Chapter 3

93 6 0
                                    

Hari ini adalah hari yang selalu aku tunggu, jum'at. Karena setiap kali para murid muslim pria pergi jum'atan, aku juga selalu mendengarkan khutbah jum'at. Bukan masuk ke masjid atau menunggu diluar tapi menyuruh Diza untuk membawa ponsel dan menelpon jadi aku mendengarkan di kamar menggunakan earphone.

Kemarin malam Mama menelpon katanya 'Darrel! Mama dipanggil lagi sama Pak Nandar'. Aku tau Mama kesal, jadi kujawab saja 'Ya Mama tinggal tolak lah, bilang ke Pak Nandar kalo Mama setia sama Papa'.  Aku mendengar Mama berteriak kesal. Itu sih sudah biasa.

Jadi hari ini Mama datang ke sekolah. Aku dan Mama duduk di ruang BK. Semua guru sampai kenal dengan Mamaku saking seringnya Mama datang ke sekolah.

"Saya tidak tau lagi bagaimana cara mendisiplinkan anak Ibu" Nada bicara Pak Nandar terdengar pasrah.

Mama juga terlihat pasrah. "Maaf Pak. Darrel memang seperti itu, masih ingin bebas"

Baru kali ini aku melihat Mama sangat pasrah akan sikapku. "Gini deh Pak" Mama dan Pak Nandar melihat ke arahku. "Dalam waktu dekat ini, saya gak akan balapan lagi. Tapi bukan berarti saya gak bakal kabur buat balapan lagi, gimana?" Tawaran yang lumayan baik kan.

"Itu sama saja. Kami disini ingin kamu berhenti balapan bukan menunda balapan" Mungkin menurut Pak Nandar ini bukan tawaran yang cukup baik.

Setelah berdebat sekitar setengah jam akhirnya aku dan Mama keluar dari ruang BK. keputusannya adalah 'Kalo kamu balapan lagi. Mama bakalan kirim kamu ke singapur' karna tak ingin dikirim ke singapur akhirnya aku menurut saja.

"Ingat pesan Mama. Jangan macam-macam" Setelah mengatakan itu Mama masuk kedalam mobil.

Sial, aku tak bisa balapan.

Balapan itu sudah seperti duniaku. Dulu aku juga pernah mencoba berhenti balapan tapi percuma saja, seperti ada dorongan kuat agar aku selalu ikut balapan. Motorku juga pernah disita Mama karena aku sempat kecelakaan sampai masuk rumah sakit saat balapan. Tapi itu bukan halangan, aku tetap balapan menggunakan motor Geo. Akhirnya Mama mengembalikkan motorku dengan syarat jika aku ingin memakai motor harus izin pada Mama. Beruntung selama sebulan itu Mama mendapat telpon dari nenek agar datang ke singapur. Akhirnya aku kembali bebas menggunakan motor.

"Bwahaha gila jadi lo gak bakal balapan lagi?" Sialan si Dimas, temennya sedih dia malah ketawa kenceng bat lagi.

"Anjir lo ngetawain gue" Ingin rasanya menjebloskan wajah Dimas kedalam sumur.

"Lo sih gak kapok. Ya terima aja kali daripada lo harus ke singapur" Doni emang seadanya kalo ngomong. Saking seadanya pengen gue masukin itu mulut pake sambel.

"Gue sih mendingan di suruh ke jakarta daripada ke singapur" Seenggaknya di Jakarta masih ada partner balapannya, Alfon.

"Percuma lah lo tetep balapan. Kalo di singapur kan lo gak ada partner bwahahaha" sumpah kesel bat sama si Dimas. Akhirnya aku memasukan bakso yang ada di mangkuk Diza ke dalam mulut Dimas.

Nah kan keselek "sialan lo Rel"

Aku, Diza dan Doni hanya mentertawakan Dimas yang keselek bakso.

"Ekhm permisi" Aku menoleh ke belakang. Melihat Yasmin sudah berdiri disana.

"Eh yas kenapa?" Aku berdiri menghadap ke arahnya.

"Tugas kemarin makasih ya. Juga bukunya" Aku menggaruk tengkukku malu. "Iya sama-sama. Bukunya udah beres dibaca?"

"Udah dari dua bulan yang lalu"

"Hah?"

"Aku udah baca bukunya. Tapi gapapa udah aku baca ulang kok kemarin" Aku tertawa mendengarnya. Ngapain ngasih buku kalo udah dibaca, sial salah buku.

Sebatas Harapan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang