vania - 8

40 7 4
                                    

Katanya, ‘Setiap orang akan berubah’. Entah ke arah yang lebih baik, maupun lebih buruk. Tapi, orang-orang juga bilang, ‘Perubahan itu butuh proses.’ Tidak ada perubahan yang terjadi dalam semalam. Dahulu, sebelum malapetaka begitu mencintaiku sampai mengikutiku kemana-mana, aku percaya bahwa setiap orang akan berubah setelah proses panjang. Namun hari ini, pandangan itu berubah.

Man Arip, pemilik satu-satunya warung kopi di Tanjung Senja adalah seorang pria kurus yang kelewat ramah. Sungguh, setelah Pak Den dan Mak Idah, Man Arip adalah penduduk paling ramah di Tanjung Senja. Dahulu waktu kami pertama kali datang dan mampir di warungnya, Man Arip tanpa berpikir dua kali justru menyuguhi kami kopi gratis.

Ai, bukan main senangnya desa ini kedatangan Nak-Nak pintar seperti kalian!” Murah senyum, murah hati pula; itulah Man Arip.

Terakhir kali aku dan Ryan mengunjungi warung kopi Man Arip adalah malam sebelum Mekar hilang; tepat seminggu yang lalu. Sejak itu, kami sibuk dengan kegiatan sekolah, sampai akhirnya tiba masa sekolah diliburkan selama sepekan karena tragedi kematian Mekar.

Baru saja kemarin kami, Pak Den, Mak Idah, dan Dak Jo mengadakan rapat kecil di ruang tengah. Aku dan Ryan—kebanyakan Ryan—menyampaikan analisa kami terhadap kematian Mekar. Hari ini, kami ingin mulai melakukan penyelidikan.

Jumlah penduduk Tanjung Senja tidak banyak. Semua adalah tersangka. Semua. Aku dan Ryan sepakat bahwa itu artinya Dak Jo, Pak Den, dan Mak Idah juga termasuk. Kami tidak bermaksud menyangsikan kejujuran mereka; tidak, tentu saja aku sangat menyukai keluargaku di sini. Tapi itu adalah standar utama penyelidikan.

Aku dan Ryan sekarang adalah kolega, partner, rekan kerja. Hanya satu sama lain yang boleh dipercaya. Tidak berbeda dari biasanya. Kami selalu hanya punya satu sama lain.

Karena sepakat seluruh penduduk adalah tersangka, aku dan Ryan memutuskan untuk melakukan sedikit penyelidikan di warung kopi Man Arip. Saat ada kabar-kabar heboh seperti ‘Pernikahan Si A' atau ‘Si B telah meninggal’, warga biasanya berkumpul di warung kopi itu, sehingga ramai sekali. Mereka berkumpul dan bertukar informasi. Tidak benar-benar bergosip, informasinya hanya sesederhana apakah kabar orang yang dibicarakan baik-baik saja, apa proses acara lancar, apakah semuanya sehat.

Namun, keramaian tetaplah keramaian. Informasi sekecil apapun bisa berguna jika mendengarkan sebuah pembicaraan dengan saksama.

Maka, aku dan Ryan pergi menuju warung Man Arip.

Warung itu tidak jauh dari rumah kami, sekitar satu kilometer. Kami mulai terbiasa berjalan kaki.

Benar saja, setibanya di sana, warung ramai bukan main. Bising dan huru-hara memenuhi warung yang temboknya dibuat dari anyaman kuat. Bangku-bangku kayu panjang dipenuhi orang-orang; kebanyakan laki-laki. Gelas-gelas yang penuh maupun kosong berjajar di atas meja-meja kayu yang dilapisi dengan taplak plastik. Harum kopi hitam semerbak di penjuru kedai tersebut. Dua kipas angin yang dipasang di warung tidak membuat asap-asap rokok pergi. Sumpek dan panas; dua kata yang mewakili Warung Kopi Man Arip. Tapi, di sana, kekeluargaan dan kehangatan juga terasa pekat.

Aku dan Ryan melangkah masuk. Nyaris seluruh penghuni warung menoleh pada kami. Beberapa masih sambil berbicara, beberapa bahkan menghentikan percakapannya demi memandangi kami.

Biasanya, tatapan itu akan menggambarkan keramah-tamahan, sebab akan disusul oleh sapaan. Namun kali ini, entah kenapa, tatapan mereka membuat canggung. Mata mereka menyiratkan keasingan, seolah alien baru saja memasuki ruangan.

Hanya ada satu meja kosong, yang letaknya di pojok ruangan. Dekat dengan meja kasir; tempat Man Arip dan istrinya berdiri, menerima pesanan, uang, juga mencatat hutang para pelanggan.

Meja itu belum dibersihkan. Gelas bekas kopi hitam dan piring dengan sisa gorengan masih berada di atasnya. Namun, alih-alih menunggu Man Arip membersihkannya, kami langsung duduk saja. Yakin bahwa pria itu akan menghampiri kami, membersihkan meja sambil menawarkan kopi. Tak tahu bahwa kami sangatlah keliru.

Lima menit di sana, Man Arip belum juga menghampiri kami. Aku mengira ia sibuk mencatat bon-bon hutang. Namun saat aku melihatnya, aku menangkap pria itu mencuri pandang padaku dan Ryan. Ia tahu kami hendak memanggilnya.

“Ryan?” ucapku, masih sambil memandangi Man Arip dan istrinya. “Man Arip… nggak ke sini. Padahal dia lihat kita?”

Saat aku mengalihkan wajahku pada Ryan, aku menangkap tatapannya serius. Sangat serius. Terlalu serius. Matanya terfokus pada keseluruhan ruangan warung. Sesekali pandangannya lompat dari satu meja ke meja lain.

Aku mengikuti arah pandangannya, hanya untuk menyadari betapa besar malapetaka yang menimpa kami.

Satu-per-satu pelanggan pulang. Beberapa keluar tanpa suara, beberapa sambil sedikit berbisik pada satu-sama-lain. Beberapa bahkan secara terang-terangan keluar sambil memandangi kami.

Celaka.

Mereka keluar satu-per-satu, mengosongkan warung. Seolah seseorang sedang menyisir area tersebut. Ketika warung kosong sepenuhnya, dengan istri Man Arip yang keluar paling akhir, barulah Man Arip mendatangi kami.

Ia melangkah pelan tapi pasti. Mataku dengan jeli menangkap tangan pria itu gemetaran, sekalipun ia berupaya menutupinya dengan mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

Ahem,” Man Arip tiba di hadapan kami, menyisakan tiga langkah dari meja. “Mm, warung tutup.”

“Apa?” balasku tidak percaya, sedikit lebih ketus dari yang aku maksudkan.

“W-warungnya tutup,” ulang Man Arip, agak gentar.

“Barusan saja warung ini ramai se—” Baru saja mau protes, Ryan menyentuh lembut tanganku yang terkepal di atas meja. Aku tahu Ryan hendak mengatakan sesuatu, jadi aku diam.

“Baik. Man Arip, kami pamit.” Ryan melempar seutas senyum yang dilembut-lembutkan, kemudian menggandeng tanganku dan berkalan keluar.

Di luar, aku berdecak terus-terusan. Lalu mengumpat, marah-marah, dan bingung. Aku bertanya-tanya kenapa Man Arip bersikap demikian. Kenapa para warga bersikap demikian. Padahal, aku tahu jawabannya. Namun aku menyangkal. Sampai Ryan memutuskan untuk menyampaikan kenyataan itu secara verbal.

Resmi sudah.

“Bagi kita, semua warga adalah tersangka. Bagi semua warga, kita adalah tersangka,” tutur Ryan.

Aku dan Ryan yang kemarin di mata warga dianggap sebagai duo jenius nan rupawan, mulai hari ini dipandang sebagai kriminal.

Deadly DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang