08 | Ujian

15 2 0
                                    

halo dari Malang! hehehe, aku lagi di Malang nih. ada arek Malang?

seperti biasa ya, read-vote-comment. bantuin benerin typo akan sangat diapresiasi.

enjoy!


---


Sudah seminggu ini Garin selalu datang ke rumah Val untuk membimbingnya belajar. Tentu saja, dengan kesinisan yang merajalela. Tidak ketinggalan kata-kata sarkastik yang keluar dari mulut Garin dan membuat telinga Val kepanasan.

Garin betul-betul jenius. Dia bahkan membuat soal sendiri untuk Val kerjakan, yang tanpa mencontek buku mana pun langsung ditulisnya sendiri di tempat. Tujuannya untuk memberi pengayaan bagi Val agar gadis itu semakin terbiasa dengan soal-soal yang rumit sekalipun—ya, Garin tanpa ampun "menghajar" Val dengan soal-soal yang rumitnya bikin pengin muntah.

Ritme pengajaran Garin juga cepat, sehingga meski Val sudah cerdas tetap saja sedikit kewalahan dalam menyamakan kecepatan kerja otaknya dengan kerja otak Garin. Bahkan Val jadi merasa bahwa semua tes IQ yang pernah dijalaninya hanya suatu kebohongan besar dengan mengatakan dirinya cerdas. Nyatanya, dia jadi berpikir bahwa dirinya bodoh begitu berhadapan dengan Garin.

"Kamu kalau nggak terbiasa dengan soal-soal macam ini, gimana caranya kamu mau masuk kedokteran?" sungut Garin. "Apalagi biologi. Kamu tahu sendiri kan, kalau dunia kedokteran erat banget dengan biologi. Tapi kamu hopeless banget di mata pelajaran paling gampang ini."

Paling gampang! Val bertukas kesal dalam hati. Justru biologi adalah bidang yang paling tidak dia kuasai di antara semua mata pelajaran IPA. Kimia dan Fisika masih ada hitungannya, tetapi biologi... astaga. Itu adalah mengapa dia tidak memilih IPS: benci banget menghafalkan teks.

"Ya maaf sih Kak, kalau aku bodoh banget," balas Val ketus. Matanya melirik tajam calon kakak tirinya, yang cuma manyun mendengar jawaban Val.

"Kalau kamu sudah tahu kemampuanmu di mana, kenapa masih maksa pengin masuk kedokteran?" tanya Garin mulai serius, tapi nadanya masih saja sarkastik. "Aku tahu kamu ini pintar, cerdas. Tapi keahlian tiap orang bisa beda-beda meskipun IQ-nya sama. Kalau kamu lebih bagus di kimia atau fisika, kenapa nggak ke teknik aja?"

Val menggeleng. "Nggak, lah. Bunda nyuruhnya aku ke kedokteran aja. Jadi ya... aku harus masuk kedokteran."

Jawaban itu membungkam Garin, sementara Val kembali mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh cowok itu. Garin mengamati Val dengan alis nyureng dan tangan terlipat di depan dada. Bahunya naik. Tatapannya makin tidak bersahabat.

"Berhenti," titah Garin.

Val mendongak. "Gimana?"

"Berhenti ngerjain," Garin memperjelas.

Gadis itu pun melakukan sesuai titah Garin. Agar lebih afdol, Val bahkan meletakkan pensil yang dia genggam. Melihat aura "bahaya" menguar dari diri Garin, Val meningkatkan level waspadanya dan sudah mengambil kuda-kuda untuk berlari ke bawah dan mengadukan kepada Bunda tentang apapun yang mungkin akan Garin lakukan nanti.

Tapi, Garin masih diam. Mulutnya masih terkatup dan tubuhnya juga tetap bergeming di tempatnya. Tatapan Garin menyiratkan ketidaksukaan, namun Val tidak tahu pasti apa yang tidak Garin sukai dari dirinya. Oke, dia memang anak dari wanita yang akan menikahi ayahnya dan Garin cukup jelas menunjukkan penolakannya. Tetapi kali ini, Val menduga bukan itu masalah utamanya.

"Aku nggak tahu harus bilang apa saking kesalnya dengar jawabanmu tadi," ujar Garin akhirnya.

"Jawaban?" ulang Val tidak paham.

Lady LuckWhere stories live. Discover now