Satu

31 3 0
                                    

#Part Satu

Bryan mengerutkan keninggnya saat motornya terparkir rapi di halaman luas lantai dasar gedung yang nampaknya belum selesai dibangun --atau sengaja tidak diselesaikan. Gedung dengan tujuh belas laintai itu tampak sangat menyeramkan dengan tangga-tangga yang tanpa pembatas di sisinya. Tembok yang nampak belum halus dan berwarna abu-abu. Bahkan, masih ada sebagian dinding yang belum dibangun.

Tumpukan batu-bata dan pasir nampak di depan motor Bryan terparkir. Dibatasi tiga buah kayu yang ditumpuk. Bryan juga melihat banyak motor sejenis dengan miliknya terparkir disana. Lantai yang terbuat dari beton semen itu tampak kotor dengan banyaknya butiran pasir dan kerikil yang bertebaran.

"Gedung apaan?" tanya Bryan penasaran.

Tapi, Darren sama sekali tak menjawab. Dia nampak sedang mengotak-atik ponsel hitamnya. Lalu, tak lama setelah itu, Darren menempelkan ponselnya di telinga.

"Dimana?" Itu yang Bryan dengar dari mulut Darren.

"Lengkap?" tanya Darren lagi kepada seseorang diujung telepon, entah siapa itu, Bryan tidak tahu.

"Yaudah, gue kesana. Sepuluh menit lagi kita bahas." Darren langsung melangkah menuju tangga setelah memutus sambungan teleponnya.

Bryan yang merasa Darren masih kesal padanya, segera mengikuti langkah Darren.

"Ren? Gue cuma mastiin aja. Lo pasti tahu, apa yang buat Edgar benci sama Glower." Perkataan Bryan berhasil menyentil emosi Darren, dengan segera, dia membalikan badannya.

"Sekali lagi, gue bilang, Glower ngga seburuk apa yang lo pikirin! Kalo niat lo cuma mau curiga sama Glower, selahkan pergi dari sini."

Bryan menghembuskan napas pelan. Keduanya sama-sama keras kepala. Tapi kali ini, Bryan mengalah. Dari segi penglihatannya, Glower memang tak seburuk gengster seperti biasa.

"Oke. Lo boleh masih ikut Glower. Tapi ngga jadi ketua."

Dan lagi-lagi, Darren hanya mengiyakan ucapan sepupunya itu. Walaupun berat melepas jabatan yang dijabatnya selama tujuh bulan ini, Darren harus melepasnya. Sekali lagi, dia tak bisa menolak keinginan kedua sepupunya. Sifat melindungi dan menyayangi yang Angkasa turunkan padanya, membuat dia selalu tak bisa menolak keinginan seluruh anggota keluarganya.

Bryan mengikuti Darren melewati tangga, saat cowok itu nampak mengizinkannya mengikuti cowok berambut coklat itu. Yang Bryan temukan di lantai dua sampai lima adalah tak jauh beda dengan lantai satu.

Berbeda dengan lantai enam dan tujuh yang nampak benar-benar 'nyaman.' Tempoknya sudah dihaluskan dan dicat. Kedua ruangan itu bahkan memiliki pintu --berbeda dengan lantai lainnya. Terdapat sofa dan peralatan rumah tangga lainnya. Bahkan ada perpustakaan mini, televisi, dan sebuah kuskas kecil disudut masing-masing ruangan. Lantai tujuh terlihat lebih lengkap, dimana terdapat satu ruangan kecil berukuran 3×4 meter.

"Itu apaan?" tanya Bryan penasaran. Menunjuk ruangan kecil itu.

"Kamar. Biasanya ada yang nginep, jagain gedung. Ditemenin satpan, sih," jelas Darren. Hal itu membuat Bryan semakin penasaran.

"Kalian boleh, pakai gedung ini? Kayaknya belum selesai dibangun."

Darren melanjutkan langkahnya, tetapi tetap menjawab pertanyaan Bryan. "Punya bokapnya Leo. Kami beli, tapi cuma dua puluh persen. Dan, sengaja, ini bukan belum selesai, tapi emang desainnya seperti ini."

Bryan hanya mangguk-mangguk saja. Merasa kagum dengan 'mereka.'

Di lantai delapan, hanya ada pilar-pular ditengah ruangan. Satu ruangan kecil di sudut yang Bryan kira adalah kamar mandi. Hal yang membuatnya tercengan dengan gedung ini adalah lantai sembilan. Disana terdapat alat fitnes lengkap. Selanjutnya adalah lantai sepuluh sampai dua belas yang tampak seperti gor mini. Lengkap dengan ring basket, meja biliard, dan lainnya.

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang