07 | Teri

23 2 0
                                    

ciyeee yang update nya gasik banget wkwkwk

halo! selamat iduladha bagi kamu yang merayakan ya! /0/ \0\

apa kabar? aku sedang sibuk-sibuknya, tapi justru kesibukan itu malah memberikan aku waktu untuk nerusin Lady Luck. alhamdulillah ya, sesuatu :3

seperti biasa, read, vote, dan comment ya. jangan lupa bantuin benerin typo, mana tau mata dan jariku sliwer kan hehehe

eh terima kasih lho ya sudah dapat 5 vote! hai kamu, thank you!

enjoy the chapter~


---


Bunda memasuki rumahnya dengan langkah penuh keraguan, sehingga langkahnya lebih lambat daripada pelan. Ia menapaki anak tangga satu per satu sambil berdoa agar dirinya diberkahi dengan kekuatan yang lebih untuk menghadapi lidah tajam Garin. Jika dirinya salah bicara sedikit saja, tentu Garin akan menyerangnya dan membuat mentalnya jatuh. Kalau mentalnya jatuh, bagaimana dia dapat menghadapi pasiennya nanti?

Sayup-sayup terdengar suara putrinya, Val, sedang berbicara dengan suara yang Bunda kenal sebagai suara Garin. Namun, ada yang aneh dengan suara Garin. Bukan, bukan suara yang seperti serak atau yang mengindikasikan keadaan yang tidak sehat, tetapi... nadanya. Nada bicara Garin tidak seperti yang biasa Bunda dengar; penuh amarah dan selalu terdengar ketus. Kadang-kadang nyelekit, malah. Tapi ini... seperti seorang kakak yang mengayomi adiknya, yang terkesan sangat sabar dan perhatian...

"Bunda?"

Lamunan Bunda buyar seketika begitu Val memanggilnya. Beliau mendongak, dan melihat Val serta Garin sedang berada di ruang tengah bersama buku-buku dan alat tulis yang berserakan di atas meja. Mereka sendiri duduk lesehan.

"Oh, ada... tamu, rupanya," Bunda berbasa-basi.

Garin tidak menyahut, namun mengangguk sekali untuk memberi salam. Selebihnya, dia kembali tenggelam dalam buku yang sedang dipegangnya. Bunda jadi makin gugup melihat sikap Garin yang masih tidak bersahabat itu. Garin memberi salam kepadanya pun pasti hanya karena Bunda merupakan pemilik rumah tersebut, bukan sebagai sikap yang sukarela ditunjukkannya.

Val pun beranjak dari tempatnya duduk. "Kak, sebentar ya, saya siapin makan siang buat Bunda dulu."

Garin menatap Val selama beberapa detik sebelum mengangguk memberikan izin bagi gadis itu.

"Bun, aku tadi masak tumis kangkung," ujar Val santai seraya melenggang ke meja makan yang letaknya jadi satu dengan dapur. "Tadi pagi tukang sayurnya tumben banget bawa kangkung yang bagus-bagus."

Bunda baru sadar jika dirinya masih berdiri di anak tangga kedua teratas. Kehadiran Garin benar-benar membuatnya gugup sehingga tidak menyadari posisi berdirinya. Segera beliau menapaki anak tangga terakhir dan mengikuti Val ke dapur.

"Val, itu..." Bunda mulai berbisik begitu beliau sudah berdiri di samping putrinya. Beliau menunjuk ke arah Garin dengan dagunya.

Val menoleh sedikit dan tersenyum. "Ah, Kak Garin? Iya, mulai hari ini dia jadi tutor Val untuk persiapan ujian mandiri masuk universitas."

"Ujian mandiri? Katanya kamu mau ambil SBMPTN tahun depan?" tanya Bunda dengan kening berkerut.

"Iya, Bun. Yang ini sih Val mau coba. Siapa tahu rezeki."

Bunda manggut-manggut. "Aamiin. Eh tapi... gimana caranya kamu membujuk Garin untuk jadi tutormu?"

Val mengembuskan nafas panjang sembari mengisi piring dengan nasi dari rice cooker. "Ceritanya panjang," ujarnya, "tapi let's say... Val bikin pepes ikan patin yang bikin dia luluh."

Lady LuckWhere stories live. Discover now