(3) Danau

47 11 1
                                    

'Senja'

Seperti biasa, hari ini Senja akan kembali ke tempat itu, kembali untuk menemukan kejelasan dan jawaban, ia harap hari ini akan menemukan Ayahnya, lalu memeluk erat tubuh Ayahnya yang selama lima tahun ini ia tunggu kehadirannya.

Senja memakai rok biru donker selutut, dengan kaus hitam bertuliskan 'Fake smile', kali ini ia tidak memakai kerudung yang biasa ia pakai untuk menutupi kepalanya dan wajahnya, ia biarkan wajahnya itu mendapatkan kehangatan Senja yang akan datang menyapanya.

Ia duduk di kursi itu, Senja menghembuskan nafasnya lelah, "Ayah, Senja hari ini sudah masuk SMA, sesuai perkataan Ayah, Senja selalu jaga diri baik-baik di sini, Ayah apa kabar?, Senja rindu Ayah. Senja harap Ayah kembali dan menemani Bunda, menemani Senja, melengkapi kehangatan keluarga kita." Ucapnya lirih.

"Andaikan Ayah gak pergi waktu itu, mungkin Ayah masih tetap di sini, memberikan pelukan yang hangat pada Senja, menasehati Senja saat Senja ada masalah, jujur. Senja rindu Ayah." Air mata itu tumpah kembali, dengan cepat-cepat ia menyeka air matanya, Ayahnya pasti akan ikut bersedih juga jika ia menangisinya.

Senja menatap air Danau itu dengan tatapan mata yang kosong, haruskah ia menerima semuanya setelah bertahun-tahun ia menanti kedatangan Ayahnya di sini?.

Sedang di balik pohon yang besar itu, lelaki iti terus saja memerhatikannya, seperti hari-hari kemarin, dia akan mengintip Senja dengan rasa penasarannya.

Ia penasaran dengan gadis mungil yang sedang duduk itu, seringkali ia memergoki gadis itu dalam keadaan menangis, melihat bahu gadis itu bergetar. Tapi ia tak bisa melakukan apapun, dia baru saja melihatnya, dan tidak mengenalnya.

Senja sudah menampakan wajahnya di upuk barat sana, warna jingganya bersinat hangat, cukup lama juga lelaki itu mengagumi keindahan warnanya, lalu ia mengalihkan pandangannya ke depan, ke kursi yang tadi diduduki oleh gadis itu, tapi kursi itu sudah kosong.

Dengan lesu ia berbalik, lalu dengan refleks ia mundur satu langkah ke belakang, dengan mata yang melotot, mulut menganga lebarnya.

"Ka_ kamu?." Senja menunjuk wajah lelaki itu dengan telunjuknya.

Dengan cepat pula Lelaki itu mengubah ekspresi wajahnya yang tadi kaget, dia menegakkan badannya, menatap Senja dengan tatapan dinginnya.

"Iya ini gue, lagi ngapain lo di sana?."

Senja menaikkan alisnya, lalu ia mendecak kesal, ia berbalik meninggalkan lelaki itu tanpa mau menjawabnya.

"Dasar adik kelas gak sopan." Teriaknya.

Senja menghentikan langkahnya, lalu ia menghembuskan nafasnya kasar.

"Gak perlu saya jawab, gak ada gunanya kan?."

Lalu Senja meninggalkan dirinya seorang diri di Danau itu, dengan perasaan dongkol ia berjalan mengikuti Senja yang menghampiri sepedanya.

"Woy, jawab pertanyaan gue." Ucap lelaki itu di depan Senja, dengan jarak lima langkah darinya, Senja menatap lelaki itu sebentar.

"Apa urusannya sama lo?."

Lelaki itu terdiam tak bisa menjawab apapun pertanyaan dari Senja, akhirnya ia menjawab lagi dengan lantang.

"Karena lo itu spesial di hidup gue."

Senja melihatnya dengan tatapan tak percaya, Senja mengedikkan bahunya acuh, lalu menaiki sepedanya, menatap lelaki itu sebentar, lalu menaikan standard sepedanya.

"Saya pulang duluan."

Senja meninggalkan lelaki itu, dengan perasaan dongkol pula lelaki itu menendang setiap kerikil yang ia pijaki di tanah kering.

Dia tadi sempat memerhatikan lutut Senja, ada plester di sana, dia merasa kasihan juga karena itu ulahnya, tapi ia juga punya kegengsian yang tinggi untuk menjaga martabatnya.

____

Senja menyalami tangan Bundanya, lalu ia didik di samping Bundanya, menghembuskan nafas dengan kasar, ia menyandarkan kepalanya di bahu sang Bunda.

Bundanya memerhatikan Senja dengan seksama, lalu mengusap bahu Senja yang gemetar, Bundanya tahu pasti Senja akan menangis kembali seperti biasa.

Terdengar isakan pilu dari mulutnya, Senja tak dapat membendung air matanya lagi, jika di dekat Bundanya, ia tak bisa sedikitpun membohongi perasaannya sendiri, ia akan membukanya di depan sang Bunda.

"Senja sayang, kamu jangan terus turutin kemauan kamu, kamu harus percaya." Lirih Bundanya.

Senja menggeleng, lalu menatap mata Bundanya yang juga sedang menatapnya dengan tatapan lembut.

"Senja masih inget janji Ayah Bun, gak mungkin Ayah khianatin janji itu gitu aja, Senja yakin. Ayah pasti bakalan pulang dan temuin Senja, temuin Bunda buat menyatukan kembali keluarga kita." Senja menyeka air matanya kasar, dengan muka datarnya ia beranjak, lalu menaiki satu persatu tangga untuk ke kamarnya.

Bundanya hanya bisa tersenyum miris, harus apalagi yang ia lakukan agar Senja mau menerima Ayahnya yang telah tiada?.

Sedangkan di dalam kamarnya, Senja meredam tangisnya di bawah bantal, ia takut jika Bundanya memarahinya jika terus menangisi Ayahnya, Senja tidak bisa menerima itu, ia masih mempercayai janji Ayahnya sampai saat ini, ia yakin Ayahnya pasti masih hidup.

Dengan bahu yang bergetar, ia meraih handphonenya di atas nakas, ada yang menelponnya.

Dengan malas ia mendudukkan badannya, lalu menyeka air matanya, menghembuskan nafas pelan agar tidak ada suara yang aneh menurutnya.

'Dinda's calling'

"Ha_ halo Din?."

Di seberang sana Dinda sedang terdiam mendengar suara Senja yang terlihat berbeda, walaupun mereka baru kenal, tapi mereka seperti sudah kenal lama, karena sikap Dinda yang welcome ditambah Senja juga, mereka akhirnya tambah akrab seperti teman lama.

"Oh iya Nja, lo tahu gak besok kita suruh bawa apa? Tadi gue gak merhatiin kakak OSIS pas kasih pengumuman."

"Khem, besok harus bawa tas terbuat dari pelastik kresek, topi dari kertas karton, rambut juga diiket pake pita warna warni, oh iya, jangan lupa juga name tag nama kita."

"Cuma itu, ada lagi gak?."

"Jangan lupa bawa dot, emang yah itu kakak OSIS bikin resek, emang kita bayi apa suruh bawa dot bayi." Gerutu Senja kesal.

Dinda juga ikut terkekeh di sana, pasalnya OSIS itu memberikan perintah yang amat parah pada mereka, membawa dot bayi yang katanya harus dibuat kalung.

"Iya Nja, udah dulu yaaa, mama gue manggil, thanks ya udah kasih tau gue, see you tomorrow my best friend."

"Iya Din, you're Wellcome."

"Bye."

"Bye Din."

Senja menatap handphonenya sebentar, lalu mengecek satu persatu notif di handphonenya, banyak sekali temannya yang mengechat, tanpa minat membalas, ia meletakkan kembali handphone itu di atas nakas.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 ia segera bangkit dari kasurnya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim, yaitu sholat Maghrib.

Ia memasukki kamar mandinya, alangkah terkejutnya ia saat melihat bayangan seseorang di kaca kamar mandinya, dilihatnya seorang gadis dengan rambut acak-acakan, mata yang sembap, ditambah ingus yang keluar dari hidungnya, ia bergidik ngeri melihat bayangannya sendiri di kaca.

"Gue burik banget ya ampun." Gumamnya geli.

Sunshine [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang