jumpa lagi di hari minggu!
gilaaa udah agustus aja. bulan agustus di jogja kayaknya jadi bulan literasi banget deh, di mana ada Big Bad Wolf dan nantinya akan ada Festival Mocosik. assik assik~
tapi dompetnya yang menangis wkwkwk
seperti biasa ya, read, vote, comment, dan bantuin benerin typo ^^
enjoy!
---
Val resah. Sedari tadi ia mengintip ke luar jendela, memeriksa apakah orang yang ditunggunya sudah datang. Tapi, orang tersebut belum muncul juga. Selain itu, ia juga selalu melirik jam dinding yang ternyata telah menunjukkan pukul setengah tiga siang.
Garin bilang bahwa ia akan datang sekitar pukul dua. Tapi, ini bahkan sudah setengah jam lebih dari waktu yang dijanjikannya. Jika ingin menuruti watak Garin, seharusnya Val paham bahwa ini adalah tanda bahwa cowok itu belum dapat ditaklukkan. Ini adalah cara Garin memberitahu Val bahwa ia tidak mau menjadi tutor—tidak mau menjadi "keluarga".
Namun, entah mengapa pikiran bahwa Garin hanya terlambat dan bukannya tidak datang menguat dari waktu ke waktu. Justru itulah yang membuatnya resah dan tak berhenti melihat ke luar jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia juga khawatir jika misalnya Garin memang benar-benar terlambat, nanti dia datang ketika Bunda sudah mulai praktik di rumah. Bukannya gimana, tapi Garin itu ganteng—Val sebal harus mengakuinya, tapi memang begitulah kenyataannya—dan bagaimana kalau nanti para ibu hamil jadi lupa dengan suaminya masing-masing?
Bercanda. Val lebih takut kalau Bunda tidak bisa konsentrasi karena kehadiran Garin. Val sangat paham jika Bunda masih sedikit tidak nyaman, cenderung takut malah, terhadap Garin. Sampai hari ini pun, Garin belum merestui hubungan antara Bunda dan Om Fauzan. Ketika makan malam bersama contohnya, di mana Garin seakan sangat senang merendahkan Bunda. Val tidak akan melupakan betapa marahnya Om Fauzan kala itu.
"Segitu putus asanya kamu, tiap tiga puluh detik sekali nengok ke bawah?"
Val terlonjak dari tempatnya berdiri begitu mendengar suara cempreng yang sekarang jadi sangat familiar di telinganya. Kening Val sampai hampir terantuk teralis besi jendela. Sembari memaki pelan, gadis itu menoleh dengan tatapan nyalang. "Bikin kaget aja!"
"Halah, lebai! Biasa aja kali!" balas Nana dengan berkacak pinggang. Tapi, tampang marahnya langsung digantikan dengan tampang tengil dan senyum miring—khas Nana. "Tapi memang, kalau kamu nggak bisa meyakinkan Garin untuk ngajarin kamu, berarti kamu kehilangan kesempatan untuk masuk fakultas kedokteran. Setidaknya untuk tahun ini."
Hati Val panik. "Beneran?"
Nana mengangguk. "Aku tahu kamu juga cerdas. Tapi Garin itu jenius. Jadi, dia memang orang yang cocok untuk menjadi tutor kamu. Asal kamu tahu, waktu Garin masih SMA, justru dia yang ngajarin teman-temannya untuk persiapan ujian nasional. Sampai buka kelas sendiri sepulang sekolah. Tapi kelas tambahan itu legal dan disupervisi sama gurunya langsung, sih."
Dan di situlah perasaan Val mulai kacau. Ia mulai cemas jika Garin benar-benar tidak akan datang. Kesempatannya untuk masuk fakultas kedokteran bisa saja hilang, yang artinya harapan untuk menjadi dokter juga pupus. Apa kata Bunda jika Val gagal lagi dalam ujian mandiri universitas tersebut?
Mungkin nanti tidak akan ada piihan lain. Val harus bisa belajar sendiri. Bisa minta Bunda memanggilkan tutor privat untuknya, tentu saja yang nggak rese seperti Garin.
Tapi, ada satu hal yang mengganggunya.
"Aku selalu kagum dengan caramu tahu segala hal," komentar Val. "Titisan para dewa?"
YOU ARE READING
Lady Luck
Fiksi UmumWill be updated every Sunday (hopefully) Start: June 30th 2019 -------------------------------------------- Pemberitahuan dari Bunda yang hendak menikah lagi membuat pikiran Val kacau. Akibatnya, Val kehilangan kesempatan untuk memasuki universitas...