ryan - 7

38 6 2
                                    

Para penduduk tidak repot-repot menyembunyikan rasa ingin tahunya. Ketika Dak Jo menggendong jasad Mekar-yang sudah ditutupi kain milik Mak Idah-para penduduk langsung berkumpul di jalan. Tentu, tetap tidak ada yang berani bertanya pada Dak Jo. Terlebih yang meninggal adalah Mekar, anaknya. Namun mereka tetap saja berkerumun, berbisik-bisik, dan beberapa lagi sibuk meneriaki anaknya untuk tidak melihat.



Dalam proses itu, aku hanya dapat diam. Merenung, larut dalam pikiran sendiri. Aku dan Vania berdiri di teras rumah, sebab Pak Den dan Mak Idah-yang siuman lima menit setelah tiba di rumah-meminta kami untuk tidak ikut mengubur mayat Mekar. Mekar akan dimakamkan di satu-satunya pemakaman Tanjung Senja. Letaknya tujuh kilometer dari pusat desa. Jauh dari desa, jauh dari pantai. Lebih dekat ke hutan di Tanjung Senja.



Setelah sibuk memikirkan isi kepala sendiri, aku teringat bahwa Vania tidak bicara sepatah kata pun sejak kami menemukan jasad Mekar. Gadis itu pasti dalam keadaan syok berat. Aku menoleh padanya. Vania termenung. Tatapannya jatuh pada tubuh Mekar digendongan Dak Jo, yang sepenuhnya tertutup kain selain kakinya yang tak beralas, kotor, luka-luka, dan kaku.



Aku menyentuh bahu Vania.



Gadis itu enggan menatapku. Ia menunduk, kemudian air mata mengalir menuruni pipinya. Tidak sedikitpun suara dibuatnya bahkan ketika menangis.



"Malapetaka," bisiknya, begitu pelan sampai aku mengerti bahwa itu ditujukan untuk dirinya sendiri. "Malapetaka."



Air matanya kian menderas. Ia sesekali terisak. Tapi selain itu, tidak ada suara lagi yang dibuatnya. Vania kehilangan kekuatan kakinya. Gadis itu pun perlahan berjongkok dan memeluk erat kedua kakinya. Kepalanya terkulai.



Sosok Vania yang saat ini; yang menangis tanpa suara, kaki yang tidak bertenaga, yang tampak bersalah dan putus asa... adalah pemandangan terakhirku di rumah dulu. Sejak itu, aku berjanji pada diri sendiri, tidak akan membiarkannya begitu lagi.



Namun kenyataannya, Vania kembali ke situasi yang menyayat hati ini. Aku pun berjongkok di sebelahnya, kemudian memeluk erat tubuh gadis itu.



Di sela isak tangisnya, aku mendengar Vania berkata, "Kenapa kejadian tragis selalu mengikuti kita?"



Masih sambil memeluknya, aku menghela napas dan menjawab, "Sebab orang-orang terkuat akan menghadapi cobaan yang lebih besar. Kamu kuat, Vania. Kamu kuat."




***


Senja tiba. Langit kian menggelap ketika Dak Jo, Pak Den, dan Mak Idah tiba di rumah. Kami segera berkumpul, duduk melingkar di ruang tengah. Ketegangan menyelimuti ruangan itu, bersama dengan hembusan angin malam yang menyelinap lewat ventilasi. Pak Den memastikan semua jendela dan pintu tertutup rapat, sehingga tak seorang tetangga pun dapat melihat 'rapat' kami.



"Ryan," panggil Dak Jo. Dan meski ia terdengar dingin, aku menangkap kesedihan dan sedikit memohon dalam nadanya. "Apa ada hal lain yang bisa kau jelaskan mengenai Mekar?"



Untuk beberapa saat aku hanya beradu pandang dengan Dak Jo dalam diam. Kemudian aku memtuskan mengalihkan pandangan pada Vania, yang sedang menatapku putus asa. Aku menghela napas berat; entah sudah keberapa kali aku melakukannya hari ini.



"Mm, yah, menurut saya...," Aku mencoba memulai penjelasan. "Saya bukan dokter atau ahli forensik atau semacamnya. Ini hanya analisa tercepat yang bisa saya lakukan. Luka di perut Mekar adalah luka tusuk, terlihat jelas dari goresannya. Panjang lukanya nyaris sepuluh senti dan garis luka itu tidak lurus. Jadi benda tajam yang menghunusnya tidak sepanjang itu. Artinya, Mekar ditusuk beberapa kali. Melihat panjang benda yang paling memungkinkan dipakai untuk menusuk-yang mana adalah pisau dapur-Mekar mungkin ditusuk empat sampai lima kali."



Tenggorokanku terasa menebal. Melakukan analisa dan penjelasan seperti itu... benar-benar menyayat hati. Dak Jo mengusap wajahnya dengan tangan yang kasar dan kotor. Mak Idah perlahan terisak dan mulai menangis. Pak Den tak henti bergumam, "Siapa yang tega, siapa yang tega." dan Vania... tatapannya kosong.



Aku menyentuh bahu Vania, untuk melihat apa gadis itu masih mampu meresponku. Gadis itu mendongak menatapku dan matanya berapi-api. Amarah mulai menyelimutinya.



"Ada lagi...?" Dak Jo berusaha keras untuk tetap tenang.



Aku berpikir sebentar. "Mm, darah di sekitar luka Mekar nyaris benar-benar tidak ada. Artinya..., uh, artinya seseorang sudah membersihkan jasad Mekar. Kalau dipikir-pikir, luka itu terlihat seperti lubang di perut. Paling memungkinkan, seseorang membersihkannya dengan... pemutih?"



"Pemutih bisa sangat ampuh dilakukan karena menghapus jejak sidik jari di sekitar luka itu. Pelakunya mungkin membersihkannya untuk berjaga-jaga jika seseorang hendak melakukan pengecekkan sidik jari."



Mak Idah terkesiap, lalu bertanya, "Bagaimana kau dapat berkesimpulan benda-benda itu, Nak? Maksud Mak, seperti pisau dapur dan pemutih..."



"Benda itu adalah benda-benda yang paling umum yang bisa ditemukan di Tanjung Senja. Aku nggak merasa seseorang bisa menemukan pisau lipat atau pembersih kimiawi lain selain pemutih di sini, ya 'kan?"



Dak Jo lalu mengangguk pelan, masih berusaha menyembunyikan perasaannya.



"Mm," Tiba-tiba saja, akhirnya, Vania bersuara. Ia menatapku dahulu, dengan sejuta keraguan tergambar di sana. Aku mengangguk, meyakinkannya untuk mengatakan apapun yang hendak dikatakannya.



"Mekar pasti sebelumnya berusaha melarikan diri dari si pembunuh. Luka gores di kaki Mekar ada banyak, guratannya juga tidak karuan. Melihatnya, sepertinya luka itu timbul ketika Mekar berusaha berlari menembus semak liar...," jelas Vania. Ia kemudian menelan ludah, sedikit takut.



Dak Jo kembali mengangguk.



Kemudian pertanyaan Pak Den yang sebelumnya "siapa yang tega melakukannya" berubah menjadi, "Ai, Nak, siapa yang sepintar itu di Tanjung Senja yang dapat melakukan pembunuhan sebersih itu?"



Itu benar. Itu pertanyaan yang sangat benar. Siapa di Tanjung Senja-yang pola pikir penduduknya begitu sederhana ini-yang bisa membunuh dengan empat tusukan pisau dalam satu rongga sehingga sekilas terlihat seperti satu luka, membersihkannya dengan pemutih, dan dengan cermat menyembunyikan jasad?



Kemudian Dak Jo menatapku dan Vania bergantian lamat-lamat. Keningnya berkerut dalam.



"Nak, siapa? Siapa?" Mak Idah bertanya dengan tidak sabar. Ia kembali terisak. Panik menyerang pikirannya tanpa ampun.



Tentu saja. Di Tanjung Senja, yang memiliki cukup kecerdasan untuk menganalisa sebuah jasad hanya aku dan Vania. Begitu juga untuk membunuh seseorang dengan cermat. Tapi bukan kami pelakunya. Sama sekali bukan.



Aku menggeleng. Vania mulai terisak, kali ini dengan sedikit suara. Aku merangkulnya. Kemudian Vania menyandarkan diri pada pelukanku, dan menangis sedikit lebih kencang. Aku berdecak. "Aku nggak tahu sama sekali, Mak."



"Aku percaya pada kau, Ryan, Vania." Dak Jo kemudian mengatakan sesuatu yang sedikit mengejutkan. Maksudku, aku tidak berekspektasi dia mengatakan sesuatu seperti rasa percaya. Dak Jo menoleh pada Mak Idah dan berkata, "Aku percaya pada Nak kau, Dah."



Dak Jo menarik napas dalam. "Ryan, Vania, aku tahu kalian sangat cerdas. Jenius kalau bisa dibilang. Bisa kah kau menyelidiki kematian ini lah?"



Vania mengangkat kepalanya. Kami beradu pandang dalam keheningan dan sejuta keraguan. Lama waktu berlangsung berlalu dengan aku dan Vania yang saling menatap.



Kemudian aku mengangguk, menyetujui Dak Jo. Cepat atau lambat, aku dan Vania akan menjadi tersangka utama-karena tidak dipungkiri, kapasitas otak kami yang paling memungkinkan untuk menjadi pembunuh. Sebab itu, menyelidiki dan menemukan pembunuh sesungguhnya akan membantu.



"Tapi Dak Jo," Vania berusaha mendudukkan diri kembali dengan lebih tegak. "Bagaimana Dak Jo bisa tahu soal kecerdasan kami?"



Pria tua itu terdiam sebentar, kemudian menjawab, "Mekar yang memberitahuku soal kalian."

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang