Tiga

21 3 0
                                    

#Part Tiga

Sasya benar-benar membenci pekerjaan ini. Kalo bukan karna Bunda-nya yang memaksa, mana mau dia menjadi seorang model. Butik milik Bunda-nya cukup terkenal. Desainer yang umurnya tak lagi muda itu membunyai butik dimana-mana.

Sasya mengambil baju gantinya, dia tak mau memakai rok mini yang tadi dipakainya, dia ingin mengenderai motor merahnya. Tinggal menelfon Papa-nya, maka motor merahnya yang masih berada di gedung akan segera diantar.

"Hallo pa?" sapanya. Dave membalas di seberang sana. Terkekeh saat mendengar nada lelah di ucapan putrinya.

"Cape sayang?"

Sasya mengangguk, Dave terkekeh lagi. Sasya tak biasa menelfon dengan suara saja, jadi Vidio call sudah menjadi kebiasan mereka berdua.

"Kamu mau ke butik Bunda? Dianter supir aja yah? Kamu keliatan capek banget. Berapa jam sih?"

Sasya menjukan jari telunjuk dan jari tengahnya. Hal yang membuat Dave menatap prihatin pada putrinya.

"Kalo kamu mau berenti juga nggapapa. Nanti Papa yang bilang ke Bunda kamu."

Sekarang giliran Sasya yang terkekeh. Dia menatap Dave dengan senyuman lebar. "Biarkan Sasya mengabdi buat Bunda." Dan sekarang, Dave tak bisa berkata-kata apa lagi. Dia terlalu terkejut dengan kedewasaan putrinya. Putri kesayangannya.

Lalu, Dave mengatakan bahwa Sasya diantar sopir saja. Tidak tega jika harus mengenderai motor sport saat kelelahan begini. Tapi, Sasya tetaplah Sasya. Dia tak mau merepotkan. Alhasil, dengan negosiasi yang cukup alot, Dave menhetujui jika Sasya nak taksi saja. Setidaknya, Sasya tak perlu repot mengendarai motor kesayangannya.

Sasya menawari Dave untuk ikut. Tapi pria yang menjabat menjadi Papa-nya itu menolak, dengan alasan masih banyak pekerjaan. Dave mengatakan akan menyusul nanti malam. Sasya setuju. Dia tersenyum saat Dave mengatakan akan melanjutkan pekerjaannya.

Sasya menyimpan ponselnya di tas gendongnya. Ya memang, Sasya tak sempat mengganti tas sekolahnya itu saat pulang sekolah tadi. Leo tiba-tiba mengajaknya ke gedung saat dia baru sampai rumah. Sasya yang sedang kesal dengan Ghea dan Vee karna tak jadi nge-Mall, menurut saja.

Dia berhenti, tepat di dekat lobi. Disana, di sofa yang seharusnya untuk tempat menunggu para tamu, ada seorang yang membuat Sasya terkejut. Dan takut? Mungkin.

"Bry… Bryan? Ka- kamu disini?" Pertanyaan Sasya membuat Bryan mendengus. Laki-laki yang tadi sedang memainkan ponselnya itu berdiri, berjalan mendekat ke arah Sasya.

"Kamu kenapa masih disini? Kok nggak pulang?" Dan Bryan membenci Sasya yang seperti ini. Sifat Sasya yang paling menyebalkan ini kembali.

"Gue-Lo, bukan Aku-Kamu," ucap Bryan penuh penekanan. Seketika, raut terkejut Saya berubah mencadi seringain licik, membuat Bryan makin membenci saja.

"Cepet pulang!" ucap Bryan. Dia melemparkan kunci mobil Leo yang memang sedari tadi ada padanya ke arah Sasya. Dan, hap! Tepat.

"Aku masih ada perlu, kamu pulang duluan aja, bawa mobilnya Leo."

Dan sepertinya susah memberi tau gadis keras kepala ini. Karna malas, dia membiarkannya, lalu keluar dengan langkah santai. Sasya mengejarnya dari balekang.

"Ini kuncinya, kamu pulang buruan." Bryan mengangkat sebelah alisnya. Heran melihat Sasya yang selelu menempel padanya justru kini mengusirnya. Dia menerima kunci itu.

"Pulang sama gue," ucap Bryan.

Stop sudah. Sasya juga bisa emosi. Dia menarik tangan Bryan agar menghadap padanya. Bryan heran melihat raut wajah Sasya yang tak ada raut emosinya --masih manis seperti biasa--, tapi dari cengkeraman Sasya di lengannya yang mengakibatkan kuku panjang Sasya menusuk tajam, Bryan tau Sasya sedang emosi.

"Gue masih ada urusan di butik Bunda. Lo.pulang.duluan." Bryan terkekeh, memang dasarnya si Sasya ini bar-bar, dilihat dari segi manapun tetap begitu, hanya saja, Sasya pintar menyembunyikannya.

Bryan mengangguk, berjalan keluar dengan langkah santai. Hal itu tentu saja membuat Sasya melongo. Bryan manusia paling tidak peka, bagaimana para cewek --termasuk dirinya-- suka padanya? Yang ada hanya makan hati.

Bagaimana pun Sasya perempuan yang ingin diperjuangkan. Jika Bryan memaksanya sekali lagi saja, Sasya pasti ikut. Kapan lagi ada kesempatan berduan dengan Bryan seharian? Lagi pula, Sasya sudah cukup lelah jika harus melakukan pemotretan lagi.

Sasya mengangkat bahu cuek. Dia melangkah ringan keluar. Berdiri di samping pos satpam. Mengok ke kanan kiri, mencari Pak Munto, sopir taksi yang biasanya mampir disini. Taksi langganan tamu Loyal Spasi.

"Pak Salam, Pak Munto-nya kemana? Kok nggak ada?" Pak Salam sang satpam senior menoleh, menatap putri kesayangan nyonya pemilik Loyal Spasi. Dia menggeleng singkat, lalu berkata, "Lagi nganterin tamu dari Dubai ke bandara, neng."

Sasya mendengus, kenapa harus bandara? Itu sangat jauh juka harus bolak-balik. Masa iya Sasya menunggu begitu lama?

Mobil Pajero Sport warna kuning berhenti di depannya. Tentu saja Sasya hafal betul siapa pemiliknya. Hanya saja, orang yang mengendarainya yang membuat Sasya heran. Bukan, bukan heran kenapa dia bisa mengendarai mobil itu, karna tadi Sasya yang menyuruhnya. Tapi, ada apa lagi dia berenti di depan Sasya?

"Cepet naik, gue anterin. Gue masih sadar diri buat numpang di mobil orang," ucap orang itu.

Seketika Sasya tersenyum. Setidaknya Bryan masih bertanggungjawab atas kebaradaan dirinya disini. Walaupun dengan alasan apapun itu.

🌷🌷🌷

Bryan memandang butik mewah itu dengan tatapan heran. Tak pernah menyangka, butik yang menjadi saingan butik turun temurun milik neneknya hingga akhirnya bangkrut ini adalah milik Bunda dari Sasya.

Beberapa kali, Bryan pernah datang kesini, sekedar menemani Alleta atau Emily. Tentu saja, Alleta tak membenci pemilik butik ini, karna bagaimana pun, bangkrutnya butik itu juga disebabkan olehnya. Alleta tidak mengusai bidang ini, Bunda-nya lebih suka memasak, dan tentu saja restoran dan kafe keluarganya sudah cabang dimana-mana.

Bryan mengikuti langkah Sasya. Sasya bilang, dia akan melakukan beberapa pemotretan lagi. Bryan jadi ingin melihatnya.

Sasya berjalan menuju ruang ganti. Sementara Bryan hanya diam di dekat ruangan yang sepertinya akan digunakan untuk pemotertan.

Pemotretan hanya berlangsung singkat. Selama itu juga Bryan terus memberhatikan mereka. Mulai dari Sasya memakai baju pengantin yang sangat memukau, sampai baju tidur bemotif kelinci yang kini masih dipakainya.

Sasya terlalu lelah. Tak punya minat mengganggu Bryan. Dia memutuskan menemui Bundanya. Wanita berumur empat puluh tahunan itu sedang berbincang dengan laki-laki bule berumur lima tahun lebih tua dari Bundanya. Seorang gadis muda nan cantik duduk tak jauh dari mereka. Angel, kakak tirinya yang masih duduk dibangku kuliah, umurnya baru menginjak angka dua puluh satu tahun. Tapi, sebentar lagi akan menikah.

"Selamat malam, Bunda, Daddy, Kak Angel," sapa Sasya. Menyelami satu-satu dengan sopan. Lalu duduk bersebelahan dengan Angel. Mereka membalasnya tak kalah hangat. Membiarkan Sasya beristirahat sebentar.

"Sayang, aku pulang dulu, nanti biar kamu pulangnya sama Angel, sekalian anter Sasya," ucap Dominic. Daddy-nya --tiri, istri Bunda-nya-- itu tampak mengkhawatirkan kondisi Sasya yang terlihat lemah.

"Ngga usah Daddy, nanti papah jemput. Lagian aku sama temen. Itu yang duduk disana, namanya Bryan."

Bryan benar-benar gugup. Dipandang dengan pandangan menelisik dari orang tua gadis yang dibencinya. Karena kikuk, Bryan memutuskan mendekat, menyalami ketiganya dan sekedar berkenalan singkat. Tatapan Dominic --Daddy Sasya-- yang dingin jelas saja membuat Bryan gugup.

"Daddy? Katanya mau pulang? Gajadi?" Sasya tau itu tidak sopan. Tapi Sasya merasa perlu menyelamatkan Bryan.

"Bunda ikut Daddy aja deh, kamu ikut Angel?" tanya Sofya pada putri tirinya. Gadis cantik itu menggeleng dengan tersenyum lebar. Sasya mencebik, tapi juga terkekeh.

"Hmm, kayaknya gue harus segera panggil lo mamah muda deh, kak," ucap Sasya seraya terkekeh. Angel mendelik, mengancam Sasya dengan tatapannya.

Bryan bingung, semakin penasaran dengan Sasya. Ini benar-benar buruk.

🌷🌷🌷

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang