Lima Belas

13 0 0
                                    

#Part Lima Belas

"Halo!"

Ini adalah ke-tiga kali, Sasya menyapa seseorang diujung telfon sana. Tetapi, seperti dua sebelumnya, tak ada jawaban sama sekali. Sasya melihat handphone-nya sebentar. Masih tersambung. Tapi, belum juga dia mendapatkan jawaban, yang terdengar adalah suara hembusan nafas dan gemercik air.

"Halo!"sapanya sekali lagi. Sasya menunggu cukup lama kali ini. Lima menit berlalu, tapi semuanya sama-sama diam. Sasya menunggu orang itu untuk menjawab sapanya, sedangkan orang itu seperti-seperti sebelumnya, sepertinya enggan menjawabnya.

"Aku matiin yah? Nggak jelas banget sih!" gerutu Sasya.

Sasya menunggu lima detik, dan selama lima detik itu adalah suara kemrusuk yang entah apa itu, lalu disusul suara gedebug, seperti benda jatuh.

"Aduh!!" gerutu orang itu. Sasya melongo, lalu terkekeh, batal mematikan sambungan telfonnya.

"Lo kenapa, sih, Bry?" tanya Sasya masih dengan terkekeh.

"Diem lo!" gertak Bryan --orang itu. Cowok itu masih sesekali menggerutu kesakitan.

"Jangan dimatiin dulu, gue abis mandi," imbuh Bryan.

"Lagian lo aneh, mandi, ya mandi aja, ngapain pake call gue," gerutu Sasya.

Bryan tertawa diseberang sana, lalu samar-samar suara tawa itu terdengar semakin menjauh. Yang terdengar selanjutnya adalah suara decit pintu. Lalu diam kembali. Entahlah apa yang dilakukan Bryan diseberang sana.

"Nah, udah selesai. Pindah ke vidio call."

Sekarang, Sasya bisa melihat wajah Bryan. Cowok itu baru saja selesai memakai kaos hitam bergambar. Handuk puntih masih menggantung kepalanya. Cowok itu juga memakai celana pendek berwarna coklat susu. Yang Sasya lihat sekarang, Bryan sedang sibuk menyeting gitar coklat penuh stiker. Sesekali memainkan senarnya, mengetes nada yang dihasilkan sudah sesuai atau belum.

"Ngapain sih, Bry?" tanya Sasya jengah. Sasya menganggap tindakan Bryan itu memang super gaje alias nggak jelas.

"Diem dan dengerin. Gue besok mau nembak Alea. Anak kelas sepuluh yang kemaren dihukum sama Edgar dan lo," jawab Bryan. Bryan mengatakan itu santai bahkan tatapannya masih terarah pada gitarnya. Dia tidak perduli dengan Sasya yang sudah terang-terangan menyukainya. Bahkan, dia tidak peduli dengan perubahan raut wajah Sasya yang semula ceria menjari datar.

"Jangan cari masalah," ucap Sasya datar. "Jangan ganggu adik kelas gue," imbuhnya.

Bryan mendongak. Dia meringis sebentar saat melihat raut wajah Sasya. Sebenarnya, dia mengetahui betul perasaan Sasya. Tapi, Bryan mau, Sasya melupakannya, menganggapnya teman.

"Sya? Gue boleh ngomong sesuatu sama lo nggak?"

Sasya tak menjawab. Dia hanya mengangguk. Perasaannya masih terluka. Terlihat dari matanya yang berkaca-kaca, dan Bryan sangat menyadari itu.

"Sya, gue mohon, dengan sangat. Lupain gue, atau lo bakal tambah sakit," ucap Bryan. Sasya hanya mendengarkan, matanya masih berkaca.

"Plis, anggep gue temen aja. Itu akan lebih baik buat lo. Lo tau, kita nggak bisa bersama lagi," lanjutnya.

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang