Sepuluh

12 2 0
                                    

#Part Sepuluh


"Em, lo mau kan jadi cewek gue?"

Sasya mematung. Tangan mungilnya menutupi mulutnya yang ternganga. Dia terkejut luar biasa. Di depannya, Bryan berdiri membelakanginya. Entah apa ekspresi Bryan sekarang, yang jelas, Sasya melihat Bryan mengepalkan tangannya kuat-kuat, bahkan jari-jari tangannya sampai memutih.

Tanpa memperdulikan lututnya yang masih nyeri akibat jatuh tadi, Sasya menarik tangan Bryan menjauh. Membekap mulut Bryan saat melihat Bryan hendak melayangkan protes. Sasya menarik Bryan memasuki hutan bakau yang ada di belakangnya.

"Bego lo Bry, bego!" maki Sasya saat dirasa sudah jauh dari posisinya tadi.

"Kalo nggak kuat kenapa mesti dilihat?! Lo bego apa tolol?!" Sasya sudah tidak memperdulikan jika kata-katanya kelewat kasar, dan membuat Bryan semakin benci kepadanya. Tindakan Bryan tadi membuatnya kesal setengah mati.

Yang Sasya ketahui, Bryan sudah menyukai Emily dari dulu. Hal itu disimpulkan Sasya karna dulu, saat Sasya dan Bryan masih berpacaran, Bryan sering kali menceritakan tentang Emily, dan Sasya selalu menatap binar di mata Bryan saat menceritakannya. Apalagi, bukti bahwa Bryan menyukai Emily semakin jelas saat melihat Bryan mengepalkan tangannya --menahan emosi-- saat melihat Rafka menembak Emily. Padahal tadi, Bryan belum mendengar jawaban Emily.

"Dengerin gue! Gue tau lo sakit liat tadi, harusnya tadi lo langsung pergi, ngga usah peduliin mereka," ucap Sasya.

"Gue tau lo suka sama Emily, gue tau lo ada rasa sama sahabat lo itu. Tapi plis, ngga usah benci Rafka maupun Emily, mereka sahabat lo. Kalau lo ngerasa sakit dengan ini, lo bisa memilih menjauh sebentar," lanjut Sasya dengan nada melembut. Gadis itu menggenggam tangan Bryan yang masih mengepal kuat.

"Lo boleh lampiasin semua amarah lo disini, gue bakal tungguin sampe lo mendingan, gue takut lo kenapa-kenapa. Dan tenang aja, gue ngga bakalan ganggu lo, gue tunggu disana." Sasya menunjuk ke arah barat. Disana terdapat pohon yang cukup besar untuk berlindung. Tanpa menunggu jawaban Bryan, Sasya segera berlari.

Dia menyembunyikan dirinya di balik pohon itu, semoga saja dengan ini, Bryan tak bisa melihatnya. Sasya berjongkok, dia tak bisa terus-terusan berpura-pura kuat di depan Bryan. Hatinya sakit saat melihat Bryan begitu menyukai Emily --dari emosi cowok itu saat Emily ditembak Rafka. Sasya yakin Bryan sangat cemburu.

Tanpa sadar air matanya menetes. Sasya melipat kedua tangannya, menenggelamkan wajahnya yang bercururan air mata disana. Sasya terisak-isak. Dadanya sesak mengingat fakta yang sudah diketahuinya dari dulu itu.

"Sya?"

Sasya mendongak. Dia melotot menemukan Leo berjongkok dihadapannya. Dengan cepat, Sasya mengintip sesuatu di balik pohon besar dibelakangnya itu. Di bawah temaram cahaya bulan purnama malam ini, ia menemukan Bryan yang sedang memukul dan menendang salah satu pohon.

"Leo?! Cepet pergi! Pergi Leo! Gue mohon…"

Leo mengangguk. "Tapi lo janji, ngga boleh nangis lagi."

Dengan cepat, Sasya menghapus air matanya lalu memasang senyum semanis mungkin. Dia dengan cepat berdiri, lalu menarik Leo menjauh.

"Jaga diri baik-baik, Princess," pesan Leo sebelum bergerak menjauh. Sasya langsung mengangguk. Dia tersenyum lebar saat Leo menepuk puncak kepalanya ringan.

Tubuh Sasya meluruh saat melihat Leo sudah bergerak menjauh. Dia kembali terisak saat menyadari Leo sudah tidak dapat melihatnya. Sasya mengusir Leo, karna Sasya sudah berjanji akan menunggu Bryan. Dia tidak ingin Bryan merasa tidak nyaman saat melihat keberadaan Leo.

"Sasya?" Seseorang memanggilnya dengan suara serak. Sasya mendongak, menemukan Bryan yang sedang menatapnya lekat. Dengan cepat, dia menghapus air matanya.

"Udah tenang?" tanya Sasya dengan senyum manisnya. Bukannya menjawab, Bryan justru memeluk Sasya erat. Hal itu membuat tubuh Sasya menegang.

"Terimakasih, dan maaf," bisik Bryan. Sasya mengangguk, walaupun tidak begitu paham untuk apa Bryan berterimakasih dan meminta maaf. Sasya merasa tak dirugikan disini, dia juga tak merasa telah memberikan sesuatu untuk Bryan.

"Mulai saat ini, jangan peduliin gue lagi. Peduliin hati lo," lanjut Bryan. Sasya masih tidak mengerti. Dia mendongak saat Bryan melepaskan pelukannya.

"Temui Leo, dan mulai sekarang, lo nggak usah ganggu gue lagi." Setelah mengatakan itu, Bryan melangkah menjauh.

Apa yang didengarnya, membuat Sasya mematung. Air matanya menetes kembali. Dia merasa seluruh badannya melemas, bahkan untuk menahan Bryan saja, Sasya merasa tidak sanggup.

"Brengsek lo, Bry! Brengsek!" makinya. Tapi, lidah Sasya terlalu kelu untuk mengucapkan itu melalui bibirnya, alhasil, Sasya hanya bisa memakinya di dalam hati.

Tangis Sasya kembali pecah, tubuhnya kembali luruh. Memang seperti inilah pengorbanan Sasya terhadap Bryan, tidak pernah dianggap.

🌷🌷🌷

Semenjak kejadian malam itu, baik Sasya, Leo, maupun Bryan, ketiganya sama-sama membisu. Orang-orang tak menyadarinya karna memang mereka pintar elmain ekspresi, kecuali Darren. Cowok itu yang paling peka diantara yang lainnya.

Darren tak tahu apa masalahnya. Yang jelas, dari pengamatannya, Bryan dan Sasya sama-sama bergerak menjauhi. Sedangkan Leo, arahnya tak menentu, seperti menyeret Sasya untuk lebih jauh, atau justru mendorongnya untuk mundur.

Keanehan semakin dirasakan Darren saat mereka memutuskan untuk pulang. Sasya, Ghea, dan Vee yang memang menggunakan pesawat, tidak mau diantar Rafka menggunakan mobilnya --yang didalamnya terdapat Emily dan Bryan-- ke bandara. Keanehan semakin terasa saat Sasya --yang notabene sedikit anti di bonceng Darren karna modus yang cowok itu berikan-- justru meminta Darren yang memboncengnya ke Surabaya, bukan Leo. Leo pun hanya diam. Dia tak menawari tumpangan kepada Sasya.

Di dalam pesawatpun, Sasya nampak membisu. Darren mempercayakan Ghea dan Vee untuk menjaganya. Sesekali, cowok itu juga mengabari Ghea untuk menanyakan kabar Sasya saat rombongannya berhenti sejenak.

Dan inilah waktu yang sangat ditunggu Sasya. Waktu dimana mereka sampai di Jakarta. Dave, papahnya sudah mengabari bahwa sebentar lagi akan menjemput. Darren juga sudah mengabarinya, lokasianya sudah cukup jauh meninggalkan Kota Surabaya, Darren tidak mengatakan tepatnya. Rafka juga baru saja mengabarinya, posisinya hampir sama dengan posisi Glower, hanya saja, Rafka lebih ke timur, macet membuat mobilnya susah bergerak.

"Lo berdua ikut gue aja." Pernyataan itu merupakan kalimat pertama yang keluar dari mulut Sasya semenjak tadi. Dengan antusias, keduanya mengangguk.

Dave yang baru saja tiba, sampai terheran-heran melihat raut wajah Sasya. Tampak muram, dan kurang bersemangat. Dave menebak, hal tersebut karna Sasya merindukan Jason. Dulu, Dave tidak sengaja mendengar saat Jason mengajak Sasya berlibur ke Malang. Tapi, sebelum liburan itu terjadi, Jason sudah lebih dulu meninggalkannya dan Sasya.

"Kok cemberut? Sini peluk dulu," ucap Dave.

Sasya terdiam. Lalu segera menghambur kepelukan sang Papah. Tanpa terasa, air matanya kembali menetes. Dave tertegun, jarang sekali Sasya menangis dihadapannya. Bahkan, dari tiga tahun terakhir --saat itu, Sasya putus dengan pacarnya, Dave tidak mengenal namanya-- mungkin ini pertama kalinya Sasya kembali menangis di pelukannya.

Vee dan Ghea hanya terdiam. Saat Dave menatapnya seakan bertanya, mereka hanya menggeleng dan tersenyum canggung. Vee dan Ghea benar-benar tak mengetahui sebabnya. Bahkan, melihat perubahan Sasya-pun, mereka tahu karna Darren yang meminta mereka menjaga Sasya. Awalnya mereka heran, tapi, semenjak Darren memberikan hipotesis-hipotesisnya mereka mulai mengerti. Masalah yang melibatkan Sasya, Leo, Darren, dan perasaan. Memang, saat sudah menyangkut dengan hati, semuanya menjadi runyam, susah dimengerti.

"Kamu tenang, disini ada papah yang bakal terus bersama kamu," bisik Dave di telinga Sasya, saat itu juga, Sasya kembali tersenyum. Saat ini, memang hanya Dave yang selalu bisa menghibur dan menenangkannya.

🌷🌷🌷

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang