Book two of Death Game Series; Death or Death?
Sosok mengerikan itu kembali, membawa mimpi buruk yang tiada akhir. Pilihan satu-satunya hanyalah mati, atau mereka akan tetap dikelilingi oleh rasa takut yang begitu menyesakkan dada.
Kini amarah Ryujin benar-benar telah mencapai puncaknya. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin gadis dalam monitor itu kini telah tergeletak tak bernyawa. Sayangnya itu semua mustahil. Karena Somyi masih terkikik geli di sana, terlihat begitu senang melihat teman-temannya yang menderita.
Han, Jeno, Haechan, Jinyoung, Renjun, Felix, dan Jaemin pun tak kalah marahnya dari Ryujin. Mereka benar-benar tak menyangka bahwa Ahn Somyi adalah dalang dari semua ini.
Ini diluar pikiran mereka. Ternyata teman yang selalu ada di samping mereka selama ini adalah dalang dari semuanya. Mereka bahkan tidak menyadari saat Somyi mulai bertingkah aneh, begitupula saat Somyi merasa tidak nyaman akan keberadaan Ryujin.
"T-terus yang Ryujin bawa itu siapa?" Felix tergagap, mencoba nyadari dirinya sendiri dari ketakutan tersebut.
"Oh? Anak buah Satan." Somyi memutar-mutar kursinya, sesaat terkikik mengingat betapa bodohnya Shin Ryujin yang malah membawa anak buah dari Satan. "Bukannya lo juga ketemu sama dia, Ryujin? Kalian saling tatap malah."
Ryujin mengerutkan keningnya. "Dia? Tapi dia ada di luar jendela waktu suara gedoran pintu kedenger."
"Lo pikir Satan cuma punya satu anak buah?"
Sialan!
Ryujin merasa benar-benar bodoh. Ia baru saja mengingat bahwa Satan memiliki bawahan yang jumlahnya berpuluhan ribu. Bahkan kasus yang selama ini ia tangani adalah kasus yang selalu dilakukan oleh bawahannya.
Bodoh, idiot. Ryujin mengumpat dalam hatinya, benar-benar merutuki kebodohannya.
"Oh iya, ada satu lagi hadiah buat kalian."
Layar tersebut tiba-tiba menghitam. Di detik berikutnya kembali menunjukkan gambar dimana Hwang Hyunjin duduk terikat di sebuah lemari kaca besar dengan air yang mengalir sedikit deras dari sebuah selang
Ryujin menggertakkan giginya. Ruangan itu, Hyunjin pasti di sana. Mengingat Ryujin mendengar suara tetesan air dari ruangan tersebut. Ryujin kembali mengumpat. Seharusnya ia memeriksa ruangan tersebut terlebih dahulu sebelum mengikuti Siyeon ke ruangan ini.
Lihatlah, karena kebodohannya, air dalam lemari kaca itu telah sampai pada tumit sang pemuda.
"Hehe, gemes banget liat kalian putus asa kayak gini." Somyi yang masih ada dibalik layar terkekeh melihat keputusasaan yang tercetak jelas pada wajah semuanya. "Mau selamatin Hyunjin, kan?"
"Kalau gitu, ayo main sebuah permainan." Gadis itu memutar pelan kursinya seraya bermain dengan gunting yang sedari tadi ia genggam.
"Permainannya gampang kok. Kalian tinggal mainin permainan Dare or Dare aja. Kalau kalian gak bisa ngelaksanain Dare nya, air yang ada di lemari kaca itu bakalan bertabah makin cepet."
Ini jebakan, Ryujin tahu itu. Somyi akan memberikan sebuah tantangan yang tidak mungkin bisa dilakukan. Seperti memberikan sebuah tantangan yang bisa merenggut nyawa si pemain sendiri.
Lampu tiba-tiba menyala di atas Haechan, memberikan tanda bahwa pemain yang akan melakukan pertama kali adalah pemuda itu. Haechan sendiri tentu berkeringat dingin. Ia tentu masih memiliki akal sehat untuk mengorbankan temannya. Namun dilain sisi, ia juga tidak tahu apakah ia akan selamat dalam permainan ini atau tidak.
"Gue kasih lo tantangan lempar pisau. Lo harus ngenain apel yang ada di atas kepala seseorang. Gue kasih tiga kesempatan. Kalau ketiga lemparannya meleset, air di lemari kaca itu bakalan nambah dengam cepet."
Somyi menatap datar ke arah Haechan. "Lakuin dengan mata yang ditutup kain. Pilih orang yang bakalan dijadiin penyangga apel itu."
Semuanya ikut menegang.
Demi apapun. Bagaimana mungkin bisa mengenai apel itu dengam kedua mata yang tertutup? Yang lebih parah, mungkin pisau itu malah akan melukai orang yang menjadi penyangga apel tersebut.
Haechan memandang ragu teman-temannya. Ia tidak yakin akan melakukan ini. Terutama ia harus mengorbankan 2 orang temannya yang lain.
"Lo bisa." Jaemin mengusap punggung Haechan, memberikannya sebuah ketenangan dan semangat.
"Gue yang bakal jadi penyangga apelnya." Jinyoung membuka suara. Ia mengambil sebuah apel, pisau, dan penutup mata yang telah di sediakan. Pemuda itu memberikan pisau dan penutup mata tersebut pada Haechan, sebelum akhirnya berdiri di depan sebuah papan putih yang lagi-lagi telah disediakan.
Sebenarnya Jinyoung tak mau melakukan ini. Ia pribadi masih ingin hidup. Namun jika bukan dia yang melakukannya, siapa lagi? Melihat tak ada siapapun yang mencoba untuk mengambil posisi itu.
Renjun membantu Haechan menutup matanya, serta menuntun pemuda itu hingga menghadap ke arah Jinyoung.
"Lo bisa, demi Hyunjin."
Haechan mengangguk paham.
Ia bisa.
Ia harus bisa.
Keadaan memaksanya harus bisa melakukan ini.
Tak!
Lemparan pertama gagal, menembus papan tepat di samping wajah Jinyoung.
Tak!
"AHK!"
Satu lemparan gagal, menggores pundak Jinyoung, membuat Haechan semakin berkeringat dingin.
TAK!
Gotcha!
Haechan berhasil mengenai apel yang ada di atas kepala Jinyoung, tanpa harus membunuh pemuda itu. Walaupun tadi pada lemparan kedua kepercayaan dirinya menurun karena mendengar pekikan nyaring dari pemuda tersebut.
Namun entah kenapa, saat ia ingin melemparkan pisau terakhir, seakan ada seseorang yang berbisik padanya. Dan detik berikutnya, matanya seperti mampu melihat letak apel beserta Jinyoung yang tampak menahan rasa takutnya.
Mungkin hanya insting Haechan, tapi setidaknya itu bisa menyelamatkan dirinya, Jinyoung, dan Hyunjin.
"Bagus juga."
Kemudian lampu kembali menyala di atas Felix.
Giliran dia sekarang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.