku melihatnya.

Pagi di sebelahku. Membantuku menjawab pertanyaan para siswi SMP mengenai pelajaran. Sisanya, jika mereka bertanya seputar diriku pribadi, aku yang harus menjawab sendiri. Paling tidak, itu sudah sangat membantu.

Pagi datang tiba-tiba saat para gadis ini sedang berisik-berisiknya. Ia meminta ruang untuk duduk pada para murid SMP, kemudian duduk di sebelahku.

“Ryan sibuk, ya!” komentarnya sewaktu pertama kali datang.

“Ah, iya, mereka minta diajari,” jawabku. “Lihat Vania nggak?”

Pagi menggeleng. “Dia belum kembali?”

Kini aku yang menggeleng.

Kemudian, ketika para siswi mulai meminta penjelasan tentang soal-soalnya, Pagi melongokkan kepala membaca buku teks di pangkuanku dan membantu memberi jawaban.

Pagi cepat belajar. Ia membaca, kemudian bisa memberi penjelasan yang lumayan berguna. Seringnya kurang akurat, dan aku membantu membenarkan penjelasannya.

Gadis itu kemudian memujiku, “Ryan hebat, ya! Pantas populer.”

Seperti Ijah yang bangga telah mengucapkan kata ‘fenomenal', Pagi juga kelihatan gembira bisa mengenal kata ‘populer'. Aku menarik kesimpulan bahwa di Tanjung Senja ada berbagai ‘diksi-langka-yang-keren', padahal itu kata yang umum diucapkan.

Menanggapi Pagi, aku tertawa ringan.

Sepuluh menit lagi berlalu, sepuluh menit tersisa sampai istirahat usai. Seperti sebuah kebiasaan, sepuluh menit sebelum kentungan dibunyikan sebagai tanda waktu masuk kelas telah tiba, kerumunan banyak yang bubar. Beberapa masih tetap di lapangan atau sekitaran koridor. Tapi melihat Pak Ireng—guru kesenian yang bertugas memukul pentungan—sudah berjalan mendekati pentungan, murid-murid akan langsung kembali ke kelas. Padahal benda itu baru akan berbunyi sepuluh menit lagi.

Sepuluh menit menuju waktu belajar, Vania tidak kunjung terlihat. Mataku masih terus mencari. Pagi menyadarinya.

“Masih mencari Vania, ya?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Dia tak mungkin keluar sekolah. Paling-paling ada di kamar mandi. Mau aku tengokkan ke sana?”

Aku menoleh. “Itu baik sekali, terima kasih. Aku akan ikut ke sana.”

Kami berjalan beriringan menyusuri koridor, menuju kamar mandi yang agak jauh dari lingkungan kelas. Kamar mandi di Tanjung Senja itu suram. Kemarin aku ke sana. Triplek-triplek berdiri menjadi dinding dua bilik toilet—satu perempuan, satu laki-laki. Dan toiletnya tidak ber-atap. Penyinaran kamar mandinya langsung dari matahari.

Sebelum mencapai kamar mandi, kami melewati UKS. Sepi, senyap, dan agak gelap; itulah ruang kesehatan sekolah kami.

Baru saja hendak berjalan melaluinya, Mekar keluar dari ruangan tersebut. Ia berjalan sedikit tergesa-gesa, seolah tidak mau berada di ruangan itu lebih lama lagi.

Aku dan Mekar nyaris bertabrakan, tapi kami berhenti tepat waktu.

“Oh, Mekar!” sapa Pagi, disertai senyum ramah.

Mekar hanya melirik Pagi sesaat, sekitar sedetik saja, lalu kembali menatapku. Ia hanya diam terus seperti itu, melihatku. Bersikap seolah aku bisa membaca isi kepalanya. Tidak semua ‘jenius' bisa melakukan telepati! Rasanya aku hendak mengatakan itu.

Tapi lalu, Mekar menunjuk pintu UKS, masih dengan mata yang menatap lurus padaku.

Aku langsung tahu, Vania ada di dalam.

Dengan segera, aku berlari. Tanpa berpikir dua kali. Meninggalkan Pagi yang kelihatan bingung.

Aku masuk ke ruang UKS dan mendapati Vania berbaring di satu-satunya ranjang yang tersedia. Vania menangkupkan tangan kirinya di atas wajah, menutup kedua matanya. Tangan kanannya memegangi perut bawah. Dari kedua pipinya mengalir setetes air mata.

Lagi-lagi datang bulan menyiksanya.

Aku langsung menghampiri Vania, menyentuh kepalanya.

Gadis itu spontan membuka mata, menatapku, dan mengernyitkan dahi semakin dalam.

“Sakit…,” keluhnya.

“Iya, aku tahu. Istirahat dulu saja di sini,” jawabku.

Vania mengangguk. “Tadi aku dibuatkan teh hangat oleh Mekar. Karena dikasih air hangat, jadi sedikit lebih baik.”

Aku tersenyum, lalu mengusap pipinya yang basah. “Syukurlah. Mau ditemani di sini?”

Dibanding menjawabku, Vania justru menyadari keberadaan Pagi. Ia melambaikan tangan pada gadis yang sedaritadi memperhatikan dari ambang pintu. Pagi membalas lambaian tangannya.

“Nggak usah. Kalian kembali ke kelas saja.” Vania berusaha mendudukkan diri, jadi aku membantunya.

“Benar kamu nggak apa-apa?” tanyaku lagi, memastikan. Aku tidak benar-benar ingin meninggalkannya di ruang kesehatan yang sepi ini. Sebelum minggat, aku berjanji akan selalu menjaganya di rumah baru kami.

Vania tersenyum dan mengangguk, tapi kemudian meringis kesakitan lagi. “Kok kamu tahu aku ada di UKS?”

“Mekar yang memberi tahu.”

“Dia bicara padamu?”

Aku menggeleng. “Aku nggak pernah tuh dengar suaranya.”

Kami berdua tertawa ringan. Pentungan tanda istirahat usai kemudian dibunyikan. Aku pun harus segera kembali ke kelas bersama Pagi dan meninggalkan Vania di UKS.

Saat itu aku bergurau.

Tidak pernah tahu kalau aku benar-benar tidak akan pernah mendengar suara Mekar sama sekali.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang